Massa aksi dari Front Pergerakan Nasional (FPN) di depan Kantor DPP Partai Gerindra, Jakarta Selatan, Kamis (19/9)/Ist
Ratusan massa aksi dari Front Pergerakan Nasional (FPN) menggeruduk Kantor DPP Partai Gerindra, Jakarta Selatan, Kamis (19/9).
Mereka meminta agar presiden terpilih 2024-2029 sekaligus Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto tak memilih Sakti Wahyu Trenggono sebagai pembantunya di kabinet mendatang.
Ketua FPN Dos Santos menilai Trenggono yang saat ini menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan diduga memiliki banyak kasus.
Di antaranya diduga menjadi aktor utama dalam proyek fiktif Telkom. Trenggono pun pernah sekali memenuhi panggilan KPK. Itupun dilakukan melalui pintu belakang dan mendapat pengawalan perwira tinggi Polri yang juga merupakan Sekjen KKP Komjen Pol Prof. Dr. Rudy Heriyanto Adi Nugroho,
Alhasil, lembaga antirasuah itu seakan tak berdaya menghadapi Trenggono. Pemeriksaan selama kurang lebih 2,5 jam pun berjalan lancar.
Selain itu beberapa kebijakan di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) saat ini juga disinyalir sarat dengan celah koruptif, misalnya dibukanya kembali keran ekspor pasir laut dan benih bening lobster (BBL).
“Kami secara formal memberikan surat kepada DPP Partai Gerindra, perihal penolakan terhadap Sakti Wahyu Trenggono masuk dalam kabinet periode 2024-2029,” ujar Dos Santos.
Pasalnya, menurut dia, Trenggono akan menjadi beban bagi Presiden Terpilih Prabowo dalam pemberantasan korupsi.
Lanjut Dos Santos, kehadiran aksi ini juga sebagai wujud dukungan dan menagih komitmen Presiden terpilih Prabowo Subianto yang tidak kompromi terhadap kasus korupsi.
Bahkan Prabowo akan melibatkan Kopassus dalam mengejar pelaku korupsi hingga Kutub Selatan sekalipun.
“FPN mengharap presiden Prabowo merespons aspirasi ini, guna terciptanya stabilitas pemerintahan yang
clean government dan
good governance," pungkas Dos Santos.
Namun sebelum dan sesudah melakukan aksi, Dos Santos mengaku pihaknya telah mendapat intimidasi dari orang tak dikenal bertampang preman.
Hal itu dialami Sekjen FPN Noor Azhari yang didatangi sejumlah orang agar tak melakukan aksi. Bahkan tempat percetakan untuk mencetak atribut aksi pun didatangi beberapa orang agar tak mencetak pesanan massa aksi.
Tentunya intimidasi tersebut sangat mencederai prinsip negara demokrasi dalam penyampaian aspirasi sebagai hak warga negara.