Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Puadi/Ist
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mengajak Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk duduk bersama membahas satu aturan terkait penanganan pelanggaran administrasi pada UU 10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Demikian disampaikan Anggota Bawaslu, Puadi dalam keterangan tertulis yang dilansir laman bawaslu.go.id, dikutip Kantor Berita Politik dan Ekonomi RMOL pada Senin (12/8).
Puadi menjelaskan, terdapat perbedaan pemaknaan frasa memeriksa dan memutus perkara pelanggaran administrasi dapat dilakukan KPU, dalam Pasal 140 UU Pilkada.
Puadi memandang, KPU tidak perlu melakukan kajian atau pemeriksaan dari awal pelanggaran administrasi yang telah ditangani Bawaslu karena sudah keluar rekomendasi.
Tetapi dalam praktiknya di pilkada-pilkada sebelumnya, Puadi mendapati pengabaian rekomendasi yang diberikan Bawaslu oleh KPU, sehingga rekomendasi Bawaslu tersebut kerap tidak bermakna secara hukum.
"Selama ini, tindak lanjut KPU bisa sesuai dengan rekomendasi yang dikeluarkan Bawaslu, namun tak jarang pula KPU memeriksa kembali pihak-pihak terkait yang hasilnya bisa berbeda dengan rekomendasi Bawaslu lantaran ada ketentuan di Pasal 140 (UU Pilkada)," ujar Puadi.
Berdasarkan catatan Bawaslu, Puadi mengatakan, pada Pilkada 2020 ada sembilan rekomendasi terkait diskualifikasi pasangan calon (paslon) yang diterbitkan oleh Bawaslu, namun hanya satu yang ditindaklanjuti oleh KPU.
Beberapa diantaranya ada di Kota Banggai, Ogan ilir, Pegunungan Bintang, Gorontalo, Kutai Kartanegara, Halmahera Utara, Nias, dan Tasikmalaya.
"Nah ini terjadi perbedaan pemaknaan frasa di ketentuan Pasal 140 yang dilakukan pemeriksaan ulang," cetus Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran, Data, dan Informasi Bawaslu itu.
Dalam pandangan Bawaslu, keputusan yang diambil KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota dalam menyelesaikan pelanggaran administrasi Pemilihan tetap harus merujuk pada rekomendasi Bawaslu Provinsi dan/atau Bawaslu Kabupaten/Kota.
Puadi menjelaskan hal demikian merujuk pada pengaturan Pasal 139 ayat (1) UU Pilkada, di mana Bawaslu Provinsi dan/atau BawasluKabupaten/Kota membuat rekomendasi atas hasil kajiannya terkait pelanggaran administrasi Pemilihan.
Sementara Pasal 139 ayat (2) UU Pilkada menentukan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu Provinsi dan/atau Panwaslu Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
"Jadi ketentuan Pasal 139 ayat (3) KPU kiblatnya ini mesti rekomendasi Bawaslu. Karena menyelesaikan pelanggaran administrasi Pemilihan berdasarkan rekomendasi Bawaslu. Artinya objek kajian KPU Provinsi/Kota berkiblat pada rekomendasi Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/kota," papar kandidat peraih doktoral itu.
Meski demikian, Puadi juga meminta tiga lembaga penyelenggara pemilu yakni Bawaslu, KPU, dan DKPP duduk bersama untuk menyamakan pemahaman tentang frasa 'tindak lanjut' hasil penanganan pelanggaran administrasi Pemilihan dari Bawaslu berupa rekomendasi.