Sejumlah lembaga perwakilan masyarakat menilai bahwa penyusunan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) di Indonesia belum sepenuhnya mencerminkan prinsip transparansi dan partisipasi yang inklusif dan bermakna. Terutama bagi masyarakat yang terdampak dan pihak-pihak non-pemerintah pusat yang lazim disebut sebagai Non-Party Stakeholders (NPS).
Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan mengaku, masyarakat yang hidup di pesisir belum dilibatkan secara inklusif dalam penyusunan dokumen kebijakan untuk menghadapi isu perubahan iklim tersebut.
"Sangat penting memastikan suara nelayan tradisional didengar dan diperhitungkan dalam penanganan perubahan iklim. Khususnya dalam konteks penyusunan Second NDC,” tegas Dani dalam keterangannya, Sabtu (29/6).
Faktanya, lanjut Dani, nelayan kecil dan tradisional merupakan kelompok yang paling terdampak oleh perubahan iklim.
Hasil survei KNTI tahun 2023 menunjukkan bahwa perubahan iklim telah menurunkan hasil tangkapan sebesar 72 persen, menurunkan pendapatan sebesar 83 persen, dan meningkatkan risiko kecelakaan sebesar 86 persen.
Tanpa pelibatan nelayan, kebijakan yang dihasilkan berisiko tidak relevan dan tidak efektif di lapangan.
Menurut Ketua Umum Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia (KPPMPI) Hendra Wiguna, nelayan kecil dan tradisional tidak hanya ingin menjadi objek dari kebijakan, tetapi juga subjek yang aktif terlibat dalam proses pengambilan keputusan.
“Itu berdampak pada menurunnya jumlah nelayan karena minimnya minat generasi muda untuk menjadi nelayan atau berusaha di sektor kelautan perikanan. Hal ini terjadi seiring dengan meningkatnya risiko bekerja di laut pun demikian yang bergerak di sektor budidaya ikan dan rumput laut akibat adanya perubahan iklim dan menurunnya kesehatan laut dan pesisir,” terang Hendra.
Dia melanjutkan bahwa menurunnya jumlah nelayan ini perlu diantisipasi segera, karena akan berdampak luas mulai dari ketersediaan pangan hingga serapan tenaga kerja yang selama ini terserap oleh sektor usaha kelautan perikanan.
“Maka dari itu terkait dengan dampak perubahan iklim ini, perlu langkah serius dari pembuat kebijakan, serta kedepan setiap kebijakan yang berkaitan dengan penanganan perubahan iklim harus dimusyawarahkan bersama para pelaku di sektor pangan dalam hal ini nelayan, pembudidaya ikan, petani, peternak,” jelas Hendra.
“Harapannya dengan pelibatan tersebut, akan hadir produk kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat terdampak perubahan iklim dan terwujud kemampuan adaptasi yang mumpuni bagi nelayan muda dan pelaku usaha kelautan perikanan lainnya,” ungkapnya.
Sementara itu, Decmonth dari Extinction Rebellion Indonesia menyatakan sekitar 68 juta orang muda mendominasi populasi Indonesia.
Menurut Decmonth Masa depan orang muda yang diharapkan Pemerintah sebagai bonus demografi akan terancam dengan semakin parahnya bencana ekologis akibat dampak perubahan iklim. Apalagi 70 persen bencana ekologis di Indonesia adalah akibat perubahan iklim.
“Jumlah dan intensitasnya akan semakin meningkat seiring dengan suhu bumi yang semakin panas menuju jalur bahaya neraka iklim 1,5 derajat celcius. Dalam situasi belum hadirnya undang-undang mengenai mitigasi dan adaptasi iklim yang memprioritaskan keadilan dan partisipasi rakyat secara bermakna, seluruh orang muda akan menjadi korban. Cita-cita menuju Indonesia maju akan sirna,” ujarnya.
“Untuk itu, kami sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang terdampak krisis iklim memiliki aspirasi mewujudkan keadilan iklim bagi rakyat Indonesia meminta agar proses penyusunan Second NDC betul-betul mencerminkan proses partisipasi yang inklusif dan bermakna. Aksi iklim yang dirancang tanpa partisipasi inklusif dan bermakna bersama masyarakat dapat mendatangkan bahaya yang lebih besar,” pungkas Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, Torry Kuswardono.
Mereka melayangkan surat terbuka yang ditujukan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) dan ditandatangani oleh 32 lembaga perwakilan Masyarakat sipil yang banyak bergerak di krisis iklim.
Lembaga-lembaga tersebut adalah 350.org Indonesia, Aksi! for gender, social and ecological justice, Bengkel Advokasi Pemberdayaan. dan Pengembangan Kampung (Bengkel APPeK), Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Climate Rangers Jakarta, Extinction Rebellion Indonesia, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia (KPPMPI), Koaksi Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan dan Demokrasi.
Kemudian Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Konsorsium untuk Studi dan Pengembangan Partisipasi (KONSEPSI), Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M), Lembaga Transform NTB dan Pergerakan Disabilitas dan Lanjut Usia (DILANS) Indonesia.
Selanjutnya, Perkumpulan HuMa Indonesia, Perkumpulan Jiwa Sehat (PJS), Persekutuan Perempuan Adat Nusantara (PEREMPUAN AMAN), Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Solidaritas Perempuan (SP), Thamrin School of Climate Change and Sustainability, Working Group ICCAs Indonesia (WGII), YAKKUM Emergency Unit (YEU), Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis), Yayasan Konservasi Way Seputih (YKWS), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS), Yayasan PIKUL [ ]