Berita

Ilustrasi pecahan uang Rupiah/Net

Publika

Meningkatkan Rasio Utang

SENIN, 15 JULI 2024 | 11:30 WIB | OLEH: DR. IR. SUGIYONO, MSI

STATISTIK utang sektor publik (SUSPI) diselenggarakan oleh Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Kementerian Keuangan RI, dan Departemen Statistik Bank Indonesia. SUSPI diterbitkan oleh International Monetary Fund (IMF).

Utang sektor publik terdiri dari utang-utang yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemda, Bank Sentral (Bank Indonesia), Bank BUMN, Bank Pembangunan Daerah (BPD), BUMN Lembaga keuangan bukan bank sektor publik, dan BUMN bukan lembaga keuangan.

Persoalannya adalah jumlah utang publik bruto adalah sebesar Rp16.034,99 triliun per triwulan I tahun 2024, atau sebesar Rp15.876,49 triliun per triwulan IV tahun 2023 (BI, 2024). Produk Domestik Bruto (PDB) harga berlaku sebesar Rp20.892,37 tahun 2023 (BPS, 2024), sehingga rasio utang publik terhadap PDB sebesar 75,99 persen per tahun 2023 triwulan IV.

Untuk memudahkan dalam mendalami manfaat utang publik, maka perlu diketahui bahwa jumlah utang jatuh tempo jangka pendek per triwulan IV tahun 2023 sebesar Rp6.289,65 triliun. Utang jangka panjang yang jatuh tempo dengan pembayaran setahun, atau kurang pada periode waktu yang sama sebesar Rp 832,96 triliun.

Kemudian utang jangka panjang yang jatuh tempo dengan pembayaran lebih dari setahun sebesar Rp 8.753,89 triliun. Utang dalam mata uang Rupiah sebesar Rp11.560 triliun (72,81 persen) dan dalam mata uang asing sebesar Rp4.316,02 triliun.

Persoalan berpotensi meningkat ketika terdapat wacana Prabowo Subianto sebagai Presiden terpilih berencana meningkatkan rasio utang pemerintah pusat terhadap PDB secara bertahap menjadi 50 persen. Sementara itu ketentuan ambang batas maksimum UU Keuangan Negara, yang sebesar 60 persen.

Dalam hal ini, pemerintah Indonesia tentu tidak bermaksud meniru perilaku pemerintah Amerika Serikat, yang senantiasa menaikkan ambang batas utang pemerintah. Hal itu, agar pemerintah masih diperkenankan oleh DPR menaikkan ambang batas rasio utang untuk memberlanjutkan pendanaan terhadap pemerintahan yang telah berkali-kali terpaksa gagal bayar dalam membayar gaji pegawai pemerintah dan penyelenggaraan pemerintahan. Tidak perlu meniru candu atas perilaku pemerintah berutang.

Pada tahun 2023 triwulan IV diketahui bahwa utang pemerintah pusat bruto Indonesia sebesar Rp 8.273,64, sehingga rasio utang pemerintah terhadap PDB menjadi sebesar 39,6 persen. Pada periode waktu yang sama, rasio utang publik yang berada pada posisi di luar utang pemerintah pusat telah mempunyai persentase sebesar 36,39 persen terhadap PDB.

Dengan rasio utang pemerintah terhadap PDB posisi tahun 2023 triwulan IV pada posisi sebesar 39,6 persen tersebut, maka dampak utang pemerintah pusat terhadap perekonomian Indonesia antara lain sebagai berikut. Tingkat pengangguran terbuka sebesar 5,3 persen.

Persentase penduduk miskin sebesar 9,4 persen. Laju pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1 persen. PDB per kapita harga berlaku sebesar Rp75 juta. Laju inflasi tahunan sebesar 2,6 persen per tahun year on year. Nilai tukar Rupiah sebesar Rp15.416 per Dolar AS.

Diketahui bahwa jumlah utang pemerintah pusat bruto sebesar Rp7.862,93 triliun dan PDB sebesar Rp19.588,1 triliun, sehingga rasio utang pemerintah pusat terhadap PDB sebesar 40,14 persen, yang setara dengan tambahan kenaikan rasio utang pemerintah pusat terhadap PDB yang sebesar 0,54 persen.

Kemudian dampak utang pemerintah pusat terhadap sebagian perekonomian Indonesia adalah sebagai berikut. Tingkat pengangguran terbuka sebesar 5,9 persen, atau tingkat pengangguran terbuka bertambah naik sebesar 0,6 persen oleh penambahan rasio utang.

Persentase penduduk miskin sebesar 9,5 persen, atau persentase penduduk miskin bertambah naik 0,1 persen oleh penambahan rasio utang. Laju pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen, atau laju pertumbuhan ekonomi bertambah naik sebesar 0,4 persen.

PDB per kapita harga berlaku sebesar Rp71 juta, atau PDB per kapita harga berlaku menjadi bertambah turun sebesar Rp4 juta oleh peningkatan rasio utang. Laju inflasi tahunan sebesar 5,5 persen per tahun year on year, atau laku inflasi bertambah naik sebesar 2,9 persen.

Nilai tukar Rupiah sebesar Rp15.731 per Dolar AS, atau nilai tukar Rupiah bertambah terdepresiasi sebesar Rp315 per Dolar AS.

Dengan menggunakan metoda perbandingan statis, maka peningkatan rasio utang pemerintah pusat terhadap PDB secara bertahap menjadi sebesar 50 persen secara sangat kasar sungguh menimbulkan pesimisme yang memilukan, jika tidak ada perubahan iklim perekonomian nasional.

Dampaknya antara lain berupa tingkat pengangguran terbuka justru naik. Persentase penduduk miskin naik. Laju pertumbuhan ekonomi naik. PDB per kapita turun, yang berarti kesenjangan sosial akan lebih tinggi. Laju inflasi naik. Nilai tukar Rupiah semakin tertekan.

Itu, jika pemerintah berorientasi meningkatkan belanja untuk orientasi sosialisme, seperti menurunkan stunting dengan cara menaikkan belanja makan bergizi secara gratis, menggratiskan kuliah, dan seterusnya yang dampak positif baru akan terjadi dalam jangka panjang lebih dari lima tahun.

Oleh karena itu sangat tidak mengherankan, jika respons pasar berupa neraca pembayaran Indonesia semakin mengalami defisit pada triwulan I tahun 2024. Artinya, wacana peningkatan rasio utang pemerintah hendak dinaikkan menjadi 50 persen terhadap PDB menimbulkan respons negatif.

Hal itu, karena ketika rasio utang pemerintah mencapai 39,6 persen saja secara bersamaan menunjukkan posisi utang publik sebenarnya telah mencapai 75,99 persen terhadap PDB per tahun 2023 triwulan IV.

Dengan kewajiban membayar utang jatuh tempo sebagaimana tersebut di atas, sekalipun Indonesia tidak mempunyai sejarah gagal bayar utang, namun insiden besarnya kewajiban membayar utang pernah menimbulkan krisis moneter pada pertengahan tahun 1996-1997, yang mengantarkan pada krisis ekonomi tahun 1998.

Jadi, menaikkan rasio utang bukanlah jaminan untuk mencapai Indonesia emas, melainkan pemerintahan yang baru masih senantiasa perlu melakukan perbaikan dalam pendapatan negara dan lebih rasional dalam menata pengeluaran belanja pemerintah.

Dalam hal ini, orientasi pemikiran ekonomi antara sosialisme, kapitalisme, dan perekonomian Pancasila perlu dikaji secara lebih mendalam, komprehensif, dan menggunakan pemodelan secara dinamis.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana

Populer

Jaksa Agung Tidak Jujur, Jam Tangan Breitling Limited Edition Tidak Masuk LHKPN

Kamis, 21 November 2024 | 08:14

MUI Imbau Umat Islam Tak Pilih Pemimpin Pendukung Dinasti Politik

Jumat, 22 November 2024 | 09:27

Kejagung Periksa OC Kaligis serta Anak-Istri Zarof Ricar

Selasa, 26 November 2024 | 00:21

Rusia Siap Bombardir Ukraina dengan Rudal Hipersonik Oreshnik, Harga Minyak Langsung Naik

Sabtu, 23 November 2024 | 07:41

Ini Identitas 8 Orang yang Terjaring OTT KPK di Bengkulu

Minggu, 24 November 2024 | 16:14

PDIP: Terima Kasih Warga Jakarta dan Pak Anies Baswedan

Jumat, 29 November 2024 | 10:39

Sikap Jokowi Munculkan Potensi konflik di Pilkada Jateng dan Jakarta

Senin, 25 November 2024 | 18:57

UPDATE

Gegara Israel, World Central Kitchen Hentikan Operasi Kemanusiaan di Gaza

Minggu, 01 Desember 2024 | 10:08

Indonesia Harus Tiru Australia Larang Anak Akses Medsos

Minggu, 01 Desember 2024 | 09:58

Gaungkan Semangat Perjuangan, KNRP Gelar Walk for Palestine

Minggu, 01 Desember 2024 | 09:36

MK Kukuhkan Hak Pelaut Migran dalam UU PPMI

Minggu, 01 Desember 2024 | 09:18

Jet Tempur Rusia Dikerahkan Gempur Pemberontak Suriah

Minggu, 01 Desember 2024 | 09:12

Strategi Gerindra Berbuah Manis di Pilkada 2024

Minggu, 01 Desember 2024 | 08:53

Kubu RK-Suswono Terlalu Remehkan Lawan

Minggu, 01 Desember 2024 | 08:40

Pasukan Pemberontak Makin Maju, Tentara Suriah Pilih Mundur dari Aleppo

Minggu, 01 Desember 2024 | 08:30

Dirugikan KPUD, Tim Rido Instruksikan Kader dan Relawan Lapor Bawaslu

Minggu, 01 Desember 2024 | 08:06

Presiden Prabowo Diminta Bersihkan Oknum Jaksa Nakal

Minggu, 01 Desember 2024 | 07:42

Selengkapnya