Pemerintah menggencarkan peningkatan Angka Konsumsi Ikan (AKI), berdasarkan data dari Statistik KKP data AKI 54,56 (2020), 55,16 (2021) dan 57,27 (2022).
Adapun target pada 2023 Kg per kapita per tahun dan sebesar 62,5 kilogram per kapita pada 2024 sebagai upaya meningkatkan gizi dan kesehatan masyarakat.
Ketua Umum Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia (KPPMPI), Hendra Wiguna menilai target ini harus dibarengi dengan kemudahan produsen dan konsumen dalam mendapatkan ikan.
“Target AKI pemerintah dalam hal ini KKP semakin tahun semakin meningkat, harapan baik perlu kita dukung. Oleh karenanya, KPPMPI berharap ada kemudahan nelayan kecil dalam berusaha sehingga akan menjamin ketersedian ikan. Nelayan harus mudah mendapatkan ikan, oleh karena itu perlu penyederhanaan perizinan, dibekali teknologi dan tentunya memastikan kesehatan laut terjaga,” kata Hendra kepada
RMOL, Jumat (6/9).
Lanjut dia, bilamana nelayan dibekali dengan teknologi pasti akan lebih mudah mendapatkan ikan, implikasinya akan menurunkan ongkos operasional yang selama ini menjadi beban terbesar dalam usaha penangkapan ikan.
Nantinya, paling tidak akan menurunkan harga ikan di konsumen. Sehingga konsumen akan lebih menjangkau untuk mendapatkan sumber protein terbaik tersebut.
“Secercah harapan, konon katanya di masa pemerintahan Prabowo-Gibran akan lebih memprioritaskan sektor padat karya yang diharapkan dapat lebih bermanfaat dalam penyerapan tenaga kerja. Semoga saja demikian, terutama di sektor kelautan perikanan dengan begitu anak muda yang menganggur akan menurun angkanya,” jelasnya.
Hendra berharap adanya perbaikan aksesibilitas dan ketersediaan infrastruktur di sektor kelautan perikanan. Mengingat kedua hal ini oleh berbagai pihak dipandang sebagai penghambat belum optimalnya pemanfaatan potensi perikanan.
“Hingga hari ini sering kita jumpai, di daerah A kekurangan ikan atau industri pengolahan kekurangan ikan, namun di daerah B nelayan membuang ikan karena tidak terserap hasil tangkapannya. Tentu ini persoalan distribusi, logistik, hilirisasi yang perlu diperbaiki,” bebernya.
“Persoalan lainnya, sambung Hendra, kita masih kekurangan cold storage seperti misalnya terjadi di Sabang.
“Saat ikan melimpah serapan disana rendah sedang cold storage tidak ada akhirnya ikan dibuang. Begitu juga di daerah penghasil ikan tuna, seperti di Pulau Morotai selain kekurangan cold storage ada keluhan juga tentang minimnya kapal ekspor untuk angkut ikan tuna,” bebernya lagi.
KPPMPI berharap Cold Storage tidak hanya dibangun di daerah pesisir, namun juga di daerah-daerah yang secara jarak jauh dari pesisir. Sehingga ikan segar sebagai protein terbaik bisa juga dirasakan oleh semua masyarakat Indonesia.
Masih kata Hendra, persoalan rantai dingin tersebut menjadikan stigma ikan mahal di kalangan masyarakat terus berlangsung. Sehingga masyarakat lebih memilih konsumsi sumber protein lainnya. Padahal di nelayan harga ikan tidak lebih tinggi dari sumber protein lainnya bahkan bisa di bawah harganya.
“Hari ini nelayan di Pengambengan, Jembrana mengeluhkan anjloknya harga ikan, sedangkan ongkos produksi meningkat. Sementara masyarakat yang berada sedikit lebih jauh dari pesisir tidak mampu membeli ikan karena harganya tinggi,” pungkas Hendra.