Berita

Ilustrasi pesantren/Ist

Publika

Tuan di Rumah Sendiri

JUMAT, 15 NOVEMBER 2024 | 07:09 WIB | OLEH: AHMADIE THAHA

TAK salah Presiden Prabowo Subianto memilih Prof. Nazaruddin Umar sebagai Menteri Agama. Hari-hari ini Pak Nazar mengaum, bertekad membabat korupsi dan kolusi yang diisukan bersarang di kantornya. Namun, di luar masalah akut ini, ketika bicara soal pesantren, sepertinya belum ada Menteri Agama yang sangat fasih seperti dia.

Di beberapa kesempatan, Menag Nazar menegaskan bahwa, jika ditilik dari sejarah, pesantren sebenarnya salah satu warisan pendidikan paling murni, asli, dan maju dari Nusantara. Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, tapi juga penjaga kearifan lokal, dengan sistem pembelajaran yang mengintegrasikan ilmu agama dan umum.

Menurut Pak Nazar, pesantren sudah berfungsi sebagai lembaga pendidikan sistematis bahkan sebelum kolonial Belanda tiba di Indonesia. Jadi, pesantren adalah pendidikan asli kita. Namun, ketika penjajah datang, pesantren tidak hanya dibayangi bayonet dan monopoli kolonial, tetapi juga dijepit oleh stigma sebagai pendidikan "alternatif," padahal seharusnya justru menjadi "arus utama."

Menariknya, Nurcholish Madjid atau Cak Nur pernah mengungkapkan sebuah gagasan yang cukup menggelitik: jika Belanda tidak menjajah Indonesia, mungkin kita akan mengenal Universitas Lirboyo, Universitas Tebuireng, atau Universitas Termas sebagai institusi pendidikan terkemuka -- bukan UI, ITB, atau IPB. Lirboyo, Tebuireng, dan Termas adalah pesantren-pesantren tua di Indonesia.

Pernyataan tersebut mungkin terdengar aneh, tapi cukup mengena. Cak Nur seolah ingin mengajak kita berpikir ulang: siapa sebenarnya yang menentukan standar pendidikan kita? Mengapa kita harus terpaku pada warisan kolonial yang hanya mengakui "universitas" dalam bentuk Barat sebagai puncak pendidikan?

Pesantren telah lama mengembangkan model pendidikan yang kemudian diadopsi oleh institusi besar dunia. Menurut beberapa pakar, sistem pemondokan di Oxford dan model pembelajaran takhassus (spesialisasi) di beberapa universitas ternama dunia, seperti Cambridge, justru terinspirasi dari sistem pesantren.

Namun, ironisnya, di Indonesia sendiri, pesantren sering kali dipandang sebelah mata karena dianggap tidak mengikuti standar "formal" yang ditetapkan oleh kolonial atau dunia Barat. Sudah saatnya pesantren, kata Pak Nazar, menjadi tuan rumah di rumah sendiri. Hal ini berarti pesantren harus kembali ke akar spiritualitasnya tanpa dibayangi tuntutan rasionalitas yang berlebihan dari sistem pendidikan formal.

Dengan tepat dia menyebut bahwa di pesantren, Al-Qur'an tidak hanya dipelajari sebagai Kitabullah, tetapi sebagai Kalamullah. Perbedaannya mendalam. Kitabullah menekankan Al-Qur'an sebagai kitab atau teks tertulis yang bisa dibaca dan dihafal. Namun, Kalamullah mengarah pada pemahaman yang lebih tinggi, di mana Al-Qur'an dilihat sebagai firman langsung dari Allah yang penuh hikmah dan hudan (petunjuk Ilahi).

Mempelajari Al-Qur'an sebagai Kalamullah mengajak santri untuk meresapi maknanya lebih dalam, melampaui sekadar hafalan atau pengetahuan kognitif semata. Dengan perspektif Kalamullah, setiap ayat dipahami sebagai dialog antara Allah dan manusia, yang membutuhkan pendalaman spiritual serta bimbingan dari seorang guru atau mursyid -- bukan sekadar pemahaman teks biasa yang diukur dengan ujian tertulis.

Dalam upaya mengembalikan kejayaan pesantren, Prof. Nazar meluncurkan aplikasi layanan pendidikan pesantren milik "Majelis Masyayikh" yang bertujuan untuk menjamin mutu pendidikan pesantren. Namun, ia mengingatkan bahwa pendekatan penjaminan mutu pesantren harus berbeda dari standar yang digunakan di pendidikan formal pada umumnya.

Menurutnya, metodologi pendidikan pesantren didasarkan pada spiritualitas dan pendekatan agama, berbeda dengan epistemologi rasional yang dominan di sekolah umum. Sebagai contoh, ia menyatakan bahwa ilmu yang dipelajari di sekolah umum bersifat "duniawi" dan hanya sebagian dari ilmu yang Tuhan berikan.

Sebaliknya, pesantren mengajarkan ilmu dari Allah, dengan guru atau mursyid sebagai perantara. Karena itu, ia mengingatkan agar kendali mutu pesantren tidak diukur menggunakan parameter sekuler dan pragmatis. Dengan kata lain, mengukur kualitas pesantren dengan standar yang sama dengan sekolah umum sama saja dengan mengukur dalam liter takaran yang seharusnya diukur dalam galon.

Pemerintah melalui Kementerian Agama berencana membentuk Direktorat Jenderal Pesantren, lembaga yang diharapkan akan mampu melindungi dan mengayomi pesantren di seluruh Indonesia. Tentu saja, ini langkah penting, namun masih harus disertai oleh upaya untuk memastikan bahwa pesantren bisa berkembang tanpa harus tunduk pada standar formal yang mengikis spiritualitasnya.

Semoga saja nanti akan ada "UI versi pesantren" atau "Institut Teknologi ala pondok." Tapi tentu, masyarakat berharap agar Direktorat Jenderal Pesantren tidak hanya menjadi lembaga simbolis. Diharapkan pesantren akan benar-benar bangkit sebagai lembaga pendidikan khas Nusantara yang mampu melahirkan intelektual sejati, bukan sekadar "sarjana instan" dengan gelar yang formalitas.


*Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Al-Qur'an


Populer

KPK Kembali Periksa Pramugari Jet Pribadi

Jumat, 28 Februari 2025 | 14:59

Sesuai Perintah Prabowo, KPK Harus Usut Mafia Bawang Putih

Minggu, 02 Maret 2025 | 17:41

Digugat CMNP, Hary Tanoe dan MNC Holding Terancam Bangkrut?

Selasa, 04 Maret 2025 | 01:51

Lolos Seleksi TNI AD Secara Gratis, Puluhan Warga Datangi Kodim Banjarnegara

Minggu, 02 Maret 2025 | 05:18

CMNP Minta Pengadilan Sita Jaminan Harta Hary Tanoe

Selasa, 04 Maret 2025 | 03:55

KPK Terus Didesak Periksa Ganjar Pranowo dan Agun Gunandjar

Jumat, 28 Februari 2025 | 17:13

Bos Sritex Ungkap Permendag 8/2024 Bikin Industri Tekstil Mati

Senin, 03 Maret 2025 | 21:17

UPDATE

Tekuk Fiorentina 2-1, Napoli Tak Biarkan Inter Tenang

Senin, 10 Maret 2025 | 01:21

Polda Jateng Tegas Larang Petasan Sepanjang Ramadan

Senin, 10 Maret 2025 | 00:59

Kluivert Tiba di Jakarta Ditemani Mantan Pemain Man United

Senin, 10 Maret 2025 | 00:41

Cegah Bencana Seperti di Jabotabek, Menteri ATR/BPN Evaluasi Tata Ruang di Jatim

Senin, 10 Maret 2025 | 00:25

Asiang Versus JACCS MPM Finance, Peneliti IPD-LP Yakin Hakim MA Lebih Adil

Minggu, 09 Maret 2025 | 23:58

Beri Bantuan untuk Korban Banjir di Candulan, Okta Kumala Dewi Berharap Ada Solusi Jangka Panjang

Minggu, 09 Maret 2025 | 23:41

PSU Empat Lawang Diikuti Dua Paslon, Pencoblosan pada 19 April 2025

Minggu, 09 Maret 2025 | 23:20

Update Banjir dan Longsor Sukabumi: 5 Orang Wafat, 4 Orang Hilang

Minggu, 09 Maret 2025 | 22:44

Menanti Keberanian Kejagung Bongkar Biang Kerok Korupsi Migas

Minggu, 09 Maret 2025 | 22:30

PTPN IV PalmCo Siapkan 23 Bus untuk Mudik di Sumatera dan Kalimantan

Minggu, 09 Maret 2025 | 22:18

Selengkapnya