Logo Sekolah Kebangsaan Pemuda Indonesia (SKPI)/Ist
Sepenggal pesan Bung Karno yang menyebut ‘perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri’ menjadi refleksi dari keadaan bangsa Indonesia hari ini. Hal ini karena konstitusi dikangkangi oleh kelompok elit yang merasa negeri ini milik mereka.
Demikian pernyataan sikap yang disampaikan Sekolah Kebangsaan Pemuda Indonesia (SKPI) menyikapi dinamika politik yang terjadi berkaitan dengan UU Pilkada saat ini.
“Baru saja kita merayakan 79 tahun kemerdekaan, nyatanya kita masih dibelenggu oleh sekelompok anak negeri yang bermental penjajah. Mereka berteriak mengatasnamakan kepentingan rakyat ketika dipanggung, tapi kemudian membelakangi, mengkhianati, membunuh demokrasi secara perlahan,” kata Founder SKPI, Dr Faisal Mahrawa didapingi Syahrial Effendy, Fuad Ginting dan Muhammad Iqbal, di Medan, Kamis (22/8).
Dijelaskan, perilaku koruptif dengan membegal demokrasi semakin terang benderang. Dinasti semakin tak tahu malu dimana kepentingan ratusan juta rakyat Indonesia dianggap tidak lebih penting dari kepentingan seorang anak.
“Dua puluh enam tahun reformasi tak berbekas. Peradaban bangsa kita mundur. Aroma orde baru terendus kencang satu dasawarsa terakhir. Manuver politik elit negeri kadang menghina akal sehat dan intelektual kita,” ungkapnya.
Karena itu, SKPI mengajak seluruh pemuda untuk bergerak melakukan perlawanan. Mengajak semua elemen masyarakat berdiri tegak melawan kesewenang-wenangan.
“Mari kita bersama-sama mengawal tegaknya pilar demokrasi. Kita jaga penyelenggaraan Pilkada Serentak agar berjalan dengan berintegritas dan berkepastian hukum.
Jangan kita biarkan tatanan politik, hukum dan demokrasi kita dirusak. Ingat! Jangan pernah lelah untuk mencintai Indonesia,” ujarnya.
“Ayolah kita bergerak melawan. Melawan sesama anak negeri yang bermental penjajah. Melawan perilaku para elit yang tidak pernah hormat pada kita. Saatnya kita hentikan semua kebiasaan feodalisme. Kita ingatkan kepada semua, tanah air ini miliki kita bersama. Bukan milik istana,” demikian Faisal Mahrawa.