Berita

Ilustrasi

Bisnis

Defisit Perdagangan Afrika dan Tiongkok Terus Melebar

KAMIS, 19 DESEMBER 2024 | 21:34 WIB | LAPORAN: JONRIS PURBA

Belt and Road Initiative (BRI) meningkat volume perdagangan Tiongkok dengan negara-negara Afrika. Namun, dari total volume perdagangan itu, negara-negara Afrika mengalami defisit yang terus membengkak. 

Financial Post melaporkan, pada tahun 2023 secara keseluruhan perdagangan antara Tiongkok dan Afrika tumbuh sebesar 1,5 persen. Namun, ekspor Afrika ke Tiongkok menunjukkan penurunan sebesar 6,7 persen menjadi 109 miliar dolar AS. Di sisi lain, ekspor Tiongkok ke benua itu tumbuh sebesar 7,5 persen menjadi 173 miliar dolar AS.

Tiongkok telah memanfaatkan sepenuhnya platform African Continental Free Trade Area (AfCFTA) dan hanya mengimpor bahan mentah dari negara-negara Afrika, kata Linda Calabrese, peneliti senior di ODI Global yang berbasis di London. 


“China telah menjadi mitra dagang utama Afrika selama lebih dari satu dekade. Sejak 2012, sebagian besar impor Afrika berasal dari China, dan sebagian besar ekspor Afrika ditujukan ke China. Namun, China telah mempertahankan surplus perdagangan setidaknya sejak 2015,” katanya.

Hal ini telah menyebabkan tekanan di antara negara-negara Afrika. Presiden Uganda Yoweri Museveni menuntut China mengimpor produk jadi dan bukan hanya bahan mentah yang lebih murah. 

“China harus membuka pasarnya untuk produk-produk Afrika, yang akan menguntungkan Afrika dan menghasilkan situasi yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak, mengingat Afrika telah banyak mengimpor dari China. Saya ingin mendorong China untuk lebih membuka pasar mereka untuk kopi olahan dan produk lainnya, bukan hanya bahan mentah,” tambahnya.

Perdagangan impor Afrika dari China lebih tinggi daripada nilai ekspornya ke China, yang telah mengalami defisit perdagangan yang terus meningkat sejak 2012, kata Oyintarelado Moses, analis data untuk Global China Initiative di Boston University Global Development Policy Center.

“Keterlibatan perdagangan Afrika-China signifikan tetapi sebagian besar telah bergeser dari perdagangan yang relatif seimbang menjadi defisit perdagangan untuk negara-negara Afrika. Pada tahun 2022, nilai impor barang yang tinggi dari Tiongkok dan nilai ekspor yang relatif rendah ke Tiongkok menyebabkan defisit perdagangan yang mencapai 2,6 persen dari PDB pada tahun 2022,” tulis Moses seperti dikutip Financial Post.

Meskipun hubungan Tiongkok-Afrika telah berkembang selama bertahun-tahun, defisit perdagangan yang besar dan arus masuk modal yang cepat merupakan kekurangannya, menurut Alicia García Herrero, seorang peneliti senior di Bruegel yang berbasis di Brussel. 

“Meskipun Tiongkok mencari komoditas — seperti bahan bakar fosil, logam, bahan baku penting, dan makanan — Afrika terjebak dengan defisit perdagangan yang besar dengan Tiongkok,” kata Herrero, yang juga merupakan Kepala Ekonom untuk Asia Pasifik di bank investasi Prancis Natixis. 

“Ekspansi industri Tiongkok yang berkembang pesat yang baru-baru ini dirangkum dalam gagasan ‘Kekuatan Produksi Baru’ bukanlah pertanda baik untuk defisit perdagangan ini, yang pasti akan tumbuh,” masih katanya.

China muncul sebagai mitra dagang terbesar Afrika tetapi akhirnya merugikan perdagangan barang-barang untuk benua itu, kata Malancha Chakrabarty, peneliti senior di Observer Research Foundation (ORF). 

"Sementara impor Afrika dari China telah pulih secara substansial dengan mencatat pertumbuhan tahunan gabungan sebesar 12 persen antara tahun 2017 dan 2022, ekspor Afrika ke China telah melambat, sehingga memperlebar defisit perdagangannya dengan China," ujar Chakrabarty.

Pada Forum Kerja Sama Tiongkok-Afrika (FOCAC) ke-8 tahun 2021, Tiongkok juga berjanji untuk mengimpor produk senilai USD 300 miliar dari Afrika dalam tiga tahun. Namun, kenyataan di lapangan berbeda dan justru sebaliknya. 

“Janji Tiongkok senilai 300 miliar dolar AS pada FOCAC8 tentu saja inovatif. Namun, untuk menutup kesenjangan perdagangan Afrika-Tiongkok untuk selamanya, lebih dari sekadar target akan diperlukan,” kata Rosie Wigmore, Analis Kebijakan di Development Reimagined yang berpusat di Beijing.

Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

Investigasi Kecelakaan Jeju Air Mandek, Keluarga Korban Geram ? ?

Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:52

Legislator Nasdem Dukung Pengembalian Dana Korupsi untuk Kesejahteraan Rakyat

Sabtu, 27 Desember 2025 | 17:43

Ledakan Masjid di Suriah Tuai Kecaman PBB

Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:32

Presiden Partai Buruh: Tidak Mungkin Biaya Hidup Jakarta Lebih Rendah dari Karawang

Sabtu, 27 Desember 2025 | 16:13

Dunia Usaha Diharapkan Terapkan Upah Sesuai Produktivitas

Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:26

Rehabilitasi Hutan: Strategi Mitigasi Bencana di Sumatera dan Wilayah Lain

Sabtu, 27 Desember 2025 | 15:07

Pergub dan Perda APBD DKI 2026 Disahkan, Ini Alokasinya

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:52

Gebrakan Sony-Honda: Ciptakan Mobil untuk Main PlayStation

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:24

Kebijakan Purbaya Tak Jauh Beda dengan Sri Mulyani, Reshuffle Menkeu Hanya Ganti Figur

Sabtu, 27 Desember 2025 | 14:07

PAN Dorong Perlindungan dan Kesejahteraan Tenaga Administratif Sekolah

Sabtu, 27 Desember 2025 | 13:41

Selengkapnya