Ilustrasi (Foto: portoflosangeles.org)
SENTIMEN kemenangan Trump kian pudar dalam mengangkat indeks Wall Street lebih jauh. Setelah pada sesi perdagangan sebelumnya Indeks Wall Street terseret di zona penurunan tipis, gerak turun berlanjut di sesi perdagangan Kamis 14 November 2024. Seluruh Indeks Wall Street merosot dalam kisaran signifikan untuk sekaligus menjauh dari rekor tertingginya.
Adalah sentimen dari pernyataan pimpinan The Fed, Jerome Powell yang kali ini dijadikan dalih investor untuk berbalik melakukan tekanan jual. Dalam sebuah kesempatan yang telah dinantikan pelaku pasar, Powell meyakini bahwa situasi perekonomian yang masih kuat, namun tidak perlu terburu-buru untuk menurunkan suku bunga lebih cepat.
Ekspektasi pelaku pasar yang sebelumnya berharap langkah agresif dalam penurunan suku bunga lanjutan, kini pupus dan tekanan jual menghajar Wall Street. Investor akhirnya menemukan momentum signifikan untuk melakukan aksi profit taking. Dan seluruh Indeks Wall Street Rebah di zona merah.
Hingga sesi perdagangan berakhir, Indeks DJIA turun 0,47 persen di 43.750,86, Indeks S&P500 terkoreksi 0,6 persen di 5.949,17 dan indeks Nasdaq terpangkas 0,64 persen di 19.107,65. Penurunan Wall Street yang lumayan ini kemudian menjadi bekal kurang bersahabat bagi sesi penurunan pekan ini di Asia.
Namun beruntungnya, sejumlah sentimen regional bernada positif hingga mampu menepis pesimisme dari Wall Street. Laporan menyebutkan, otoritas China yang mengklaim pertumbuhan penjualan ritel periode Oktober lalu sebesar 4,8 persen atau jauh melebihi ekspektasi pasar sebesar 3,8 persen. Sementara dari Jepang dilaporkan, raksasa perekonomian terbesar kedua Asia itu yang membukukan pertumbuhan di kuartal ketiga tahun ini sebesar 0,3 persen.
Dua rilis data tersebut kemudian mampu sedikit mengangkat optimisme pelaku pasar di Asia hingga membuat Indeks beralih positif. Pantauan memperlihatkan, Indeks Nikkei (Jepang) yang menutup sesi pekan ini dengan melonjak 0,28 persen di 38.642,91, sementara indeks ASX200 (Australia) menguat 0,74 persen setelah berakhir di 8.285,2, dan indeks KOSPI (Korea Selatan) berakhir flat alias turun sangat tipis 0,08 persen di 2.416,86.
Kabar positif dari sesi perdagangan di Asia gagal menjalar di Jakarta. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa saham Indonesia terpantau konsisten menjejak zona merah di sepanjang sesi perdagangan akhir pekan ini, Jumat 15 November 2024.
Pelaku pasar di Jakarta mendapatkan suntikan sentimen domestik yang suram dari rilis data neraca dagang yang membukukan surplus perdagangan yang mengecil. Badan Pusat Statistik, BPS merilis besaran surplus neraca dagang untuk Oktober lalu yang hanya sebesar $2,47 miliar atau jauh lebih kecil dari ekspektasi pasar di kisaran $3,05 miliar.
Laporan lebih jauh menyebutkan, mengecil nya surplus tersebut akibat pertumbuhan impor yang sangat tinggi yaitu sebesar 17,49 persen, sementara di sisi lainnya kinerja ekspor hanya tumbuh sebesar 10,25 persen.
Suramnya kinerja neraca dagang tersebut dengan mudah menepis bekal sentimen positif yang mengepung dari bursa regional. Tekanan jual akhirnya kian menderas hingga sempat menjungkalkan IHSG di level terendahnya di kisaran 7.122. IHSG kemudian mampu mengikis kemerosotan untuk menutup sesi pekan ini dengan anjlok 0,74 persen di 7.161,25.
Kemerosotan IHSG juga terlihat cukup meyakinkan dengan ditopang oleh rontoknya sejumlah besar saham unggulan. Catatan RMOL menunjukkan empat saham unggulan yang masuk dalam jajaran teraktif ditransaksikan gagal beralih positif, seperti: BBRI, BBNI, PTBA, dan LSIP.
Sementara sebagian besar saham unggulan tercatat mampu beralih positif, diantaranya: ADRO, TLKM, UNTR, BBCA, ASII, ITMG, INDF, ICBP, ISAT dan UNVR. Kemerosotan IHSG kali ini, menjadikan tren pelemahan yang kian solid dan sekaligus mengancam IHSG menembus ke bawah level psikologis pentingnya di kisaran 7.000 dalam beberapa waktu ke depan.
Dolar AS Sempat Dekati Rp16.000
Situasi suram juga terlihat di pasar valuta, di mana nilai tukar Rupiah sempat konsisten merosot seiring dengan berlanjutnya pesimisme di pasar global. Pantauan menunjukkan, seluruh mata uang utama dunia yang kembali runtuh pada sesi perdagangan Kamis malam hingga Jumat dinihari waktu Indonesia Barat.
Sentimen dari pernyataan Powell menjadi latar keruntuhan mata uang utama dunia. Pernyataan Powell dinilai pelaku pasar sebagai sinyal penurunan suku bunga lanjutan yang jauh dari meyakinkan. Aksi borong Dolar AS akhirnya tak terhindarkan untuk semakin menenggelamkan mata uang utama dunia.
Pantauan juga memperlihatkan, gerak runtuh mata uang utama dunia yang masih bertahan dan bahkan berlanjut hingga sesi perdagangan siang. Namun di pertengahan sesi sore, mata uang utama dunia mampu sedikit berbalik menguat. Akibatnya, seluruh mata uang Asia terseret dalam gerak moderat setelah sempat terjebak di zona merah.
Terkhusus pada Rupiah, sentimen tambahan domestik yang kurang menguntungkan dari rilis data neraca dagang semakin menyulitkan untuk lepas dari tekanan jual. Sementara pada sesi perdagangan pekan depan, sentimen domestik dari rilis data perekonomian terkini terlihat minim, prospek Rupiah kini semakin bergantung pada sentimen global.
Hingga sesi perdagangan sore ini berlangsung, Rupiah tercatat ditransaksikan di kisaran Rp15.849 per Dolar AS atau flat setelah konsisten menjejak pelemahan. Pantauan juga memperlihatkan, Rupiah yang sempat menjejak titik terlemahnya di kisaran Rp15.944 per Dolar AS atau mendekati level psikologisnya di kisaran Rp16.000, namun kemudian mampu mengikis kemerosotan tersebut.
Gerak di rentang sempit Rupiah kali ini sekaligus mencerminkan ketidakmampuan untuk melakukan rebound teknikal usai merosot tajam di sesi perdagangan kemarin. Sementara pada pasar Asia menunjukkan, gerak bervariasi dan dalam rentang terbatas, setelah sempat konsisten seragam menjejak zona pelemahan.