Dampak buruk bagi hubungan bilateral antara Indonesia-China akan terjadi jika pemerintah memaksakan rencana penerapan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk keramik Cina.
Hal itu disampaikan pengamat Hubungan Internasional (HI) Robi Sugara yang merespons kajian Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) atas ubin keramik asal China terkait penerapan BMAD.
Pasalnya, nilai ekspor Indonesia ke China cukup besar. China, kata Robi, bisa melakukan retaliasi (tindakan balasan) atas produk-produk Indonesia.
“Apalagi kalau kita berbicara komoditas-komoditas strategis pertambangan dan juga perkebunan yang saat ini banyak kita ekspor ke China dan juga komoditas-komoditas hilirisasi, terutama ketakutan dari kami adalah Cina mencoba untuk melakukan retaliasi,” kata Robi kepada wartawan, Rabu (31/7).
Indonesia, lanjut Robi, bukan hanya akan mengalami kerugian perekonomian dalam negeri, tapi juga akan kehilangan China sebagai mitra strategis dalam perdagangan internasional.
"Menko Perekonomian bertanggung jawab dalam urusan koordinasi di bidang perekonomian dan bertanggung jawab kepada presiden. Adapun kebijakan-kebijakan yang lebih operasionalnya itu kan saya kira ada kementerian perdagangan dan perindustrian," ujar Robi.
"Ini jangan sampai hubungan baik antara Indonesia dan Cina (yang dibangun) lewat Presiden Jokowi kemudian salah langkah hanya gara-gara ini,” tambahnya.
Dikatakan Robi, Indonesia memiliki kedaulatan untuk menjalankan kebijakan anti dumping. Namun, dia mengingatkan bahwa Cina juga bisa membalasnya dengan cara yang lebih kejam yaitu menerapkan tarif 300 persen atas produk Indonesia yang masuk ke China.
“Indonesia melakukan anti dumping sampai 200 persen, bisa jadi Cina malah 300 persen balasannya bisa jadi begitu,” bebernya.
Robi khawatir kebijakan BMAD bisa membuat China sebagai mitra dagang penting marah kepada Indonesia. Sebab jika melihat data pada tahun 2023 nilai ekspor Indonesia ke China mencapai 64,94 miliar Dolar AS atau sekitar 23 persen dari total nilai ekspor.
Hal tersebut, kata Robi, menjadi bukti bahwa China merupakan mitra dagang strategis bagi Indonesia. Maka dari itu, dia mewanti-wanti jika retaliasi dari China ini bisa berdampak serius pada semua industri yang bergantung pada ekspor ke negara tersebut.
Lebih tragis lagi, tambahnya, selain melakukan balasan, China juga bisa saja menarik investasinya dari dalam negeri.
“Jadi tidak sampai di situ dia melakukan balasan yang serupa kemudian investasi yang rencana akan ditanam di Indonesia kemungkinan akan ditahan atau bahkan tidak jadi," ucapnya.
Menurut Robi, saat ini China sudah menjelma menjadi raksasa ekonomi dunia. Dia meyakini Indonesia tidak akan diadukan ke organisasi perdagangan internasional (WTO). Sebab tanpa WTO pun China bisa melakukan aksi balasan yang kontan terhadap Indonesia.
“Saya kira merepotkan, jadi menurut saya tidak akan memerlukan jasa WTO tetapi power China selama ini itu bisa melakukan dengan aksi-aksi balasan yang menurut saya tidak terlalu baik hubungan kedua negara itu,” imbuhnya.
Jangan sampai perlakuan Indonesia ini menyulut perang dagang seperti yang terjadi dengan Amerika. Sebab itu, untuk saat ini Indonesia harus mengukur diri, dan tidak terlalu frontal mengeluarkan kebijakan yang menyangkut dengan negara lain.
“Berikutnya dampak dari geopolitik, sehingga ini seperti masuk kepada skema perang dagang seperti antara Amerika dan Cina jika Indonesia melakukan itu. Hal itu bisa menyulitkan pada positioning narasi perang dagang antara Amerika dan China, Indonesia masuk kepada komposisi menjadi bagian dari apa yang juga pernah dilakukan oleh Amerika terhadap Cina itu,” tegasnya lagi.
“Jadi harus lebih soft karena ini kayak yang pernah dilakukan oleh Amerika, Donald Trump. Jadi jangan sampai Cina memiliki persepsi bahwa Indonesia kaya nantang gelut, nantang berantem,” pungkasnya.