TAHUN ini, 2024 tak ubahnya bingkai suram kemerdekaan pers yang diamanatkan UU. Dua peristiwa kebakaran rumah wartawan terjadi di kabupaten Karo dan Labuhan Batu Sumatera Utara ini bakal menjelma menjadi sejarah buruk perjalanan pers Indonesia di penghujung kepemimpinan Presiden Joko Widodo jika tak diungkap secara transparan.
Pers nasional berkabung, nuraninya tersentuh, nalurinya bergejolak bahkan menjurus pada sikap skeptis. Dua tragedi kebakaran rumah 2 wartawan di Sumatera Utara ini merenggut 4 nyawa, masih meninggalkan misteri; terbakar atau dibakar.
Jika terbakar akibat kelalaian pemilik rumah, bagaimana dengan rangkaian proses jurnalistik yang terjadi sebelum peristiwa kebakaran yang dialami korban? Sekali lagi, benarkah kelalaian murni?
Tergres, rumah wartawan media
online Tribrata TV Rico Sempurna Pasaribu (40) yang berlokasi di Kabanjahe Kabupaten Karo, Kamis dinihari (27/6/2024) terbakar habis.
Tragisnya, Rico bersama istrinya Efprida br. Ginting (48), anaknya Sudiinveseti Pasaribu (12) dan cucunya Loin Situngkir (3) meninggal dunia akibat terbakar. Dinihari itu, seorang wartawan dan 3 buah hatinya terpanggang meregang nyawa.
Asumsi dan alibi terhadap kasus kebakaran yang menewaskan Rico dan 3 keluarganya pun berkembang, dikaitkan dengan sejumlah pemberitaan media
online yang dilakukan korban sebelum peristiwa kebakaran itu terjadi.
Rentetan pemberitaan judi di Karo ini seakan beririsan dengan peristiwa kebakaran rumah Rico, namun penyebab terjadinya peristiwa kebakaran ini masih dalam tahap penyelidikan dan belum disampaikan aparat kepolisian ke publik.
Di luar kasus kebakaran di Karo, persisnya di hari yang sama, Kamis dinihari (21/3/2024) atau berjarak 3 bulan 6 hari, rumah Junaidi Marpaung, wartawan media
online Utama News anggota PWI Sumut di Kota Rantau Prapat Kabupaten Labuhanbatu terbakar habis. Untungnya, Junaidi Marpaung bersama anak istrinya berhasil selamat setelah menerobos kobaran api yang membakar rumahnya.
Asumsi dan alibi juga berkembang, malah bergeser pada keseriusan aparat kepolisian Polres Labuhanbatu yang terkesan ‘separuh hati’ mengungkapnya dikarenakan sudah lebih dari 3 bulan peristiwa kebakarannya belum diungkap ke publik.
PWI Sumut beraksi keras atas peristiwa kebakaran ini dan meminta Kapoldasu mengungkap fakta sebenarnya. Terbakar atau dibakar? Lagi-lagi pertanyaan yang sama dilontarkan.
AJI Medan, melalui Komite Keselamatan Jurnalis Sumatera Utara (KKJ Sumut) pun melakukan investigasi terhadap kasus ini. Mereka turun ke lapangan, melakukan wawancara kepada korban hingga mengikuti jejak digital di facebook.
Dalam unggahannya 3 hari sebelum peristiwa kebakaran, korban meng-
update status pribadi di facebooknya; “
Hayo ngaku, bisnis harammu terganggu ya, makanya ngancam-ngancam dibalik akun palsu.” Ditambah
emoticon tertawa disertai gambar kartun.
Berselang kemudian korban melakukan siaran
live di Facebooknya dan menyinggung kata narkoba. “
Terganggu kau ya, mainanmu, narkobamu terganggu. Macam betul aja kau. Kau pikir enggak kucari juga kau. Kau tengok ya,” kata korban.
Akibat kebakaran itu, kini Junaidi Marpaung beserta anak istrinya terpaksa harus menumpang dirumah orang tuanya karena semua harta termasuk mobil pribadinya yang baru habis masa cicilan hangus terbakar.
Beberapa hari lalu, Dandim 0209/LB menginisiasi pembangunan kembali rumah Junaidi Marpaung ditandai dengan peletakan batu pertama. Bantuan dari para pihak dan simpatisan ini setidaknya menjadi pemicu semangat yang bersangkutan untuk tetap menjalankan profesinya.
Terbakar? Dibakar? Judul tulisan ini dipantik Dahlan Iskan, wartawan senior pada edisi tanggal 01-07-2024. Pak Dis, panggilan akrab Dahlan Iskan menulis datar tapi tajam, faktual berdasarkan informasi, konfirmasi dan klarifikasi dari jejaring yang dimilikinya saat memimpin
Jawa Pos Grup. Pantas jika Pak Dis menulis, akurasi data dan faktanya nyaris sempurna karena jejaringnya lengkap menyebar di seantero negeri.
Pak Dis tak menghakimi, tak juga menggiring opini. Dia hanya menyampaikan fakta dan konfirmasi lapangan. Jika ada rasa kecurigaan, sepertinya sah-sah saja dan kerja jurnalisme investigasi pun akan terus dilakukan Pak Dis bersama media lain untuk mengungkap fakta sebenarnya.
Tak cuma Pak Dis secara personal, Dewan Pers pun, Selasa (2/7/2024) menggelar konferensi pers dan meminta Kapolri, Panglima TNI, dan Pangdam membentuk tim penyelidikan secara adil dan imparsial.
Tak hanya itu, Komnas HAM pun mulai tergelitik dengan dalih ada indikasi ancaman bagi warga masyarakat dalam menyampaikan hak kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Sebelumnya, organisasi profesi wartawan seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Pewarta Foto Indonesia (PFI) secara nasional maupun di tingkat Provinsi Sumatera Utara dan lembaga-lembaga profesi lain terus menindaklanjuti pemberitaan melalui media
online, TV dan cetak menelusuri dan mengikuti perkembangan kasus ini.
Dua peristiwa kebakaran terhadap rumah wartawan ini benar-benar mengguncang nilai-nilai patriotisme para wartawan sebagai penjaga pilar demokrasi.
Dua tahun lalu, bertepatan puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari 2023, Presiden RI Joko Widodo bersama seabreg tokoh-tokoh nasional seakan makin mengukuhkan
tagline HPN; "Pers Merdeka, Demokrasi Bermartabat,” sebagai simbol kemerdekaan pers yang tentu saja membuat para wartawan makin bersemangat untuk memberitakan apa saja asalkan tetap mengacu pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Prinsip pemberitaan yang independen, bebas dan bertanggungjawab inilah yang menjadi kekuatan pers. Tak cuma itu, bak gayung bersambut, pada peringatan HPN 2024 di Jakarta, Presiden Jokowi memberi sinyal yang membanggakan bagi pers nasional; “Beritakan fakta apa adanya, tapi bukan mengada-ada, bukan asumsi-asumsi, bukan seolah-olah ada.”
Itulah nilai-nilai kenyamanan yang diberikan negara bagi profesi kewartawanan. Sikap profesional harus kita patrikan dalam diri saat melaksanakan aktivitas pers. Katanya, aktivitas jurnalistik dilindungi UU, kemerdekaan pers dijamin negara, termasuk kekhawatiran akan dibredel pemerintah lagi. Pers bebas, namun harus bertanggung jawab.
Lantas, bagaimana rangkaiannya dengan peristiwa kebakaran 2 rumah wartawan diatas? Jika peristiwa kebakaran itu murni keteledoran atau kelalaian pemilik rumah, pemberitaan biasa saja.
Setidaknya atas nama wartawan kami berempati, bergotong royong memberi bantuan untuk meringankan beban korban, karena peristiwa yang sama bisa saja terjadi kepada siapa saja, termasuk wartawan.
Tapi, jika rumah dan mereka memang benar sengaja akan dibakar untuk membungkam pemberitaan, harus sesadis itukah memperlakukan profesi wartawan? Tidakkah ada hak-hak publik yang bisa digunakan berdasarkan UU Pers? Atau berandai-andai pelakunya adalah mafia, bisakah mereka sesuka hati menjalankan hukum rimba di negeri kita?
Mudah-mudahan asumsi-asumsi seperti ini tak terbesit dipikiran. Kami masih menaruh kepercayaan tinggi kepada pihak kepolisian untuk dapat mengungkapnya.
Sebagai ilustrasi, peristiwa pembunuhan Mara Salem Harahap (Marsal) wartawan/pemilik media
online Lassernews.com pada Sabtu (19/6/2021) di Karang Anyer Simalungun Sumatera Utara yang melibatkan mantan Cawalikota Siantar dan oknum TNI terkait kasus narkoba bisa diungkap dan pelakunya sudah dijatuhi hukuman seumur hidup.
Dalam fakta persidangan korban ditembak mati karena selalu memberitakan sarana hiburan milik pelaku, namun terungkap korban acapkali meminta kompensasi dalam bentuk uang dan narkoba sebagai bargaining dari pemberitaan.
Terlepas aktivitas jurnalistik Marsal di Simalungun merupakan pelanggaran berat dalam KEJ dan UU Pers, namun tidak harus berujung pada pembunuhan. Pihak yang keberatan dapat melakukan hak jawab sesuai amanah UU Pers dan langkah hukum lainnya.
Begitu juga terhadap peristiwa kebakaran dua rumah di Karo dan Labuhanbatu, andai saja peristiwa ini bukan kelalaian murni tapi akibat dibakar dikarenakan adanya pemberitaan yang dianggap tidak memenuhi kaidah jurnalistik, termasuk adanya indikasi pemerasan ataupun peristiwa kriminal lainnya yang dilakukan wartawan, sudah seharusnya pihak-pihak yang keberatan mengadukan ke Dewan Pers untuk ditindaklanjuti.
Harapan kami, dua peristiwa kebakaran itu murni kelalaian agar kami tak punya sakwasangka, sehingga tak lagi berasumsi apalagi bersikap skeptis.
Tapi, andaikan peristiwa kebakaran ini rangkaian dari pemberitaan, usut dan adili agar kami juga tegak menjaga marwah profesi.
Kita yang masih menjalankan tugas jurnalistik, tak perlu ragu menjalankan amanah profesi. Wartawan adalah profesi mulia. Walau berita baik kita dinanti, jangan lelah mengkritisi, meski berisiko dihabisi. Itu saja.
*Ketua Dewan Kehormatan Provinsi Persatuan Wartawan Indonesia Sumatera Utara