Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng/Ist
SALAH satu tugas utama pemerintah adalah mencari uang yang cukup untuk menolong rakyat dan membiayai negara dan pemerintahannya.
Tugas mencari uang adalah tugas yang paling pokok. Sebab ibarat pepatah Jawa "orang yang ditinggal pergi oleh uang (tidak punya uang) syukur-syukur bisa tidur, lalu bermimpi punya uang banyak. Sebab kalau tidak, maka hanya bisa melamun tanpa tepi."
Cara pemerintah mencari uang adalah dengan berdagang hasil bumi, baik dikerjakan sendiri oleh pemerintah maupun yang dikerjakan swasta lalu hasilnya dibagi dengan negara, atau menyewa aset-aset pemerintah kepada pedagang, atau menerima sedekah dari masyarakat yang dilayaninya.
Itulah cara pemerintah mencari uang secara konstitusional.
Sementara cara yang ditempuh oleh pemerintah sejak reformasi adalah mencari uang dengan memungut pajak secara paksa. Pajak disebut sebagai pungutan negara yang bersifat memaksa. Ada juga pungutan negara bukan pajak, namun nuansanya sama dengan pajak, yakni sebagai pungutan sejumlah tertentu yang memaksa.
Cara cari uang seperti ini memang mudah namun kurang sejalan dengan konstitusi adalah cara yang diwariskan oleh sistem kolonial. Hal semacam ini dulu menjadi penyebab perlawanan rakyat kepada kolonial.
Hal ini ternyata terbukti membawa dampak buruk kepada pemerintah dan negara. Sistem pajak telah membuat pemerintah menerima sangat sedikit dari hasil dagang atau hasil olah sumber daya alam. Akibatnya pemerintah kekurangan uang dan untuk menutupinya mengambil utang.
Makin lama utang makin banyak, dan tidak pernah ada satu pemerintahan pun yang berganti dapat membayarnya. Artinya ini utang dibawa mati, dibawa sampai ke dalam kubur oleh orang yang melakukannya.
Namun di bagian lain, swasta yang berdagang baik di dalam maupun yang melakukan ekspor memiliki uang begitu banyak. Karena uangnya takut dipajaki akhirnya disimpan di luar negero.
Uang hasil ekspor mereka sebagian besar disimpan di luar negeri, di tempat-tempat aman dari pungutan dan pajak atau
tax haven island. Hal itu terus berlangsung sampai puluhan tahun, bahkan sebagian besar uang tersebut dibawa mati.
Bahayanya, ternyata ahli warisnya tidak bisa mengambilnya karena tidak tahu
password-nya atau PIN-nya.
Pemerintah melalui UU dan dijalankan oleh Menteri Keuangan pernah mencoba mengambil uang tersebut dengan berbagai cara, seperti
tax amnesty berjilid sampai sekarang agar uang kembali ke pemiliknya di Tanah Air. Namun rupanya
password-nya atau PIN-nya salah.
Usaha memencet ulang PIN sebelumnya telah dicoba dengan 14 paket kebijakan, namun tidak kunjung bisa cair. Sekarang mencoba lagi memencet PIN
family office, namun ternyata PIN yang diingat oleh Menteri Keuangan ternyata sudah kedaluwarsa.
Maka akibatnya gagal 3 kali, ATM tersebut diblokir dan tidak bisa lagi digunakan untuk mencairkan uang.
Usaha mencairkan uang untuk dibawa masuk ke dalam ekonomi Indonesia tinggal satu cara, yakni harus dilakukan oleh Presiden secara langsung tanpa perantara (kurir) yang selama ini dipakai, yakni Menteri Keuangan.
Karena semua uang yang disembunyikan di luar negeri hanya bisa kembali ke tangan negara melalui pemerintah sebagai pemegang otoritas atas uang yang disembunyikan hasil menghindari kewajiban pada negara.
Nah, jika Presiden mempercayakan pencairan berikutnya kepada kurir, maka berilah PIN yang baru pada Menkeu, PIN yang sesuai zaman sekarang.
Btw, jangan-jangan sekarang sudah tidak pakai PIN lagi, tapi pakai
barcode?
Penulis adalah Direktur Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI)