Mantan Kepala Dinas Intelijen Israel Mossad, Tamir Pardo/Net
Pemerintah Israel di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dinilai lebih mengutamakan balas dendam ketimbang menyelamatkan para sandera yang ditahan di Gaza.
Pandangan itu disampaikan oleh seorang mantan Kepala Dinas Intelijen Israel Mossad, Tamir Pardo yang menjabat tahun 2011-2016 dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Middle East Monitor pada Senin (23/9).
Menurut Pardo, harusnya pemerintah Netanyahu menerima tawaran gencatan senjata dan pengembalian sandera yang diajukan Hamas pertama kali pada 8 Oktober lalu.
"Namun, Israel memilih balas dendam. Mereka tahu bahwa para sandera tidak dapat dibebaskan melalui serangan militer," ujarnya dalam wawancara dengan kantor berita
Israel Srugim.
Dikatakan Pardo, pemerintah sebenarnya tahu bahwa akan ada banyak sandra yang terbunuh akibat serangan udara maupun operasi darat yang dilancarkan militer Israel.
Kendati demikian, lanjut Pardo, pemerintah tidak peduli dan Netanyahu berulang kali menyuarakan optimisme palsu tentang kemenangan mutlak yang akan segera mereka capai.
"Pemerintah tidak peduli. Mereka malah meluncurkan kampanye untuk meyakinkan publik tentang narasi palsu sebagai kemenangan mutlak," tambahnya.
Negosiasi gencatan senjata tidak langsung dan pertukaran tahanan antara Tel Aviv dan Hamas telah mencapai tahap kritis, karena Netanyahu tetap berkomitmen untuk melanjutkan perang di Gaza dan mengendalikan koridor-koridor utama di selatan dan tengah jalur tersebut, seperti Koridor Philadelphia dan Netzarim.
Di sisi lain, Hamas menuntut penarikan penuh Israel dari Gaza dan pemulangan orang-orang yang mengungsi tanpa batasan.
Saat ini, Israel menahan sedikitnya 9.500 tahanan Palestina di penjara-penjaranya, sementara diperkirakan 101 warga Israel ditahan di Gaza.
Hamas mengatakan puluhan sandera telah tewas akibat serangan udara yang diluncurkan Israel.