TERKESAN terpesona oleh pembangunan infrastruktur secara besar-besaran, khususnya jalan tol berbayar, maka pemerintahan Joko Widodo bertindak agresif dan cepat-cepat membangun jalan tol sebanyak dan sepanjang mungkin. Pembangunan jalan bebas hambatan itu meniru model awal pembangunan di Amerika Serikat, kemudian dilanjutkan meniru model pembangunan infrastruktur di China.
China terlihat maju pesat diikuti pertumbuhan ekonomi tinggi, bahkan pernah sangat tinggi dengan memperlihatkan pembangunan gedung-gedung pencakar langit. Bukan hanya pembangunan banyak apartemen, hotel, dan perkantoran, melainkan juga pembangunan jalan dan jembatan-jembatan layang yang sangat banyak dan terlihat meliuk-liuk, serta bertingkat-tingkat untuk memperlancar transportasi maupun membangun kereta api cepat, serta pelabuhan laut dan bandar udara.
Pembangunan infrastruktur tersebut dicanangkan sejak pertama kali Presiden Joko Widodo memerintah bulan Oktober tahun 2014. Pemerintah menghadapi keterbatasan APBN, kemudian pembangunan infrastruktur bersifat jangka panjang dan menghasilkan keuntungan usaha yang tipis, namun mesti ada pembangunan infrastruktur untuk percepatan menumbuhkan perekonomian.
Pemerintah kemudian menggunakan mekanisme perusahaan-perusahaan BUMN. BUMN Karya dijadikan sebagai instrumen dan lokomotif pembangunan sebagaimana China memulai pembangunan infrastruktur secara besar-besaran untuk memulai pembangunan fisik perekonomian secara revolusioner.
Pemerintah menggunakan mekanisme penugasan dan memberikan penyertaan modal negara (PMN) untuk melaksanakan awal pembangunan infrastruktur. Bank Indonesia, perbankan dalam negeri, dan berutang di pasar uang global, maupun berutang pada pasar uang syariah SUKUK.
Ekspansi secara cepat ini kemudian memperlihatkan bentuk hasil pembangunan infrastruktur yang bersifat luar biasa dan mencengangkan, sekalipun jauh dari kehebatan hasil pembangunan infrastruktur China.
Persoalannya kemudian antara lain adalah terjadi pelanggaran prinsip kehati-hatian dalam percepatan pembangunan infrastruktur. Misalnya, PT Waskita Karya (Persero) Tbk dan entitas anak akhirnya melaporkan telah merugi. Kerugian sebesar minus Rp2,6 triliun pada periode berjalan per 30 Juni 2024.
Kemudian jumlah utang dan modal milik sendiri perusahaan sebesar Rp91,1 triliun, dimana jumlah modal milik sendiri perusahaan sebesar Rp9,08 triliun.
Entitas anak dari Waskita Karya adalah PT Waskita Beton Precast Tbk,.
Kepemilikan tidak langsung melalui entitas anak adalah sebagai berikut: PT Waskita Sangir Energi, PT Waskita Wado Energi, PT Pemalang Batang Tol Road, PT Waskita Sriwijaya Tol, PT Waskita Bumi Wira, PT Waskita Transjawa Tol Road, PT Transjawa Tol Road.
Kemudian PT Transjawa Paspro Jalan Tol, PT Tol Teluk Balikpapan, PT Waskita Fim Perkasa Realti, PT Waskita Modern Realty, PT Waskita Tol Road, PT Waskita Karya Realty, dan PT Waskita Karya Infrastruktur. Artinya, perusahaan Waskita Karya memang berspesialisasi di bidang pembangunan infrastruktur.
Jumlah harta sebesar Rp91,1 triliun. Jumlah utang sebesar Rp82,02 triliun. Oleh karena itu rasio likuiditas perusahaan sebesar 1,11 kali. Dengan rata-rata industri secara umum sebesar 4,2 kali, maka likuiditas perusahaan tergolong likuid, namun terbebani oleh utang yang besar.
Utang yang tergolong besar berasal dari utang bank jangka panjang dari pihak yang berelasi dan pihak ketiga, utang obligasi bersih, Sukuk mudharabah, utang ventura bersama jangka panjang, dan utang lembaga keuangan non bank jangka panjang.
Dengan keberadaan perusahaan yang merugi, maka masa depan kreditur akan menghadapi masalah, termasuk utang dalam bentuk Sukuk mudharabah. Dahulu semula menanamkan uang dalam kegiatan pembangunan infrastruktur sangat yakin akan memperoleh keuntungan yang besar dan berjangka panjang seiring jalan tol yang senantiasa dilewati oleh berbagai kendaraan bermotor, namun fenomena Waskita telah membuktikan bahwa perusahaan sebagaimana kebanyakan perusahaan yang lain, pun dapat mengalami kerugian.
Selanjutnya, dengan mengetahui jumlah harta dan jumlah utang, maka rasio utang dihitung sebesar 90,03 persen, dimana rata-rata rasio utang industri secara umum sebesar 40 persen. Artinya, perilaku berutang menjadi masalah pada Waskita Karya.
Terlalu banyak berutang, sehingga perusahaan merugi dan mengalami kesulitan dalam likuiditas. Berutang untuk melakukan ekspansi perusahaan. Dalam hal ini, perusahaan melaksanakan pembangunan infrastruktur dengan cara banyak berutang sekalipun perusahaan menggunakan tenor jangka panjang.
Jadi perusahaan merugi, karena melanggar prinsip kehati-hatian dalam berutang. Perusahaan tetap melaksanakan penugasan untuk membangun infrastruktur, sekalipun telah melebihi ambang batas rasio utang pada rata-rata industri pada umumnya.
Dengan mengetahui jumlah kerugian periode berjalan dan jumlah harta, maka diketahui nilai
return on total asset (ROA) sebesar minus 2,85 persen. Kemudian rata-rata ROA industri sebesar 9 persen, maka ROA perusahaan terlalu rendah dan merugi. Dengan mengetahui modal milik sendiri yang sebesar Rp 9,08 triliun, maka nilai
return on common equity (ROE) sebesar minus 28,63 persen.
Dengan rata-rata ROE industri secara umum sebesar 15 persen, maka ROE perusahaan jauh sangat rendah dan merugi. Artinya, perusahaan telah berlebihan dalam melakukan ekspansi usaha dalam membangun infrastruktur dan pembangunan infrastruktur belum balik modal.
Hikmah dari pembangunan infrastruktur secara besar-besaran dan sangat cepat, maka hal itu mendorong terjadinya pelanggaran dalam prinsip kehati-hatian manajemen keuangan perusahaan. Akibatnya adalah perusahaan yang semula sehat dan menghasilkan keuntungan, kemudian menjadi merugi.
Menjual aset kemudian menjadi salah satu solusi untuk menyehatkan keuangan perusahaan, bahkan saham perusahaan yang merugi berpotensi terpaksa dijual ke China. Belajar dari pengalaman BPPN, yang nilai aset dapat terjual amat sangat murah setelah perusahaan bangkrut, terlebih Ketika rasio utang sebesar 90,03 persen, maka penjualan aset tidak bermanfaat setelah perusahaan tutup.
Masuklah jebakan utang pembangunan infrastruktur sebagaimana yang dialami oleh negara-negara yang bermasalah dalam mengikuti program
belt and roads (OBOR) yang dipraktekkan oleh China, seperti Sri Lanka.
Bukan hanya biaya pemeliharaan infrastruktur menjadi tinggi, karena infrastruktur dibangun secara cepat-cepat, melainkan periode balik modal juga panjang. Hal itu, karena proyek pembangunan infrastruktur terkesan tanpa studi kelayakan terlebih dahulu yang dilakukan secara lengkap dan cermat.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana