Kemiskinan ekstrem dan kekumuhan melanda kehidupan masyarakat pesisir/Ist
Lebih dari 1,3 juta masyarakat pesisir saat ini berada dalam kemiskinan ekstrem. Hal ini menjadi bagian dari adanya urbanisasi pemuda pesisir ke wilayah perkotaan.
Desa pesisir ditinggalkan oleh masyarakatnya terutama para pemudanya yang mengadu nasib ke ibukota. Data World Bank (2019), menunjukan lebih dari 70 persen penduduk Indonesia akan menetap di kota pada tahun 2045.
Hal tersebut akan menghadirkan persoalan baru atau makin memperparah persoalan kemiskinan dan kesenjangan sosial di Indonesia. Sementara bisa kita lihat saat ini, urbanisasi dan persoalan perkotaan yang semakin makin rumit.
Bagi Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia (KPPMPI), hal ini menjadi kekhawatiran tersendiri karena persoalan ini menyebabkan profesi nelayan mulai ditinggalkan oleh pemuda pesisir. Karena para pemuda pesisir lebih yakin untuk beradu nasib di kota ketimbang di laut.
“Jangan heran, bila saat ini kita hanya jumpai nelayan pra lansia di desa-desa pesisir. Begitupun dengan nelayan di perkotaan nasibnya jauh lebih berat dengan meningkatnya arus urbanisasi,” ujar Ketua Umum KPPMPI Hendra Wiguna kepada
RMOL, Senin malam (15/7).
Lanjut dia, urbanisasi memberikan beban tambahan bagi masyarakat pesisir perkotaan. hadirnya urbanisasi membuat mereka harus hidup berhimpitan berbagi ruang.
Hendra menyebut nelayan tidak hanya dihadapkan dengan persoalan ruang di darat, di laut pun terutama bagi nelayan perkotaan persoalanya jauh lebih besar.
“Nelayan bersaing dengan aktivitas lainnya di laut, mulai dari alur penangkapan yang bersinggungan dengan alur pelayaran, bahkan nelayan kecil harus bersaing secara terbuka dengan nelayan yang memiliki armada kapal besar, belum lagi penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan, hingga laut yang dibuat “sakit” karena limbah industri dan
sandblasting yang langsung dibuang ke laut,” bebernya.
“Fakta tersebut akan mempercepat penurunan jumlah nelayan dan kemunduran sektor perikanan keluatan, apabila tidak ada kebijakan yang merespons cepat persoalan tersebut. Tentu hal ini yang tidak kita semua inginkan, mengingat bagaimana peranan pemenuhan pangan sehat kita saat ini bersumber dari laut dan adanya peranan penting nelayan,” ungkap Hendra.
Dia berharap pemerintah benar-benar mengurusi desa pesisir yang jumlahnya sebanyak 15 persen dari total 84.096 desa yang ada, serta laut yang luasnya mencapai 70 persen dari total keseluruhan luas wilayah Indonesia. Sehingga pemuda pesisir tidak perlu lagi untuk meninggalkan desa dan laut dalam memenuhi kebutuhan hidup.
“Sederhananya, bagaimana agar pendapatan nelayan in dapat setara dengan UMR (upah minimum), lebih tinggi lebih baik mengingat risiko-risiko menjadi nelayan juga semakin tinggi seiring dengan adanya perubahan iklim,” jelas Hendra.
Masih kata dia, langkah memulihkan kembali kesehatan laut dan ekosistem pesisir, termasuk dengan ekosistem usaha kelautan-perikanan harus menguntungkan bagi nelayan. Terkait itu, masalah sampah laut masih mendominasi kehidupan masyarakat pesisir.
Mengutip dara Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Indonesia mengalami kerugian secara ekonomi sekitar Rp250 triliun akibat sampah plastik yang masuk lingkungan laut.
Sedangkan menurut data dari Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut (TKN PSL), laut Indonesia memang dapat dikategorikan tercemar. Pada tahun 2022 tercatat ada 398 juta ton sampah plastik yang mencemari laut Indonesia.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sebanyak 80 persen sampah di laut Indonesia berasal dari aktivitas daratan, di mana 30 persen di antaranya berupa sampah plastik. United Nations Environment Programme (UNEP) memprediksi jumlah sampah plastik yang masuk ke ekosistem laut akan meningkat hampir tiga kali lipat pada 2040, apabila tak ada upaya untuk mencegah polusi tersebut.
Hendra juga menyampaikan tentang Indeks Kesehatan Laut (OHI) Indonesia yang skornya 69 dari 100, sementara skor rata-rata dunia 73. Berada di urutan ke 152 dari 220 negara. Dari 11 indikator OHI, salah satu yang paling rendah adalah indikator kebersihan perairan laut Indonesia, skornya 58.
“Kita harus berhenti memandang laut sebagai ‘Tong Sampah Raksasa’. Demikian kita lakukan agar laut kembali pulih. Jangan sampai besok nelayan menjala ikan terakhir’, karena ikannya mati teracuni limbah. Pun demikian, nelayan harus punya kuasa atas apa yang ia tangkap. Nelayan yang paling berisiko di laut, namun hilang kuasa atas ikan yang ia tangkap. Begitulah hari ini.,” pungkas Hendra.