Dalam rangka memperingati Hari Toleransi Internasional dan sebagai brief untuk pemerintahan Prabowo Subianto, Setara Institute memproduksi Nota Kebijakan berbasis data terkait Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia (2014-2023).
Selain itu, Nota Kebijakan tersebut juga didisagregasi berdasarkan provinsi. Khususnya beberapa provinsi prioritas, seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Sumatera Utara, Bali, dan Sulawesi Selatan.
Seperti disampaikan Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) merupakan hak konstitusional warga negara. Dalam konteks itu, pemerintahan Prabowo Subianto harus mengambil kebijakan dan tindakan yang memadai di tengah kondisi KBB yang berada dalam situasi minor.
Di mana, di tingkat nasional, terjadi stagnasi ke arah kemunduran (
stagnation to regression) dalam hal KBB. Pada laporan Setara Institute terbaru mengenai KBB pada 2023 lalu, kondisi aktual KBB secara nasional hanya bergeser dari satu stagnasi ke stagnasi baru.
"Data menunjukkan bahwa situasi KBB kita sebenarnya 'tidak kemana-mana', di mana angka peristiwa dan tindakan tetap tinggi. Padahal publik sempat memiliki harapan pada Pemerintahan Joko Widodo yang dianggap akan memberikan kemajuan bagi keberagaman di Indonesia dan secara khusus bagi perlindungan kelompok minoritas agama yang pada pemerintahan sebelumnya sering menjadi objek intoleransi, diskriminasi, restriksi, bahkan persekusi," ujar Halili Hasan, melalui keterangannya, Sabtu, 16 November 2024.
Dengan menimbang secara serius kondisi aktual KBB dalam 10 tahun terakhir, Setara Institute merekomendasikan beberapa kebijakan sebagai langkah prioritas pemerintahan Prabowo Subianto dalam pemajuan toleransi dan pemajuan KBB di Tanah Air.
Pertama, kepemimpinan nasional baru hasil Pemilu 2024 hendaknya memastikan agenda pemajuan toleransi, penguatan inklusi sosial, pemajuan kebebasan beragama/berkeyakinan, dan penanganan radikalisme dan/atau ekstremisme kekerasan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dengan mengeksplisitkan seluruh kebijakan, program, dan agenda prioritas sesuai dengan misi ke-8 dalam Asta Cita yaitu “Memperkuat penyelarasan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan alam dan budaya serta peningkatan toleransi antarumat beragama untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
Kedua, Pemerintahan Prabowo Subianto hendaknya memperkuat kepemimpinan toleransi dan mengakselerasi kebijakan tata kelola inklusif untuk mendorong dan menggerakkan kinerja pemerintahan yang masif dari pusat hingga daerah guna mengatasi kasus dan permasalahan yang menghambat kebebasan beragama/berkeyakinan secara efektif dengan berbasis pada hak konstitusional warga negara sesuai ketentuan yang termaktub dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ketiga, Pemerintahan Prabowo hendaknya membuka ruang sebesar-besarnya bagi partisipasi bermakna dan seluas-luasnya dalam meninjau ulang, membatalkan dan/atau memperbaiki regulasi di tingkat pusat dan daerah yang diskriminatif, intoleran, dan restriktif terhadap kebebasan beragama/berkeyakinan.
Seperti Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No 9 dan 8 Tahun 2006 yang akan dinaikkan statusnya menjadi Peraturan Presiden tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama. Lalu Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Tahun 2008, yang dikenal dengan SKB Tiga Menteri, tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.
Kemudian, UU Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004, yang pada Pasal 33 huruf d dan e, melembagakan Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan (BAKORPAKEM) sebagai bagian dari institusi Kejaksaan yang selama ini menjadi institusi yang restriktif terhadap keyakinan masyarakat, khususnya Penghayat Kepercayaan,
"Dan regulasi diskriminatif dan intoleran lainnya, wabil khusus produk hukum daerah yang diskriminatif dan intoleran serta bertentangan dengan Pancasila dan melemahkan kebhinekaan Indonesia," paparnya.
"Keempat, Pemerintahan baru hasil Pemilu 2024 mesti mengefektifkan penanganan kebijakan diskriminatif dimaksud dengan memenuhi mandat UU No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan Badan Regulasi Nasional, untuk memastikan pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah UU secara lebih sistematis dalam suatu sistem perencanaan yang seksama," tutur Halili.
Kelima, Pemerintahan Prabowo hendaknya mengakselerasi Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) Fase Kedua (2025-2029) untuk memberikan dasar hukum yang kuat bagi mobilisasi seluruh sumberdaya pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat dari hulu ke hilir untuk menangani ekstremisme kekerasan dengan mengoptimalkan
whole of government and whole of society approach.
Keenam, Menteri Agama hendaknya meninjau ulang desain dan kinerja Program Moderasi Beragama, yang saat ini telah diinstitusionalisasikan dengan pembentukan badan khusus sesuai dengan ketentuan Peraturan Presiden 58/2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama. Agar di lapangan kegiatan dimaksud tidak memicu polemik yang kontraproduktif bagi kebebasan beragama/berkeyakinan serta memicu konflik dan ketegangan baru antaragama dan antarsesama anak bangsa.
"Ketujuh, Menteri Dalam Negeri hendaknya memastikan pengarusutamaan tata kelola pemerintahan inklusif (
inclusive governance) oleh pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota, dengan menerbitkan kebijakan khusus mengenai tata kelola pemerintahan yang inklusif dalam mengelola kemajemukan di tengah-tengah masyarakat," demikian Halili Hasan.