Berita

Gambaran masyarakar AS yang terdampak penyalahgunaan fentanil./Anadolu Agency

Dunia

AS Dihantui Perang Candu Modern dari Tiongkok

JUMAT, 03 JANUARI 2025 | 00:51 WIB | LAPORAN: JONRIS PURBA

Tantangan lain yang sedang dihadapi dunia saat ini adalah penyebaran narkoba jenis fentanil. Opioid sintetis ini sebagian besar diproduksi dengan prekursor dari Tiongkok dan diproses melalui Meksiko.

European Times membandingkan fenomena penyebaran fentanil ini dengan Perang Candu abad ke-19 ketika negara-negara Barat menyebarkan opium untuk menundukkan Tiongkok. Sementara kini, situasinya tampak terbalik. Dari tahun 2015 hingga 2021, Amerika Serikat mencatat peningkatan  kematian akibat overdosis yang mengkhawatirkan, yakni dua kali lipat dari 52 ribu kasus menjadi lebih dari 107 ribu kasus per tahun. Fentanil yang terkadang disebut "obat zombi"  adalah pendorong utama lonjakan ini.

“Fentanil 100 kali lebih kuat daripada morfin dan 50 kali lebih kuat daripada heroin. Hanya 2 miligram saja sudah bisa mematikan. Epidemi ini telah menyebabkan beberapa orang menggambarkan perdagangan fentanil sebagai "Perang Candu Terbalik" yang diam-diam dan berbahaya, lebih mematikan daripada perang sebelumnya,” tulis European Times dalam laporannya baru-baru ini.


Peran Tiongkok dalam Perdagangan Fentanil

Industri kimia Tiongkok, salah satu yang terbesar di dunia, disebutkan memainkan peran penting dalam produksi fentanil. Meskipun Tiongkok telah mengambil langkah-langkah untuk mengatur fentanil dan prekursornya, termasuk perjanjian dengan Amerika Serikat untuk menindak produksi ilegal, penegakan hukum masih belum konsisten. Perusahaan-perusahaan Tiongkok tertentu memanfaatkan celah regulasi, memproduksi dan mengekspor bahan kimia prekursor yang disamarkan sebagai produk yang sah.

Masalahnya bukan sekadar masalah aktivitas terlarang; tetapi juga mencerminkan dinamika ekonomi dan politik yang lebih luas. Ekspor bahan kimia yang tidak diatur ini merupakan produk sampingan dari persaingan global di mana subsidi negara, praktik pasar yang tidak adil, dan eksploitasi sumber daya saling bersinggungan. 

“Krisis fentanil merupakan contoh bagaimana kekuatan-kekuatan ini dapat mengganggu stabilitas masyarakat, yang menyoroti perlunya kerja sama internasional dan pengawasan yang lebih ketat,” tulis European Times lagi.

Meksiko Titik Transit

Begitu prekursor Tiongkok meninggalkan tempat asalnya, mereka sering kali transit ke Meksiko, tempat kartel narkoba yang kuat mensintesisnya menjadi fentanil. Kartel Sinaloa dan Kartel Generasi Baru Jalisco mendominasi perdagangan ini, memanfaatkan sistem regulasi Meksiko yang lemah, korupsi, dan geografi yang strategis.

Dilaporkan, pelabuhan utama seperti Manzanillo dan Lázaro Cárdenas berfungsi sebagai titik masuk bahan kimia Tiongkok. Dari sana, prekursor ini diangkut ke laboratorium gelap tempat fentanil diproduksi. Produk jadi diselundupkan ke Amerika Serikat, disembunyikan di dalam kendaraan, kiriman, atau bahkan disamarkan sebagai obat-obatan yang sah. Kartel memanfaatkan setiap peluang, termasuk menggunakan terowongan, pesawat nirawak, dan perbatasan yang kurang dijaga, untuk memindahkan produk mereka.

Tanggapan AS

Dampak manusia akibat fentanil sangat mengejutkan, dengan opioid sintetis kini menjadi penyebab utama kematian di antara warga Amerika berusia 18-49 tahun. Menyadari beratnya krisis, pemerintah AS telah mengambil tindakan. Mantan Presiden Donald Trump mengenakan tarif pada Tiongkok dan Meksiko, dengan alasan peran mereka dalam perdagangan fentanil. Sementara pemerintahan Biden juga telah mencapai kesepakatan dengan Tiongkok untuk mengekang ekspor ilegal, kemajuannya terbatas.

Meskipun ada beberapa keberhasilan diplomatik, fentanil terus membanjiri jalan-jalan Amerika, sebuah bukti ketahanan jaringan terlarang dan kompleksitas penegakan hukum narkoba internasional. Menangani krisis ini memerlukan pendekatan komprehensif yang menangani setiap mata rantai dalam rantai pasokan.

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

UPDATE

Ekonom: Pertumbuhan Ekonomi Akhir Tahun 2025 Tidak Alamiah

Jumat, 26 Desember 2025 | 22:08

Lagu Natal Abadi, Mariah Carey Pecahkan Rekor Billboard

Jumat, 26 Desember 2025 | 21:46

Wakapolri Kirim 1.500 Personel Tambahan ke Lokasi Bencana Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 21:45

BNPB: 92,5 Persen Jalan Nasional Terdampak Bencana Sumatera Sudah Diperbaiki

Jumat, 26 Desember 2025 | 21:09

Penerapan KUHP Baru Menuntut Kesiapan Aparat Penegak Hukum

Jumat, 26 Desember 2025 | 20:37

Ancol dan TMII Diserbu Ribuan Pengunjung Selama Libur Nataru

Jumat, 26 Desember 2025 | 20:26

Kebijakan WFA Sukses Dongkrak Sektor Ritel

Jumat, 26 Desember 2025 | 19:56

Dua Warga Pendatang Yahukimo Dianiaya OTK saat Natal, Satu Tewas

Jumat, 26 Desember 2025 | 19:42

21 Wilayah Bencana Sumatera Berstatus Transisi Darurat

Jumat, 26 Desember 2025 | 19:32

Jangan Sampai Aceh jadi Daerah Operasi Militer Gegara Bendera GAM

Jumat, 26 Desember 2025 | 18:59

Selengkapnya