Kondisi trotoar di Jakarta/RMOL
Kota Jakarta dianggap belum benar-benar ramah terhadap kelompok disabilitas.
Anggota Relawan Kita (RK), Dani Taufiq Rachman mengatakan, hak-hak kelompok disabilitas sejatinya sudah difasilitasi pemerintah melalui peraturan dari tingkat undang-undang hingga turunannya. Namun sayang, pelaksanaannya belum maksimal.
“Bagaimana pelaksanaannya? Pemerintah juga harus bergeser pandangan dari sekadar memenuhi kebutuhan fisik ke arah bagaimana kehidupan kelompok disabilitas dalam jangka panjang,” papar Dani dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (6/7).
Pada Jumat (5/7), Relawan Kita telah menggelar diskusi melibatkan komunitas disabilitas di Yayasan Pendidikan Dwituna Rawinala, Jakarta Timur. Diskusi tersebut juga menghadirkan Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) hingga Kepala Sekolah Luar Biasa Ganda Rawinala, Budi Prasojo.
Pandangan Ketua PPDI Jakarta, Leindert Hermeinadi, Pemprov Jakarta sejatinya sudah mengeluarkan berbagai kebijakan ramah disabilitas. Namun sayang, dalam perencanaan hingga penerapan kebijakan minim melibatkan kelompok disabilitas sehingga tidak maksimal.
“Ambil contoh sederhananya pembangunan trotoar. Bagaimana supaya dapat diakses pemakai kursi roda? Bagaimana material yang tidak licin? Seharusnya jika kami dilibatkan anggarannya akan optimal,” jelas Leindert.
Aspirasi terkait transportasi umum ramah disabilitas juga disampaikan anggota Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) Jakarta, Toto Sugiarto. Saat ini, transportasi seperti JakLingko belum ramah disabilitas.
“Belum ada tanda khusus di halte JakLingko untuk tunanetra, misalnya huruf braille atau panduan yang bisa diraba. Jarak halte juga terkadang jauh (dan menyulitkan disabilitas)," kritiknya.
Mendengar aspirasi para kelompok disabilitas, Ketua Umum RK, Henry Baskoro pun mendesak pemerintah setempat bisa lebih melibatkan kelompok disabilitas dalam setiap mengambil kebijakan.
Selain itu, harus ada standardisasi secara cepat untuk penanganan masalah teknis yang berdampak pada pelayanan kaum disabilitas.
“Contoh yang saya alami sendiri, lift di halte transit antarmoda di dekat Stasiun Cawang mati. Sampai dua minggu masih mati. Bagaimana kaum disabilitas terlayani? Ini harus dijawab dengan standardisasi pelayanan kota,” tambah Henry.