Berita

Hasan Gauk/Ist

Bisnis

Kebijakan Lobster KKP Diprotes Nelayan dan Pembudidaya Lombok

KAMIS, 12 SEPTEMBER 2024 | 14:28 WIB | LAPORAN: ADITYO NUGROHO

Kebijakan lobster yang berpangkal pada Permen KP Nomor 7/2024 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.) dan Rajungan (Portunus spp.) dinilai masih belum memuaskan nelayan dan pembudidaya.
 
Pasalnya, kebijakan yang menitikberatkan pada budidaya lobster itu ternyata pada praktiknya masih fokus pada pengiriman benih bening lobster (BBL) alias ekspor.
 

Kendati Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membantah keras istilah “ekspor” yang dipakai, karena pengiriman BBL ke luar negeri itu harus disertai investasi untuk budidaya. 
 
Namun sentra budidaya lobster hasil kerja sama dengan perusahaan joint venture Indonesia-Vietnam di Jembrana seakan masih jauh dari harapan.
 
Baru-baru ini, KKP pun melakukan sosialisasi budidaya lobster di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Seluruh stakeholder budidaya lobster pun diundang ke acara tersebut.
 
Termasuk perwakilan perusahaan joint venture yakni PT Mutagreen Aquaculture International, PT Gajaya Aquaculture International, PT Ratuworld Aquaculture International, PT Idovin Aquaculture International dan PT Idichi Aquaculture International.

Terkait acara itu, perwakilan nelayan Lombok, Hasan Gauk pun mengeluarkan uneg-uneg-nya. Menurut dia, kebijakan ini masih banyak kejanggalan dan belum berdampak banyak buat kesejahteraan nelayan serta pembudidaya. 

“Persoalan itu muncul karena ada rasa ketakutan yang akan terjadi yaitu kelangkaan bibit untuk teman-teman pembudidaya. Sementara transfer perkembangan informasi tentang proses budidaya dan ekspor BBL tidak pernah sampai ke masyarakat pembudidaya. Padahal ini persoalan serius,” kata Hasan kepada RMOL, Kamis (12/9). 
 
Dia menerangkan bunyi pasal 19 ayat 2 dari Permen KP 7/2024 bahwa "Setiap orang dilarang menangkap Lobster (Panulirus SPP) di atas ukuran BBL sampai dengan ukuran 150 gram untuk Lobster pasir sampai 200 gram untuk Lobster jenis lainnya". 
 
"Setiap orang yang dengan sengaja di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI) melakukan usaha perikanan yang tidak memiliki perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp 1.500.000.000 (satu miliar lima ratus juta rupiah)".

Lanjut Hasan, 99 persen nelayan atau penangkap benih lobster tidak tahu aturan ini 
 
“Karena yang terjadi di nelayan dan pembudidaya, mereka lebih banyak menebar bibit dari ukuran bibit Jarong, Jangkrik, JK, untuk memangkas waktu pemeliharaan, panen bisa 5/7 bulan. Sementara, kalau bibit dari ukuran bening, mereka akan pelihara sampai 10/12 bulan. Bicara soal pasal di atas, tentu mereka bisa kena pidana karena telah melanggar aturan hukum,” jelasnya. 
 
Dia menejalaskan di Kabupaten Lombok Timur ada Keramba Jaring Apung dengan jumlah lubang sekitar 8.672. Kalau dirata-rata kebutuhan bibitnya berkisar 876.200 ekor/tahun. Ini jumlah yang sangat sedikit. 

“Teman-teman koperasi bisa memenuhi kebutuhan paling lama 1 minggu, apalagi saat bibit lagi naik-naiknya. Jadi soal informasi kelangkaan bibit yang dikarenakan kembalinya ekspor benih bening lobster ini bisa dikatakan hoax,” tegasnya. 
 
Menurut dia, persoalannya bukan pada kelangkaan benih bening lobster yang selama ini selalu disuarakan, ini lebih ke soal negara tidak hadir pada masyarakat pembudidaya. 
 
“Seharusnya negara lewat BLU, BUMD, Balai Perikanan misalnya menyediakan bibit siap tebar untuk nelayan pembudidaya, dengan harga yang cukup terjangkau, syukur-syukur bisa gratis,” imbuhnya. 
 
“Harapan saya, aturan ini harus segera dibenahi, jangan sedikit- sedikit rakyat mau dipenjara, juga soal pembenahan tata niaga benih bening lobster, jangan sampai orang-orang yang sudah taubat, yang dulu pernah di jalan sesat dengan melakukan pengiriman secara black market ini kembali pada jalur yang salah. Pasar bebas, informasi harga dari negara tujuan kita tahu,” 
 
"Janganlah menindas rakyat dengan harga yang begitu murah, dan cara penanganan BBL yang dikirim dari daerah ke BLU tidak baik. Beberapa kejadian, ada banyak kematian yang berakibat koperasi rugi," tandasnya.

Populer

Emak-emak Antarkan Tahanan "Jokowi dan Iriana" ke KPK

Rabu, 26 Februari 2025 | 16:17

Permainan Jokowi Terbaca Prabowo dan Megawati

Selasa, 25 Februari 2025 | 18:01

KPK Kembali Periksa Pramugari Jet Pribadi

Jumat, 28 Februari 2025 | 14:59

Mengapa KPK Keukeuh Tidak Mau Usut Dugaan Korupsi Keluarga Jokowi?

Selasa, 25 Februari 2025 | 08:02

KPK Didesak Periksa Ganjar Pranowo dan Agun Gunandjar di Kasus e-KTP

Rabu, 26 Februari 2025 | 17:59

PT Lumbung Kencana Sakti Diduga Tunggangi Demo Warga Kapuk Muara

Selasa, 18 Februari 2025 | 03:39

KKMP: Copot Raffi Ahmad dari Jabatan Utusan Khusus Presiden

Selasa, 25 Februari 2025 | 11:11

UPDATE

Kapolri: Selamat Menjalankan Ibadah Puasa, Berlomba-Lomba Dalam Kebaikan

Jumat, 28 Februari 2025 | 21:16

Akademisi: Pembahasan RUU Polri, TNI dan Kejaksaan Seharusnya Terbuka

Jumat, 28 Februari 2025 | 21:06

Ketua MUI Ajak Umat Jalani Ramadan dengan Kesalehan Ibadah dan Sosial

Jumat, 28 Februari 2025 | 20:53

Kejagung Geledah Terminal BBM Tanjung Gerem di Cilegon

Jumat, 28 Februari 2025 | 20:45

Crowde Dipolisikan J Trust Bank, Diduga Lakukan Penipuan

Jumat, 28 Februari 2025 | 20:26

Rocky Gerung Wanti-wanti UI Jangan Main-main Obral Gelar

Jumat, 28 Februari 2025 | 20:21

DPR: Sidang Isbat Bukti Kehadiran Negara dalam Kepentingan Umat

Jumat, 28 Februari 2025 | 20:11

Kuli Bangunan yang Bunuh dan Cor Majikannya Terancam Penjara 15 Tahun

Jumat, 28 Februari 2025 | 20:10

Sektor Perkebunan jadi Tantangan dan Peluang bagi Penyuluh Pertanian Wujudkan Swasembada Pangan

Jumat, 28 Februari 2025 | 20:08

Kejagung Rampung Geledah Perusahaan Anak Riza Chalid, Ini yang Disita

Jumat, 28 Februari 2025 | 19:58

Selengkapnya