Audiensi sastrawan Indonesia, Goenawan Mohamad, beserta rombongan massa aksi dari kalangan aktivis '98, gurubesar, akademisi, pegiat HAM dan Pemilu, hingga mahasiswa, dengan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dan MK, di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (22/8)/RMOL
Tangisan pecah dalam pertemuan sastrawan senior Indonesia, Goenawan Mohamad, dengan perwakilan Mahkamah Konstitusi (MK), di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (22/8).
Bersama sejumlah tokoh dan aktivis, Goenawan menggelar aksi di depan Gedung MK, dalam rangka mendukung putusan lembaga tersebut terkait uji materiil ambang batas pencalonan kepala daerah dan batas minimum usia calon kepala daerah.
Goenawan disambut Anggota Majelis Kehormatan MK (MKMK) Yuliandri dan Jurubicara MK, Fajar Laksono.
Dia mengatakan, aksi massa yang terdiri dari para gurubesar, aktivis '98, akademisi, hingga mahasiswa punya kegelisahan yang sama terkait kondisi bangsa Indonesia yang dia anggap dalam keadaan darurat demokrasi.
"Semua bersepakat bahwa keadaan sedang genting," ucap Goenawan.
Wartawan senior itu kemudian terdiam saat hendak melanjutkan penjelasannya. Dia terlihat menghela napas cukup panjang.
"Maaf, saya enggak bisa ngomong lagi karena emosi saya," katanya bergetar hingga tangis pun pecah.
Perwakilan massa aksi yang hadir dalam audiensi itu turut menyemangati Goenawan, supaya bisa melanjutkan pernyataannya kepada pihak MK.
"Ya kalau saya enggak menahan diri, saya bilang kita revolusi saja," kata Goenawan.
Menurutnya, kondisi politik sekarang ini tak lagi bisa didiamkan, dan juga tidak bisa dilakukan perubahan lewat gerakan revolusioner.
"Saya tahu ongkosnya (untuk revolusi suatu bangsa) banyak, dan tagihannya kita enggak tahu kepada siapa," tuturnya.
Oleh karena itu, dalam kondisi sekarang ini pria berusia 83 tahun itu mengajak masyarakat untuk melawan pembangkangan terhadap konstitusi.
Pasalnya, dia tak menerima apabila putusan MK terkait ambang batas pencalonan kepala daerah dan batas minimum usia calon kepala daerah yang diatur dalam UU 10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), dibegal oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan cara merevisi UU Pilkada secara kilat.
"Tapi keadaan sudah keterlaluan. Sebenarnya DPR yang melawan konstitusi harus dibubarkan," tegas Goenawan.