DITJEN Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan bersama Departemen Statistik Bank Indonesia menyelenggarakan statistik. Statistik tersebut tentang utang sektor publik (SUSPI).
Pelaporan posisi nilai nominal utang pemerintah (General Government) bruto menunjukkan jumlah sebesar Rp8.334,59 triliun per triwulan I tahun 2024. Dari utang tersebut, utang jatuh tempo dalam setahun atau kurang, yang musti dibayar oleh pemerintah sebesar Rp581,79 triliun.
Sisanya untuk utang jatuh tempo pembayaran yang lebih dari setahun berjumlah sebesar Rp7.722,69 triliun.
Persoalannya kemudian antara lain adalah dijumpai beberapa kelompok kepentingan dari orang-orang yang bersikap kritis dan vokal menyuarakan secara sangat lantang pendapat. Pendapat tersebut berupa berkeberatan dengan besar pembayaran jatuh tempo atas transaksi utang pemerintah, yang berjumlah sebesar Rp8.334,59 triliun tersebut.
Hal itu mereka tetap suarakan, sekalipun utang pemerintah sesungguhnya digunakan untuk membiayai pembangunan nasional.
Sebenarnya bukanlah menjadi rahasia umum lagi, apabila utang pemerintah digunakan untuk menambahkan sebagian pendanaan atas belanja negara per tahun. Hal ini terjadi, karena pemerintah mempraktikkan defisit APBN, yaitu belanja negara direncanakan lebih besar dibandingkan pendapatan negara.
Defisit APBN dipraktekkan oleh pemerintah untuk melakukan percepatan pembangunan nasional dan daerah. Tanpa utang, pemerintah pada kenyataannya mengalami kesulitan melakukan percepatan pembangunan. Bahkan jika tanpa berutang sepeser pun, maka belanja negara per tahun dan telah terakumulasi secara jangka panjang masih bernilai jauh lebih kecil dibandingkan jumlah utang pemerintah hingga pada saat ini.
Praktik pemerintah berutang ini sesungguhnya telah dimulai sejak pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, dan berlanjut hingga Orde Reformasi pada saat ini.
Belanja negara secara keseluruhan pada kenyataannya digunakan oleh pemerintah untuk mengurusi banyak hal. Rincian belanja negara terdiri dari untuk membayar belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, subsidi bahan bakar minyak (BBM), subsidi non-BBM, belanja hibah, bantuan sosial, belanja lainnya, transfer ke daerah untuk dana perimbangan dana bagi hasil, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, dana otonomi khusus dan penyeimbangan, dana transfer lainnya, dan dana desa.
Besar belanja negara, misalnya untuk APBN tahun 2024 sebesar Rp2.558,22 triliun (Outlook 2024), yaitu jauh dari kecil dibandingkan terhadap besar utang pemerintah bruto di atas.
Belanja negara per tahun 2024 adalah sebesar 30,69 persen saja dibandingkan praktek jumlah utang pemerintah sebagaimana tersebut di atas, yang telah terjadi selama beberapa orde pemerintahan.
Implikasinya adalah sungguh sangat sulit berharap terproduksi jalan tol, jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten atau kota, jalan desa, jembatan, bandar udara, pelabuhan kapal laut, sekolah dan kampus negeri, pasar, dan seterusnya banyak sekali yang sudah terbangun, jika kita senantiasa menolak membayar utang jatuh tempo tenor setahun atau kurang, maupun terutama utang yang jatuh tempo untuk tenor lebih dari setahun di atas.
Serba menolak kebijakan membayar utang pemerintah, juga berarti menolak antara lain pembayaran program mengatasi Covid-19. Menolak pembiayaan bantuan langsung tunai dan bantuan sosial ketika Covid-19. Menolak bantuan sosial selama musim kemarau panjang hingga penyelenggaraan Pilpres, Pileg, dan Pilkada.
Juga berarti menolak membayar rincian-rincian biaya di atas. Menolak pembayaran belanja pegawai. Menolak membayar gaji dokter dan suster pemerintah. Menolak pembayaran subsidi BBM, menolak membayar subsidi non-BBM seperti listrik, subsidi pupuk, LPG 3 Kg. Menolak membayar dana BOS.
Menolak membayar dana pendidikan. Menolak membayar gaji guru dan dosen. Menolak membayar gaji dan tunjangan guru besar pegawai perguruan tinggi negeri. Menolak membayar bantuan tunjangan sertifikasi dosen. Menolak membayar guru honorer. Menolak membayar gaji pegawai honorer. Menolak membayar pembiayaan pembangunan waduk irigasi dan saluran teknis.
Masih banyak lagi yang lainnya. Oleh karena itu, tidak dapat dibayangkan tentang apa yang terjadi, ketika aspirasi kelompok-kelompok kepentingan yang menolak kebijakan utang pemerintah dipaksakan untuk diwujudkan dalam praktik di dunia nyata.
Kebijakan membayar utang pemerintah tersebut juga sangat berlebihan apabila menginginkan bahwa pembayaran utang dibebankan serratus persen pertanggungjawabannya kepada individu kepala negara dan kepala pemerintahan definitif.
Mereka sesungguhnya yang menikmati kebijakan utang pemerintah secara langsung dan tidak langsung adalah warga negara yang tinggal di Indonesia, termasuk yang berpendapat untuk menolak secara mentah-mentah terhadap semua kebijakan utang pemerintah.
Menolak membayar pajak dan tindakan lainnya dengan dalih argumentasi tentang aspirasi penyidikan tindakan dugaan korupsi tidak sesuai dengan harapan dari para kelompok kepentingan yang menolak kebijakan utang pemerintah.
Merasakan beban berat atas tingginya harga BBM bersubsidi, tarif listrik, pembayaran uang kuliah, dan beban pajak dan seterusnya, yang dipandang sebagai konsekuensi logis atas tindakan berutang secara ugal-ugalan adalah sesungguhnya menyangkut posisi dan kemampuan dalam mengangsur utang pemerintah.
Urusan yang sama, namun dengan menggunakan pendekatan kewajiban mengangsur utang pemerintah secara lebih terjangkau adalah urusan pendekatan tawar-menawar yang berbeda dibandingkan pemberlakuan terhadap pembebanan yang bersifat sepihak, individual, dan pukul rata.
Penulis adalah Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana