Berita

Ilustrasi/Net

Dunia

Kesepakatan Maritim Prabowo-Xi Jinping Bahayakan Posisi Natuna

SENIN, 11 NOVEMBER 2024 | 15:03 WIB | LAPORAN: HANI FATUNNISA

Butir ke-9 pada kesepakatan pertemuan bilateral Presiden RI, Prabowo Subianto dan Presiden Tiongkok, Xi Jinping yang ditandatangani pada Minggu, 9 November 2024 dinilai dapat membahayakan posisi Pulau Natuna.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Diponegoro, Eddy Pratomo menyoroti point ke-9 pada "Joint Statement Between the People's Republic of China and the Republic of Indonesia on Advancing the Comprehensive Strategic Partnership and the China-Indonesia Community with a Shared Future" yang menyatakan bahwa kedua negara akan bersama-sama menciptakan lebih banyak titik terang dalam kerja sama maritim.

Di dalamnya dijelaskan bahwa kedua negara sepakat untuk bekerja sama dalam merespons overlapping claims atau wilayah yang disengketakan antara negara-negara di Laut China Selatan.

"Kedua belah pihak mencapai kesepahaman bersama yang penting tentang pengembangan bersama di berbagai bidang overlapping claims dan sepakat untuk membentuk Komite Pengarah Bersama Antar-Pemerintah untuk mengeksplorasi dan memajukan kerja sama yang relevan," bunyi kesepakatan tersebut.

Eddy menjelaskan bahwa selama ini Indonesia selalu konsisten untuk tidak menerima klaim Tiongkok pada “Nine dashed-lines” atau sembilan garis putus-putus yang tidak mempunyai legalitas dalam hukum internasional, khususnya UNCLOS 1982 maupun hukum kebiasaan internasional.

Selain itu, Indonesia juga selalu tegas menyatakan tidak terlibat atau menjadi bagian dari negara-negara yang mengajukan sengketa di Laut China Selatan serta mendesak penyelesaian sengketa di kawasan tersebut sesuai dengan prinsip- prinsip hukum laut internasional.

Kendati demikian, menurut Eddy, kesepakatan antara Prabowo dan Xi baru-baru ini telah mengubah posisi tersebut. Indonesia jadi mengakui overlapping claims yang secara tidak langsung juga mengakui adanya klaim Tiongkok atas sembilan garis putus-putus di Laut China Selatan.

"Dengan adanya Joint Statement RI-Tiongkok ini maka sikap Indonesia mulai saat ini sudah mengakui adanya wilayah tumpang tindih (overlapping claims) yang secara juridis dapat dianggap sebagai pengakuan secara diam-diam klaim (tacit recognition) terhadap 9 dashed-lines oleh RRT (Republik Rakyat Tiongkok) atas Laut China Selatan khususnya Laut Natuna Utara," paparnya.

Eddy menjelaskan bahwa posisi ini bertentangan dengan Keputusan (Awards) dari Permanent Court of Arbitration (PCA) tentang Laut China Selatan 2016, dan semua dokumen yang dikeluarkan oleh ASEAN dan pernyataan- pernyataan bilateral Indonesia yang secara konsisten menegaskan komitmen Indonesia terhadap UNCLOS 1982 dalam berbagai forum internasional termasuk PBB.

Meskipun hanya berbentuk format joint statement atau MoU, posisi Indonesia yang baru ini merupakan tindakan unilateral yang bersifat mengikat, begitu pula dengan Tiongkok.

Menurut Eddy, konsekuensi dari pengakuan hak maritim Tiongkok di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara, adalah ratifikasi Perjanjian RI-Vietnam tentang ZEE yang tidak bisa dilakukan tanpa melibatkan Beijing,

"Dokumen Joint Statement ini dapat digunakan oleh Tiongkok untuk melarang Indonesia meratifikasi perjanjian ini karena hak maritimnya telah diabaikan," jelas Eddy.

Selain itu, kata Eddy, posisi terbaru Indonesia terkait Laut China Selatan akan mengganggu konstelasi geopolitik di Kawasan. Joint Statement itu bisa digunakan Tiongkok untuk mendesak negara lain menerima klaim sembilan garis putus-putusnya.

"Keberhasilan Tiongkok memperoleh pengakuan dari Indonesia akan dikapitalisasi oleh Tiongkok untuk mendesak negara-negara lainnya agar menerima 9DL yang pada akhirnya akan memperlemah posisi ASEAN yang selama ini menolak klaim yang tidak sesuai dengan UNCLOS 1982," pungkasnya.

Populer

Rektor UGM Ditantang Pamerkan Ijazah Jokowi

Selasa, 18 Maret 2025 | 04:53

Indonesia Dibayangi Utang Rp10 Ribu Triliun, Ekonom Desak Sri Mulyani Mundur

Jumat, 14 Maret 2025 | 12:40

KPK Kembali Panggil Pramugari Tamara Anggraeny

Kamis, 13 Maret 2025 | 13:52

Menag Masih Pelajari Kasus Pelarangan Ibadah di Bandung

Senin, 10 Maret 2025 | 20:00

Duit Sitaan Korupsi di Kejagung Tak Pernah Utuh Kembali ke Rakyat

Senin, 10 Maret 2025 | 12:58

Polda Metro Didesak Segera Periksa Pemilik MNC Asia Holding Hary Tanoe

Minggu, 09 Maret 2025 | 18:30

Nyanyian Riza Chalid Penting Mengungkap Pejabat Serakah

Minggu, 09 Maret 2025 | 20:58

UPDATE

Janji Trump Zonk, Dolar AS Tembus Rp16.500

Rabu, 19 Maret 2025 | 19:59

Pertamina Pastikan Stok BBM dan LPG di Banjarmasin Aman

Rabu, 19 Maret 2025 | 19:58

Kantor BPN Tetap Buka di Masa Libur Lebaran

Rabu, 19 Maret 2025 | 19:58

DPR dan Pemerintah Rapat Dadakan soal RUU TNI, Bahas Apa?

Rabu, 19 Maret 2025 | 19:57

Prabowo Bakal Luncurkan Program Govtech, Potensi Hemat Anggaran Rp100 Triliun

Rabu, 19 Maret 2025 | 19:44

Lagi, Bareskrim Ungkap SPBU “Penyunat" Takaran BBM

Rabu, 19 Maret 2025 | 19:42

Mahasiswa Bakal Demo Tolak RUU TNI Besok, Anggota DPR: Itu Hak yang Dilindungi Konstitusi

Rabu, 19 Maret 2025 | 19:34

Airlangga: Penyelesaian EU-CEPA Bisa Dongkrak Ekspor Tekstil Nasional

Rabu, 19 Maret 2025 | 19:26

Commander Wish Kapolda Riau: Berdiri Lebih Rendah dari Masyarakat

Rabu, 19 Maret 2025 | 19:23

Pimpinan PTPN I Dilaporkan ke KPK, Ini Sebabnya

Rabu, 19 Maret 2025 | 19:17

Selengkapnya