Putusan praperadilan hingga mundurnya Sahbirin Noor dari jabatan Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel) tidak menggangu proses penyidikan maupun menghapus perbuatan pidana yang sudah terjadi.
Jurubicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tessa Mahardhika Sugiarto mengatakan, putusan praperadilan yang dimenangkan Sahbirin Noor hanya terkait asepk formil. Sedangkan aspek materill atau perbuatannya tetap ada.
"Bahwa sudah ada beberapa tersangka yang ditahan dan diproses. Tentunya KPK akan melakukan tindakan-tindakan, salah satunya adalah pemanggilan yang bersangkutan sebagai saksi di perkara atau Sprindik yang saat ini berjalan," kata Tessa kepada wartawan, Minggu, 17 November 2024.
Sementara itu kata Tessa, mundurnya Sahbirin Noor dari jabatan Gubernur Kalsel juga tidak menggangu proses hukum yang tengah berjalan di KPK terkait dugaan korupsi di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalsel.
"Proses hukum tidak terganggu. Bahwa yang bersangkutan mengundurkan diri itu sama sekali tidak menggangu. Karena apa? Tindakan tersebut dilakukan pada saat yang bersangkutan menjabat sebagai penyelenggara negara. Bukan berarti mengundurkan diri itu hilang perbuatannya, karena sudah terjadi perbuatan tersebut," pungkas Tessa.
Pada Selasa, 12 November 2024, Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Afrizal Hady memutuskan menerima sebagian permohonan praperadilan yang diajukan Sahbirin Noor.
Hakim menilai penetapan tersangka terhadap Sahbirin Noor oleh KPK merupakan perbuatan sewenang-wenang. Untuk itu, Hakim menyatakan bahwa Sprindik atas nama Sahbirin Noor tidak sah.
Pada Minggu, 6 Oktober 2024, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di wilayah Provinsi Kalsel. Sebanyak 17 orang diamankan dalam kegiatan itu.
Dari OTT itu, KPK mengamankan barang bukti berupa uang Rp12.113.160.000 (Rp12,1 miliar) dan 500 dolar AS yang merupakan bagian dari fee 5 persen untuk Sahbirin terkait pekerjaan lainnya di Dinas PUPR Pemprov Kalsel.
KPK menetapkan 7 orang sebagai tersangka, yakni Sahbirin Noor (SHB) selaku Gubernur Kalsel, Ahmad Solhan (SOL) selaku Kepala Dinas PUPR Pemprov Kalsel, Yulianti Erlynah (YUL) selaku Kepala Bidang Cipta Karya sekaligus pejabat pembuat komitmen (PPK).
Selanjutnya, Ahmad (AMD) selaku pengurus rumah Tahfiz Darussalam sekaligus pengepul uang, Agustya Febry Andrean (FEB) selaku Plt Kepala Bagian Rumah Tangga Gubernur Kalsel, Sugeng Wahyudi (YUD) selaku swasta, dan Andi Susanto (AND) selaku swasta.
Dalam perkaranya, tersangka Wahyudi dan Andi mendapatkan 3 paket pekerjaan di Dinas PUPR Pemprov Kalsel pada 2024, yakni paket pekerjaan pembangunan lapangan sepakbola di kawasan olahraga terintegrasi Provinsi Kalsel dengan penyedia terpilih PT Wiswani Kharya Mandiri (WKM) dengan nilai pekerjaan Rp23.248.949.136 (Rp23,24 miliar).
Selanjutnya paket pekerjaan pembangunan Samsat Terpadu dengan penyedia terpilih PT Haryadi Indo Utama (HIU) dengan nilai pekerjaan Rp22.268.020.250 (Rp22,26 miliar), dan pembangunan kolam renang di kawasan olahraga terintegrasi Provinsi Kalsel dengan penyedia terpilih CV Bangun Banua Bersama (BBB) dengan nilai pekerjaan Rp9.178.205.930 (Rp9,17 miliar).
Dalam prosesnya, juga ada rekayasa pengadaan yang dilakukan agar tersangka Wahyudi bersama tersangka Andi terpilih sebagai penyedia paket pekerjaan tersebut adalah, pembocoran HPS dan kualifikasi perusahaan yang disyaratkan pada lelang, rekayasa proses pemilihan e-katalog agar hanya perusahaan Wahyudi bersama Andi yang dapat melakukan penawaran, konsultan perencana terafiliasi dengan tersangka Wahyudi, dan pelaksanaan pekerjaan sudah dikerjakan lebih dulu sebelum berkontrak.
Terdapat fee sebesar 2,5 persen untuk pejabat pembuat komitmen (PPK) dan 5 persen untuk Sahbirin.