Mantan Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant dan PM Israel, Benjamin Netanyahu/Net
Setelah berbulan-bulan, Pengadilan Kriminal Internasional akhirnya setuju untuk mengeluarkan surat penangkapan terhadap tiga orang yang diduga melakukan kejahatan selama perang Gaza.
Dalam sebuah pernyataan pada Kamis waktu setempat, 21 November 2024, pengadilan yang berada di Belanda itu memerintahkan penangkapan untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant berkaitan dengan perang di Gaza yang meletus 7 Oktober tahun lalu.
Dikatakan bahwa ICC menemukan alasan yang masuk akal untuk menetapkan Netanyahu dan Gallant sebagai pelaku kejahatan perang termasuk kelaparan sebagai metode peperangan dan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan, penganiayaan, dan tindakan tidak manusiawi lainnya.
Surat perintah penangkapan tersebut menandai yang pertama dalam sejarah, menjadikan Netanyahu sebagai pemimpin Israel pertama yang dipanggil oleh pengadilan internasional atas dugaan tindakan terhadap warga Palestina dalam konflik selama 76 tahun tersebut.
Meskipun surat perintah penangkapan ICC tidak menjamin penangkapan, surat perintah tersebut dapat secara signifikan membatasi kemampuan Netanyahu untuk melakukan perjalanan ke negara-negara anggota ICC.
Kantor Perdana Menteri Israel menolak surat perintah tersebut dan menyebut tidak masuk akal juga menunjukkan sikap anti-semit.
“Israel sepenuhnya menolak tindakan dan tuduhan tidak masuk akal dan salah terhadapnya oleh Mahkamah Pidana Internasional, yang merupakan lembaga yang sangat penting dalam menangani masalah Israel," bunyi pernyataan tersebut, seperti dimuat
CNN.Israel, seperti Amerika Serikat, bukan anggota ICC dan telah menantang yurisdiksi pengadilan atas tindakannya dalam konflik tersebut.
ICC membantah sikap Israel, mengklaim yurisdiksi atas wilayah yang diduduki Israel, termasuk Gaza, Yerusalem Timur, dan Tepi Barat, menyusul perjanjian resmi kepemimpinan Palestina untuk terikat oleh prinsip-prinsip dasar pengadilan pada tahun 2015.
Di hari yang sama, ICC juga mengeluarkan surat perintah untuk pejabat Hamas Mohammed Diab Ibrahim Al-Masri, yang juga dikenal sebagai Mohammed Deif, yang menurut Israel adalah salah satu dalang pada serangan di Israel Selatan 7 Oktober 2023.
Israel mengklaim telah membunuh Deif dalam sebuah serangan udara pada bulan September, tetapi Hamas belum mengonfirmasi kematiannya.
ICC juga mengatakan telah menemukan alasan yang masuk akal dan meyakini Deif bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk pembunuhan, pemusnahan, penyiksaan, dan pemerkosaan serta bentuk kekerasan seksual lainnya.
"Deif memikul tanggung jawab pidana atas kejahatan-kejahatan ini," kata ICC dalam sebuah pernyataan.
Jaksa ICC awalnya meminta surat perintah untuk pemimpin Hamas Ismail Haniyeh dan Yahya Sinwar, yang keduanya telah dibunuh oleh Israel. Pengadilan mengatakan permohonan surat perintah ditarik karena kabar kematian mereka.
Hamas menyambut baik surat perintah terhadap pejabat Israel dalam sebuah pernyataan, tetapi tidak menyebutkan surat perintah yang dikeluarkan untuk Deif.
"Ini merupakan preseden historis yang signifikan. Ini memperbaiki jalannya ketidakadilan historis yang sudah berlangsung lama terhadap rakyat kami dan kelalaian yang mencurigakan atas pelanggaran mengerikan yang telah mereka alami selama 76 tahun pendudukan fasis," kata Hamas dalam sebuah pernyataan.
Seorang profesor hukum internasional di Universitas Tel Aviv, Eliav Lieblich menggambarkan keputusan ICC sebagai perkembangan hukum paling dramatis dalam sejarah Israel.
Menurutnya, surat penangkapan ini akan membatasi pihak ketiga bekerja sama dengan Israel.
"Arti langsungnya adalah bahwa 124 negara pihak ICC, yang mencakup sebagian besar sekutu terdekat Israel, secara hukum berkewajiban untuk menangkap Netanyahu dan Gallant jika mereka berada di wilayah mereka," kata Lieblich.
Setelah surat perintah penangkapan dikeluarkan, ICC mengirimkan permintaan kerja sama kepada negara-negara anggota.
Pengadilan tidak memiliki pasukan polisi sendiri untuk melakukan penangkapan, tetapi bergantung pada negara-negara anggota untuk melaksanakannya, yang secara hukum menjadi kewajiban negara-negara pihak.
Para pemimpin sebelumnya yang dihadapkan dengan surat perintah penangkapan ICC mengalami keterbatasan dalam kemampuan mereka untuk bepergian, tidak dapat melewati negara-negara yang secara hukum diwajibkan untuk menangkap mereka.