Berita

Ilustrasi Foto/Net

Publika

Resep “Ciamik” Tambah Devisa Negara

Oleh: Chusnatul Jannah*
JUMAT, 19 JULI 2024 | 02:35 WIB

IBU bendahara negara, Sri Mulyani Indrawati menggebu-gebu saat menyampaikan penerimaan pajak mengalami kenaikan. Layaknya  orang bijak, ia mengatakan bahwa membangun negara yang sejahtera dan adil diperlukan dukungan penerimaan pajak yang baik. Menurutnya, pajak merupakan tulang punggung serta instrumen yang sangat penting bagi sebuah bangsa dan negara untuk mencapai cita-citanya. 
 
Tulang Punggung
 

Pantas saja rakyat seperti diburu pajak setiap hari. Rupanya, penguasa negeri ini sedang meramu resep ciamik dari penerapan sistem kapitalisme, yakni pajak sebagai tulang punggung untuk menambah devisa negara. Sementara, rakyat menjadi bahan kejar tayang tarif pajak. Ibarat kata, rakyat seperti ‘menggendong’ pemasukan negara dengan membayar pajak yang digunakan untuk aneka kebutuhan negara. Contohnya, pajak untuk menggaji pejabat pemerintah, membangun fasilitas untuk pejabat, membangun proyek strategis negara, dan lainnya.
 
Bukti pajak sebagai tulang punggung dapat kita lihat dari peningkatan yang signifikan dari penerimaan pajak. Setelah 40 tahun berlalu, penerimaan pajak yang semula pada tahun 1983 sebesar Rp13,87 triliun, di tahun 2023 mencapai Rp1.869 triliun. Wajar saja Menkeu begitu sumringah atas pencapaian ini. Sebab, dialah sosok yang paling banyak melakukan ikhtiar agar penerimaan pajak meningkat. Salah satunya ialah menaikkan PPN dari 10 persen menjadi 11 eprsen. Kabarnya, tahun 2025 PPN juga akan kembali naik menjadi 12 persen. Tidak hanya itu, pajak pun menyasar dunia digital dan pelakunya, seperti Youtuber, influencer, dan pemilik toko online juga terkena tarif pajak berupa PPh.
 
Setidaknya, ada lima jenis pajak di Indonesia yang menjadi tulang punggung pemasukan negara, yakni Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
 
Begitulah pajak dalam sistem kapitalisme. Pemasukan negara bernama pajak ini sesungguhnya berdiri di atas pemalakan duit rakyat atas nama pembangunan. Bagaimana tidak, rakyat bersusah pajak membayar kewajiban pajak, eh malah disalahgunakan dengan melahirkan banyak koruptor di berbagai lembaga pemerintah. Apalagi dalam beberapa waktu lalu, gaya hidup mewah pegawai pajak banyak tersorot dan viral dalam perbincangan publik.
 
Pajak dalam Sistem Kapitalisme

Dalam sistem kapitalisme, pajak merupakan sumber pendapatan utama negara. Maka tidak perlu heran jika negara akan terus mengejar rakyat dengan berbagi pungutan. Selagi bisa dikejar, beragam pungutan dan tarif pajak akan dikenakan pada rakyat selaku objek wajib pajak. Fakta ini sejatinya mengonfirmasi betapa zalimnya sistem ini jika diberlakukan dalam kehidupan bernegara. Rakyat yang membayar pajak, penguasa sebagai penariknya, tetapi kinerjanya tidak amanah. Sebutlah perilaku korupsi yang mengakar dalam pemerintahan. 

Pembangunan tidak merata juga belum dapat dirasakan rakyat secara menyeluruh. Satu sisi rakyat banting tulang mencari nafkah untuk membayar pajak. Di sisi lain, pejabat pemerintah malah enak-enakan menikmati fasilitas wah dan gaya hidup mewah. Gaji fantastis, kerja minimalis. Hal ini sangat berbeda secara diametral dengan Islam. Bagaimana pajak dalam Islam?
 
Pandangan Islam

Pajak dalam sistem Islam dikenal dengan istilah dharibah. Dharibah merupakan solusi terakhir apabila kas Baitulmal benar-benar kosong dan sudah tidak mampu memenuhi kewajibannya. Dalam kondisi ini, dharibah hanya ditetapkan untuk kaum muslim saja. Pengenaan pajak adalah dari sisa nafkah (setelah pemenuhan kebutuhan hidup) dan harta orang-orang kaya, yaitu dari sisa pemenuhan kebutuhan primer dan sekundernya yang makruf.
 
Pajak dipungut berdasarkan kebutuhan Baitulmal dalam memenuhi kewajibannya. Pungutan pajak tidak boleh melebihi kebutuhan sebagaimana mestinya. Apabila kebutuhan Baitulmal sudah terpenuhi dan sudah mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya dari sumber-sumber penerimaan rutin, pungutan pajak harus terhenti. Dalam pandangan Islam, pajak diberlakukan atas individu (jizyah dan pajak atas kaum muslim), tanah kharaj, dan cukai atas barang impor dari negara yang mengenakan cukai terhadap pedagang kaum muslim, sehingga tidak memberikan beban ekonomi yang berat bagi masyarakat.
 
Islam memandang penerapan pajak hanya bersifat temporal (sementara), bukan menjadi pungutan rutin sebagaimana sistem kapitalisme saat ini. Dalam sistem Islam, sumber penerimaan negara yang masuk ke Baitulmal (kas negara) diperoleh dari:  (1) Fai [Anfal, Ghanimah, Khumus]; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; dan (9) Harta orang murtad.
 
Adapun harta kekayaan milik umum, negara akan mengupayakan untuk mengelolanya secara mandiri demi kepentingan dan kemaslahatan rakyat, bukan meliberalisasinya dengan prinsip kebebasan kepemilikan. Islam melarang kekayaan milik umum dikuasai individu, swasta, apalagi asing. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
 
Yang termasuk dalam kepemilikan umum tidak hanya migas, barang tambang, air, hutan,  dan keanekaragaman hayati, tetapi juga fasilitas publik seperti jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, dan lainnya. Semua ini tidak boleh dimiliki oleh individu atau swasta karena penggunaannya dibutuhkan masyarakat secara luas.
 
Perhatikan bagaimana kapitalisme mengelola harta milik umum. Penguasa mengobralnya kepada swasta atau asing dengan memperjualbelikannya. Terhadap SDA milik rakyat, negara menjualnya, namun mati-matian mencari tambahan dengan memeras uang rakyat melalui pajak.
 
Demikianlah, perbedaan mendasar pajak dalam kapitalisme dengan Islam. Jika di sistem kapitalisme penguasa mencari pemasukan dengan menarik pajak. Maka dalam sistem Islam, Baitulmal memiliki banyak jalan sumber pemasukan, termasuk pengelolaan SDA dioptimalkan agar memberi kemaslahatan bagi umat manusia.


*Penulis adalah penggiat literasi di Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Populer

Walikota Semarang dan 3 Lainnya Dikabarkan Berstatus Tersangka

Rabu, 17 Juli 2024 | 13:43

KPK Juga Tetapkan Suami Walikota Semarang dan Ketua Gapensi Tersangka

Rabu, 17 Juli 2024 | 16:57

Walikota Semarang dan Suami Terlibat 3 Kasus Korupsi

Rabu, 17 Juli 2024 | 17:47

Pimpinan DPRD hingga Ketua Gerindra Sampang Masuk Daftar 21 Tersangka Korupsi Dana Hibah Jatim

Selasa, 16 Juli 2024 | 19:56

Kantor Rahim di Depok Ternyata Rumah Tinggal, Begini Kondisinya

Rabu, 17 Juli 2024 | 11:05

Pengusaha Tambang Haji Romo Diancam Dijemput Paksa KPK

Minggu, 14 Juli 2024 | 17:02

KPK Perlu Selidiki Program KKP Ekspor BBL Berkedok Budidaya

Selasa, 09 Juli 2024 | 18:28

UPDATE

China Potensi Monopoli Pasar Ekonomi Digital Indonesia

Jumat, 19 Juli 2024 | 10:07

Langgar Konstitusi, Anthony Budiawan: UU IKN Wajib Batal

Jumat, 19 Juli 2024 | 10:04

Subsidi BBM Harusnya Dinikmati DTKS Bukan Orang Kaya

Jumat, 19 Juli 2024 | 09:44

Skandal Beras Impor Bapanas-Bulog Potensi Bebani Devisa Negara

Jumat, 19 Juli 2024 | 09:34

Negara Pelaku Genosida Israel Tak Layak Ikut Olimpiade Paris

Jumat, 19 Juli 2024 | 09:34

Memecat Guru dengan Istilah Cleansing Melanggar HAM

Jumat, 19 Juli 2024 | 09:31

Indonesia Kecam Upaya Israel Halangi Kemerdekaan Palestina

Jumat, 19 Juli 2024 | 09:25

Kader Golkar Serukan Dalang Pembakaran Rumah Wartawan Diungkap

Jumat, 19 Juli 2024 | 09:14

Komisi X Minta Semua Pihak Duduk Bersama soal Nasib Guru Honorer

Jumat, 19 Juli 2024 | 09:14

Komisi X: Istilah Cleansing untuk Guru Honorer tidak Humanis

Jumat, 19 Juli 2024 | 09:05

Selengkapnya