Berita

Ilustrasi Foto/Net

Bisnis

Kebijakan BMAD Berpotensi Timbulkan Retaliasi dari China

MINGGU, 18 AGUSTUS 2024 | 14:44 WIB | LAPORAN: ADITYO NUGROHO

Potensi retaliasi dari China menjadi ancaman serius bagi perdagangan Indonesia jika kebijakan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) dikenakan terhadap produk keramik dari negara tersebut.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menyatakan penerapan BMAD harus dipertimbangkan secara matang mengingat risiko retaliasi yang bisa berdampak lebih luas terhadap perdagangan dalam negeri. 

Jika niatnya pemerintah ingin menyelamatkan industri keramik dalam negeri, maka tidak efektif dengan BMAD.

"Saya katakan pengenaan bea masuk itu sifatnya temporer, sementara, maka dia tidak mengobati akar permasalahan, jadi dia bisa bertahan tetapi begitu nanti sudah habis waktunya bea masuk harus di normalisasi kembali akan muncul masalah baru," ujar Faisal kepada wartawan di Jakarta, Minggu (18/8).

"Oleh karena itu kalau memang pemerintah ingin menerapkan bea masuk untuk menyelamatkan industri dalam negeri jadi jangan cuma mengandalkan bea masuk saja. Akar permasalahannya harus diobati," sambungnya.

Berkaca dari China, Faisal mengatakan industri dalam negeri China kenapa bisa maju dan memiliki daya saing sebab mendapat dukungan penuh oleh pemerintahnya, baik itu dari segi pajak, pemberian insentif dan lain sebagainya.

"Karena China itu dia lebih murahnya itu karena pemerintahnya jor-joran memberikan insentif kepada industri nya sehingga ketika dijual jauh lebih murah sampai insentif pajak, non pajak, listrik murah segala macam," paparnya.

"Nah ini yang harus dipikirkan oleh pemerintah, saya kira bukan hanya untuk industri keramik tetapi juga industri-industri yang lain karena industri yang lain juga menghadapi permasalahan yang sama dengan produk-produk China," tambahnya.

Lanjut Faisal mengatakan ancaman retaliasi dari China memungkinkan terjadi, pemerintah perlu mengantisipasinya dengan langkah-langkah yang tepat untuk menghindari hal tersebut.

"Masalah retaliasi memang bisa bahwa memang setiap kali ada kebijakan yang sifatnya safeguard pasti akan mendapatkan tantangan dari negara mitra, nah dalam konteks itu berarti Indonesia perlu mempersiapkan secara diplomatik bahwa kalau kita dikenakan retaliasi nanti apa langkah-langkah pemerintah untuk menghindari hal tersebut," ucapnya.

Dikatakan Faisal, China sudah biasa melakukan balasan atau retaliasi terhadap negara-negara yang mereka anggap tidak adil, China cukup berani melakukan balasan.

Bahkan dengan Amerika Serikat karena sudah memiliki kekuatan ekonomi yang seimbang berani melakukan balasan.

"Ini masalah retaliasi itu sesuatu yang biasa terjadi di dalam hubungan perdagangan internasional antar negara tidak usah jauh-jauh kemarin saja, China dikenakan tarif tinggi oleh Amerika kemudian langsung dibalas lagi," bebernya.

Tidak hanya dengan Amerika, China juga berani melawan Eropa yang mengenakan tarif mahal terhadap produk mobil listriknya, apalagi terhadap Indonesia.

"Kemudian China dikenakan tarif tinggi untuk produk mobil listrik kendaraan listrik oleh Eropa, nah kemudian dari China juga membalas lagi seperti itu, jadi memang kita harus menyiapkan antisipasi kalau kemudian terjadi retaliasi," bebernya lagi.

Oleh karena itu, Faisal mengatakan kebijakan BMAD ini perlu dilakukan peninjauan ulang, menghitung secara cermat dan memberikan bukti yang kuat bahwa produk keramik dari China memang terbukti melakukan retaliasi.

Kelemahan pemerintah Indonesia kata Faisal kadang tidak memiliki bukti yang cukup sebagai dasar kebijakan penerapan regulasi tersebut.

"Ditinjau kembali itu artinya harus dipersiapkan dengan matang dikalkulasi dengan matang kalau mau dikenakan mau berapa, jangan tiba-tiba misalkan 200 persen kenapa gak 100 persen misalkan begitu," tegas dia.

"Jadi ada kalkulasi yang matang untuk mengantisipasi potensi retaliasi dan harus ada metode ada langkah untuk memperkuat daya saing dalam negeri. Jadi harus ada satu pegangan yang kuat dasar yang kuat kalau kita mau menaikkan 200, 100, kadang-kadang pemerintah kan tidak kuat juga pijakan dasarnya," tukasnya.

Populer

Cak Imin Minta Kapolri Bubarkan Muktamar PKB Tandingan

Kamis, 15 Agustus 2024 | 12:52

Tim Pemenangan Jokowi-Ma’ruf Ternyata Terima Dana Korupsi DJKA

Kamis, 15 Agustus 2024 | 11:21

Bawaslu Buka Pendaftaran 1.984 Formasi CPNS

Jumat, 16 Agustus 2024 | 08:44

KPK Dapat Petunjuk Dugaan Suap PAW PDIP dari Buku Hasto

Kamis, 08 Agustus 2024 | 19:35

Suswono Jalan Tengah Selamatkan Marwah PKS

Kamis, 15 Agustus 2024 | 16:03

Pengamat: Intervensi Kekuasaan Penyebab Airlangga Mundur

Minggu, 11 Agustus 2024 | 19:13

BPIP Perlu Jelaskan Paskibraka Wajib Lepas Hijab

Rabu, 14 Agustus 2024 | 13:49

UPDATE

Pembangkit Nuklir Zaporizhzhia Memburuk Usai Diserang Drone

Minggu, 18 Agustus 2024 | 09:52

Telkom Berkontribusi Tekan Jejak Karbon Industri Supply Chain

Minggu, 18 Agustus 2024 | 09:35

Afrika Catat 1.200 Kasus Mpox dalam Sepekan, Terbanyak di Kongo

Minggu, 18 Agustus 2024 | 09:23

Airlangga Seperti “Dipaksa” Serahkan Golkar ke Bahlil

Minggu, 18 Agustus 2024 | 09:20

Jessica Wongso dapat Pengurangan Hukuman 58 Bulan 30 Hari

Minggu, 18 Agustus 2024 | 09:06

Pantai Kamchatka Rusia Dilanda Gempa 7 Magnitudo

Minggu, 18 Agustus 2024 | 08:51

Anak Usaha Telkom Turut Meriahkan Hari Gim Indonesia

Minggu, 18 Agustus 2024 | 08:49

PDIP Gelar Soekarno Run “Berlari di Atas Kaki Sendiri”

Minggu, 18 Agustus 2024 | 08:30

Pencatutan KTP Buat Paslon Independen Kejahatan Demokrasi

Minggu, 18 Agustus 2024 | 08:13

Jessica Wongso Akhirnya Bebas Bersyarat dari Lapas Pondok Bambu

Minggu, 18 Agustus 2024 | 07:57

Selengkapnya