MASALAH serius kekurangan rumah (backlog) telah menjadi ancaman serius bagi generasi mendatang. Apalagi kita telah mendekati angka puncak bonus demografi, dimana 70-an persen struktur penduduk kita akan diisi anak muda pada tahun 2030. Menurut data Survei Sosial Ekonomi (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, angka backlog kita adalah sebesar 9,9 juta unit di 2023.
Generasi muda banyak yang terancam menjadi tuna wisma dan hal ini tentu tidak mungkin hanya dapat diselesaikan oleh pemerintah tanpa melibatkan masyarakat secara partisipatif. Apalagi dalam kondisi fiskal pemerintah yang telah tersedot habis untuk membayar utang. Bahkan angsuran dan bunganya harus ditutup dengan utang baru.
Ketersediaan rumah layak huni, sehat, dan murah merupakan kebutuhan yang mendesak dan sekaligus menjadi bagian penting dalam rangka penanggulangan kemiskinan. Tanpa tempat tinggal yang layak, masalah-masalah sosial ikutan lainnya seperti tingkat kriminalitas, prostitusi, obat-obat terlarang, dan sebagainya, akan melahirkan persoalan baru yang pada akhirnya membuat biaya sosial semakin besar.
Kebutuhan akan papan (
house) berperan penting dalam upaya membangun bangsa. Rumah yang sehat memberi keteduhan dan kebahagiaan (
home) merupakan sarana strategis untuk membangun masyarakat.
Masalah Komersialisasi Perumahan
Masalahnya, kebutuhan akan perumahan, khususnya bagi mereka yang berpendapatan rendah saat ini, kian membebani hidup mereka yang pada gilirannya membuat mereka jatuh dalam kubang kemiskinan berkelanjutan.
Mereka yang berpendapatan rendah dan termasuk golongan pekerja berupah minimum tentu semakin sulit dalam mengalokasikan pendapatan untuk kebutuhan perumahan. Bahkan, untuk mencicil atau membayar lunas perumahan kelas rusun atau rumah sangat sederhana sekalipun, mereka tetap mengalami kesulitan.
Parahnya lagi, sebagian besar pembangunan rumah susun atau rumah sangat sederhana diserahkan kepada para pengembang yang berorientasi mengejar keuntungan. Tak pelak kita sering menjumpai banyak bangunan perumahan memakai bahan material berkualitas rendah, karena para pengembang memang sengaja menekan biaya pembangunannya demi mendapatkan keuntungan besar.
Bahkan, rakyat kecil di beberapa kota besar tidak jarang menjadi korban para pengembang yang hendak membangun kompleks perumahan mewah dan setengah mewah (
real estate). Rakyat kecil tergusur, tidak memperoleh ganti rugi yang layak, dan tersisih ke wilayah pinggiran.
Kota menjadi deretan bangunan fisik yang kian nyata memamerkan kemegahan dan kemewahan di satu sisi serta kesenjangan sosial secara mencolok mata di sisi lain. Kota menjadi lahan pemuas hawa nafsu segelintir manusia yang ingin menunjukkan kekuasaannya.
Koperasi PerumahanSejak tahun 1960-an, mengacu pada pembangunan perumahan murah di berbagai negara maju, misalnya, Amerika Serikat dan Kanada, pemerintah selalu memprioritaskan koperasi. Hingga kini, jaringan koperasi perumahan (
housing cooperative) negara-negara itu berkembang pesat. Koperasi-koperasi perumahan seperti itu merupakan jaringan pengembang perumahan bersifat nirlaba karena dikelola dari dan oleh warga sendiri.
Koperasi perumahan dipilih karena memberikan manfaat nyata bagi kesejahteraan anggotanya dan turut menjaga kelestarian lingkungan. Dewasa ini, kontribusi jaringan koperasi perumahan di kedua negara itu tidak hanya menciptakan hunian yang sehat dan layak, namun juga berkontribusi pada pembangunan infrastruktur di sekitarnya dan turut menyumbang bagi proyek-proyek kemanusiaan internasional.
Pada awalnya, koperasi tersebut disokong penuh anggaran pemerintah. Pada akhirnya, setelah mereka mampu membangun dan mengembangkan perumahan baru secara mandiri dan berarti turut meringankan beban pemerintah. Pemerintah membantu dalam berbagai skim bantuan dana, kredit dengan bunga rendah dan jangka panjang (
mortage), garansi, penggunaan hak pakai tanah dengan harga relatif rendah, dan sebagainya.
Koperasi yang bergerak dalam pembangunan berbagai apartemen juga hidup berdampingan secara sosial, bahkan dalam berbagai kegiatan koperasi lainnya seperti koperasi konsumen, koperasi asuransi, koperasi pemakaman, dan sebagainya. Mereka menggelar pertemuan secara berkala untuk membahas kebijakan-kebijakan manajemen apartemen yang bersifat "
at cost".
Mereka memilih pengurus koperasi perumahan secara rutin dan mengangkat pemimpin mereka secara demokratis dengan konsep satu orang satu suara. Pendek kata, mereka menghadirkan kehidupan demokratis di tempat tinggal secara nyata.
Perumahan-perumahan koperasi telah menjelma bukan hanya sebagai
garden city yang humanis, tetapi benar-benar turut menciptakan keadilan bagi warga untuk tetap tinggal di sejumlah kota yang menjadi tumpuan harapan mereka untuk membangun kehidupan sosial dan ekonomi lebih baik.
Di Indonesia memang ada beberapa koperasi di kalangan masyarakat, terutama koperasi pegawai atau karyawan, yang turut menyediakan kebutuhan perumahan bagi anggotanya dalam bentuk kredit untuk membangun atau membeli rumah. Namun, usaha-usaha itu belum banyak yang berhasil karena tidak diintegrasikan sebagai kebijakan dan program nasional dalam rangka membangun perumahan murah dan layak huni, apalagi untuk menjangkau kebutuhan masyarakat yang berpendapatan tidak tetap dan kurang beruntung secara ekonomi.
Pembangunan perumahan melalui jalur koperasi sangatlah penting, karena sifat koperasi yang nirlaba, lebih mengedepankan kesejahteraan anggota, dan cara kerja gotong royong yang dapat mendorong terwujudnya konsep hunian yang lebih manusiawi. Sifat demokratis organisasi koperasi sebenarnya juga konkret untuk mengawal keberlanjutan tujuan-tujuan sosial dari hunian karena kendalinya ada di tangan para anggotanya.
*Penulis adalah CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR Federation) dan Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)