KH Jamaluddin F Hasyim/Ist
GEMPURAN terhadap ulama adalah suatu hal yang mesti (necessary) dilakukan dalam rangka menggerus otoritas keagamaan yang ada pada mereka.
Banyak cara bisa dilakukan untuk menggerus bahkan merusak suatu tatanan masyarakat religius. Pertama, tanamkan keraguan terhadap otentisitas kitab suci dan teks keagamaan lainnya.
Dimulai dari mempertanyakan keaslian sumber kitab suci, lalu muncul tafsir-tafsir dari berbagai pihak yang tidak otoritatif dengan penafsiran "semau gue".
Langkah berikutnya adalah menggerus pengaruh tokoh agama dengan mempertanyakan otoritasnya dan mengungkap keburukan oknum tokoh agama yang menyimpang untuk kemudian digeneralisir sebagai rusaknya semua tokoh agama dan karenanya tidak perlu diikuti lagi.
Tokoh-tokoh baru pun dimunculkan, meskipun dengan kompetensi yang belum jelas. Yang penting muncul idola baru dan menggeser umat dari tokoh utama yang sudah eksis. Di sini umat mulai kehilangan pegangan, dari kitab suci yang dipertanyakan hingga tokoh ulama yang dinistakan.
Umat semakin sering disuguhkan cara beragama baru yang makin dipopulerkan oleh media yang ada. Media memang suka yang kontroversial, istilahnya
bad news is good news.
Harus diakui, pihak yang paling mudah dilibatkan dalam pendangkalan iman itu adalah mereka yang dekat dengan pemikiran liberal.
Sesuai istilahnya, kaum liberal adalah mereka yang berusaha melepaskan diri dari belenggu otoritas apa pun, termasuk agama.
Dengan dukungan dana dan publikasi media yang luas, mereka mudah mendapatkan panggung perhatian masyarakat.
Apakah ini yang terjadi saat ini pada umat Islam? Ketika umat ini setiap hari berada dalam pusaran konflik antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya.
Seakan ada yang mengorkestrasi untuk kemudian pelan-pelan menuju konflik terbuka dan bahkan konflik fisik.
Segmen umat Islam terbesar saat ini adalah kaum Aswaja, penganut Asy'ariah dan bermazhab. Kelompok di luar Aswaja masih sibuk membangun dirinya dan tidak mau masuk dalam pusaran konflik.
Kaum Aswaja saat ini terbelah antara pendukung kiai pribumi dan muhibbin Habaib. Benturan demi benturan terjadi, khususnya di ranah media sosial.
Kecaman, caci maki, sahut-menyahut, terjadi antara kedua kubu. Objektivitas ilmiah sudah bergeser ke arah fanatisme buta. Pembelaan tanpa reserve kepada yang didukung begitu menguras energi dan emosi.
Atmosfer informasi menjadi keruh, sekeruh hati mereka yang berkonflik. Dalam situasi seperti ini, kita patut bertanya, ini ujungnya kemana?
Apakah konflik ini bermanfaat bagi umat atau justru memperlemah umat, padahal tantangan umat semakin berat. Lupakah dengan isu Palestina, ancaman LGBT, hingga kontrol terhadap kasus-kasus besar korupsi yang merugikan bangsa?
Bisakah kita mengambil posisi sebagai pihak yang betul-betul netral, melihat dan menimbang dengan tenang, mengukur secara objektif, lalu menyimpulkan dengan acuan kaidah ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan?
Apakah kita kehilangan sosok-sosok pemersatu yang merelakan diri menjadi jembatan penengah agar konflik mereda menuju persatuan kembali?
Jawabannya ada pada kita semua.
*Penulis adalah Ketua Koordinasi Dakwah Islam (KODI) DKI Jakarta