Berita

Miftah Maulana Habiburrahman alias Gus Miftah menangis saat mengumumkan mundur sebagai Utusan Khusus Presiden/tangkapan layar

Publika

Tanpa Viral, Tiada Keadilan

SABTU, 07 DESEMBER 2024 | 14:21 WIB | OLEH: AHMADIE THAHA

DI DUNIA yang makin digital saat ini, tak ada yang lebih efektif dari kekuatan media sosial, termasuk dalam menegakkan keadilan. Kasus Miftah Maulana Habiburrahman dan Ivan Sugianto menjadi contoh baru tentang betapa dahsyat perlawanan medsos, membuat mereka "takluk."

Miftah, hanya karena berucap satu kata "goblok" kepada pedagang keliling di acara pengajian dan shalawatan, diguyur hujan hujatan dari seantero negeri. Presiden Prabowo Subianto dan PM Malaysia bahkan ikut berkomentar. Miftah akhirnya mundur dari jabatannya di Istana.

Hal serupa terjadi pada Ivan Sugianto. Kisah pengusaha hiburan yang memaksa seorang siswa bersujud dan menggonggong, ini menjadi bukti nyata betapa besarnya pengaruh media sosial dalam menggiring opini publik dan mendorong aparat hukum bertindak cepat.


Ironis memang, tetapi faktual: tanpa video viral, kasus Miftah dan Ivan ini mungkin hanya jadi bisik-bisik tetangga. Atau, kasus penggoblokan terhadap pedagang keliling dan keributan kecil di depan sekolah, yang menyangkut dugaan perundungan, itu cuma akan menjadi liputan kecil di media lokal mengingat magnitude-nya yang kurang untuk masuk kategori berita layak.

Kejadian-kejadian itu untungnya terekam kamera, dan menyebar di berbagai platform media sosial seperti api di padang kering. Publik marah, netizen mengecam, tagar menggema.

Dalam sehari, Miftah harus mundur. Dalam hitungan jam, polisi bertindak menangkap Ivan di bandara, menjebloskannya ke penjara, dan bersama itu publik memviralkan borok-borok lainnya dari mereka.

Hebatnya, reaksi ini muncul bukan karena berita di media arus utama, tetapi karena tekanan langsung dari publik yang terpicu oleh video viral. Ini memperlihatkan fenomena "tanpa viral, tiada keadilan" yang semakin mengakar. Maka, bagi anda, jangan ragu memanfaatkan kamera handphone anda.

Kekuatan media sosial tak hanya memaksa tindakan cepat aparat hukum, tetapi juga membuka borok-borok lain. Setelah kasus ini mencuat, terungkap sikap kasar Miftah lainnya, serta dugaan Ivan terlibat tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan memiliki belasan rekening yang diblokir PPATK. Mungkin juga, banyak lagi kasus lainnya.

Fakta ini memperlihatkan bahwa viralitas bukan sekadar alat untuk mengungkap kasus, tetapi juga medium untuk memperbesar eksposur masalah lain yang selama ini mungkin terkubur. Juga, mengungkap realitas watak otentik seseorang berdasarkan rekaman seketika, yang mungkin selama ini telah banyak membawa korban yang bungkam.

Dalam dunia nyata, dampak media sosial begitu nyata hingga sulit diabaikan. Miftah dan Ivan tak hanya dicaci-maki, tetapi juga mendapat hukuman sosial. Ketika masuk ke ruang tahanan, Ivan disambut dengan sorakan "Sujud! Gonggong!" oleh para tahanan lainnya. Inilah bentuk ironi keadilan sosial —sebuah "karma instan" yang muncul akibat penghakiman publik di dunia maya.

Namun, di sisi lain, ada pertanyaan yang perlu kita renungkan: apakah keadilan kini hanya bisa ditegakkan jika ada viralitas? Apakah aparat hukum membutuhkan dorongan dari publik untuk bertindak?

Dalam kasus ini, tindakan polisi baru terasa setelah muncul gelombang kemarahan di media sosial. Padahal, bukti dan saksi kasus tersebut sebenarnya sudah cukup kuat sejak awal.

Kasus ini menyoroti ketergantungan penegakan hukum pada media sosial. Di satu sisi, media sosial menjadi alat penting untuk membongkar kasus yang mungkin tidak tersentuh hukum.

Di sisi lain, ini juga memperlihatkan kelemahan sistem hukum kita, yang cenderung reaktif terhadap opini publik ketimbang bertindak secara proaktif berdasarkan fakta dan data.

Media sosial memang kuat, tetapi bukan tanpa risiko. Viralnya kasus seringkali membawa dampak negatif, seperti pengadilan massa yang bisa saja melampaui batas. Seseorang bisa dihukum secara sosial bahkan sebelum mendapatkan proses hukum yang adil. Namun, jika sistem hukum berjalan efektif, keadilan seharusnya tidak memerlukan tagar atau video viral untuk dijalankan.

Kasus Miftah dan Ivan menjadi pengingat pahit tentang betapa pentingnya media sosial dalam menyoroti keadilan dan rasa keadilan. Namun, ini juga menegaskan perlunya sistem hukum yang lebih kuat dan independen, yang tidak hanya bertindak ketika ada tekanan publik.

Media sosial mungkin pedang bermata dua: ia bisa menjadi pendorong keadilan, tetapi juga bisa menjadi alat penghakiman tanpa batas. Kini, tantangannya, bagaimana kita memanfaatkan kekuatan ini tanpa kehilangan esensi keadilan dan rasa keadilan yang sejati —adil bukan karena viral, tapi karena sistem hukum yang benar-benar bekerja.

Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Al-Qur'an

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya