Rumah ayah Sheikh Hasina yang dibakar pengunjuk rasa di Bangladesh pada Rabu malam, 5 Februari 2025/Net
Ribuan pengunjuk rasa di Bangladesh membakar rumah Sheikh Mujibur Rahman, pemimpin pendiri negara itu, dalam sebuah aksi protes besar pada Rabu malam, 5 Februari 2025.
Insiden ini terjadi saat putrinya, mantan Perdana Menteri Sheikh Hasina, menyampaikan pidato daring yang menyerukan perlawanan terhadap pemerintah sementara yang dipimpin oleh peraih Nobel Muhammad Yunus.
Menurut saksi mata, demonstran yang bersenjatakan tongkat, palu, serta alat berat berkumpul di sekitar rumah bersejarah tersebut sebelum akhirnya membakarnya.
Beberapa pengunjuk rasa bahkan membawa derek dan ekskavator untuk menghancurkan bangunan yang juga berfungsi sebagai monumen kemerdekaan Bangladesh.
Unjuk rasa ini bertepatan dengan seruan "Pawai Buldoser," sebuah gerakan yang bertujuan mengganggu pidato daring Hasina yang dijadwalkan pukul 21.00 waktu setempat.
Kelompok Mahasiswa Melawan Diskriminasi, yang menjadi motor utama aksi tersebut, menganggap pidato Hasina sebagai tantangan terhadap legitimasi pemerintah sementara yang baru dibentuk.
Ketegangan di Bangladesh terus meningkat sejak Agustus 2024, ketika gelombang protes besar memaksa Hasina melarikan diri ke India.
Sejak itu, pemerintah sementara yang dipimpin oleh Yunus menghadapi berbagai aksi demonstrasi dan kerusuhan yang menargetkan simbol-simbol pemerintahan Hasina, termasuk rumah Sheikh Mujibur Rahman yang pertama kali dibakar pada Agustus lalu.
Rumah Sheikh Mujibur Rahman bukan sekadar bangunan bersejarah, tetapi juga memiliki makna mendalam bagi rakyat Bangladesh.
Di tempat inilah ia mendeklarasikan kemerdekaan Bangladesh dari Pakistan pada tahun 1971.
Namun, beberapa tahun kemudian, rumah itu menjadi saksi bisu tragedi nasional, ketika Mujibur Rahman dan sebagian besar keluarganya dibunuh pada 1975.
Hasina, yang selamat dari pembantaian itu, kemudian mengubah bangunan tersebut menjadi museum untuk mengenang warisan ayahnya.
Menanggapi peristiwa ini, Hasina dalam pidatonya menyampaikan kecaman keras terhadap aksi pembakaran tersebut.
"Mereka dapat merobohkan sebuah bangunan, tetapi bukan sejarahnya. Sejarah membalas dendam," ujar Hasina, seperti dimuat
Reuters.
Ia juga menuduh pemerintah sementara merebut kekuasaan secara inkonstitusional dan menyerukan rakyat Bangladesh untuk melawan rezim saat ini.
Di sisi lain, kelompok mahasiswa yang memimpin gerakan protes ini menyatakan niat mereka untuk membongkar Konstitusi 1972, yang mereka anggap sebagai peninggalan pemerintahan Mujibur Rahman.
Dengan ketegangan yang terus meningkat, masa depan politik Bangladesh kini semakin tidak menentu.