Berita

Guru honorer di Konawe Selatan, Supriyani yang diperkarakan ke jalur hukum atas tusuhan penganiayaan siswa

Publika

Luka Guru Supriyani

SELASA, 12 NOVEMBER 2024 | 15:41 WIB | OLEH: AHMADIE THAHA

MARI kita bayangkan skenario ini: Seorang guru honorer, Supriyani, yang menerima upah sebesar Rp300 ribu per bulan, menjadi terdakwa atas tuduhan kekerasan terhadap murid. Kejadian ini bermula dari seorang anak yang terluka. Ketika ditanya oleh sang ayah, seorang polisi, ia menyebut Bu Supriyani sebagai pelakunya. 

Sang ayah langsung geram dan menganggap bahwa pelakunya harus diadili tanpa ampun, sebuah langkah yang mungkin akan dianggap berlebihan jika mengingat sifat masalahnya.

Supriyani mengaku tak melakukan apa yang dituduhkan. Namun, jika seorang polisi tidak percaya pada kata-kata seorang guru, lantas siapa yang harus dipercaya?

Seiring waktu, cerita ini semakin ruwet dan berkepanjangan. Setelah mediasi gagal dan tuntutan pembayaran (ada yang bilang diperas) sebesar Rp50 juta oleh si polisi tidak bisa dipenuhi Supriyani (tentu saja, dengan gaji honorer, Rp50 juta adalah angka yang tampak fantastis), masalah ini akhirnya berlanjut ke pengadilan. 

Ironisnya, belakangan sang murid baru mengaku bahwa luka tersebut bukan berasal dari pemukulan, melainkan karena kecelakaan di sawah. Meski begitu, proses hukum tetap berjalan. Untuk apa? Ingin menunjukkan negeri ini negeri hukum? Bah!

Dalam kisah ini, tampak nyata keadilan dan realitas terperangkap dalam jaringan kekuasaan, uang, dan rasa superioritas yang menafikan nilai seorang guru yang seharusnya dihormati. Harkat guru diinjak-injak atas nama keangkuhan dan kesombongan.

Menariknya, Bupati Konawe Selatan turut "cawe-cawe." Bukan untuk menyelesaikan masalah, tetapi justru memperpanjangnya dengan melayangkan somasi pada Supriyani, membuat suasana semakin tegang. Padahal, menurut banyak pihak, seperti Pengurus Besar PGRI Sulawesi Tenggara, somasi ini adalah contoh buruk bagi pemerintah daerah.

Langkah Bupati ini dianggap sebagai bentuk intimidasi terhadap guru yang berada di posisi lemah, seolah-olah menunjukkan bahwa guru honorer tidak memiliki hak untuk mempertahankan diri.

Lalu, bagaimana reaksi dari dunia pendidikan kita? Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Muti sempat berjanji mengangkat Supriyani sebagai guru non-PNS dengan gaji yang layak.

Namun, publik bertanya-tanya, apakah langkah ini cukup? Apakah cukup dengan satu janji politik untuk mengobati luka seorang guru yang tidak hanya terluka secara fisik, tetapi juga mental akibat proses hukum yang berkepanjangan dan tekanan dari semua sisi?

Kasus ini seharusnya sederhana. Jika bukti sudah menunjukkan bahwa sang anak terluka akibat kecelakaan, bukan kekerasan, mengapa pengadilan tetap berlangsung? Mengapa bupati, polisi, dan pejabat daerah lainnya tidak mengutamakan penyelesaian yang adil dan manusiawi?

Di sinilah realitas pahit dunia pendidikan kita terlihat. Guru, yang seharusnya dihormati dan dijaga, justru menjadi korban. Seorang guru honorer, dengan gaji rendah dan beban pekerjaan berat, kini menghadapi cobaan yang menghancurkan kehidupannya.

Sementara itu, masalah yang sesungguhnya tampak terpinggirkan: keadilan bagi guru honorer, perlindungan hukum yang seharusnya mereka miliki, dan penghargaan atas dedikasi mereka yang sering kali diabaikan.

Kasus Supriyani adalah cermin dari bagaimana masyarakat kita sering memperlakukan guru honorer. Guru-guru yang mengabdikan hidupnya dengan gaji kecil kerap kali menjadi sasaran empuk dari masalah-masalah sosial yang tidak seharusnya mereka hadapi. Hukum yang seharusnya membela, justru ikut terperangkap dalam kebingungan struktural.

Pada akhirnya, kita harus bertanya ke diri sendiri: bagaimana nasib bangsa ini jika seorang guru yang mengabdikan dirinya dengan tulus harus diperlakukan seperti ini?

Sungguh ironi yang menyedihkan dalam sistem pendidikan kita, yang berteriak tentang pendidikan moral dan akhlak tetapi melupakan moralitas dalam memperlakukan guru-gurunya.

Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Al-Qur'an

Populer

Kapolri Mutasi 55 Pati dan Pamen, Ada 3 Kapolda Baru

Selasa, 12 November 2024 | 23:52

Pilkada Jateng dan Sumut Memanas Buntut Perseteruan PDIP Vs Jokowi

Minggu, 03 November 2024 | 13:16

"Geng Judol" di Komdigi Jadi Gunjingan sejak Bapak itu Jabat Menteri

Rabu, 06 November 2024 | 07:53

Protes Aturan Hijab, Mahasiswi Iran Nekat Bugil di Depan Kampus

Minggu, 03 November 2024 | 16:18

Haikal Hasan Diminta Cek Joget Sadbor: Halal Nggak?

Minggu, 03 November 2024 | 10:41

Tak Terima Dikabarkan Meninggal, Joncik Laporkan Akun Facebook "Lintang Empat Lawang" ke Polisi

Kamis, 07 November 2024 | 06:07

Musa Rajekshah Dorong Pemetaan Potensi dan Keunggulan Desa

Kamis, 07 November 2024 | 21:43

UPDATE

Ibu Wapres Selvi Buka Bazar Amal Women's International Club 2024

Rabu, 13 November 2024 | 11:57

Bappenas Ungkap Mayoritas Target Pemerintahan Jokowi Tak Tercapai

Rabu, 13 November 2024 | 11:56

Ajakan Presiden Prabowo untuk Swasembada Energi Harus Dikawal

Rabu, 13 November 2024 | 11:43

Meski Status Tersangka Gugur, Gubernur Kalsel Sahbirin Noor Tetap akan Dipanggil KPK

Rabu, 13 November 2024 | 11:35

KPK Buka Peluang Kembali Tersangkakan Gubernur Kalsel Sahbirin Noor

Rabu, 13 November 2024 | 11:30

Majelis Masyayikh Tingkatkan Mutu Pesantren di Era Digital

Rabu, 13 November 2024 | 11:21

Bitcoin Terbang Tinggi, Satu Keping Dibanderol Hampir Rp1,4 Miliar

Rabu, 13 November 2024 | 11:15

Sesalkan Sikap KPK di Kasus Sahbirin Noor, DPR: Katanya Berani Jujur Hebat?

Rabu, 13 November 2024 | 10:26

Bobrok, Pimpinan KPK Sekarang Tak Pantas Dipilih Lagi

Rabu, 13 November 2024 | 10:20

Menko Pangan Terima Kunjungan Pertani HKTI

Rabu, 13 November 2024 | 10:10

Selengkapnya