SEBUT saja Ahram berprofesi sebagai nelayan lobster. Operasi penangkapan lobster di perairan Samudera Hindia (Selatan Sumbawa) hingga Laut Flores berbatasan Australia (sekitar Pulau Christmas) sejauh itu berlayar, modal keberanian dan mental kuat dengan perahu 15 GT. Modal melaut, tentu dari bohirnya berkisar Rp150 juta. Rentang waktu melaut sekitar 3 bulan. Hasil tangkapan lobsternya didaratkan (labuh) di tempat pelelangan terdekat.
Pengakuan Ahram, aparat Australia jarang beroperasi. Justru aparat Indonesia sangat sering beroperasi. Setiap saat pasti ada aparat Indonesia, kalau tangkap nelayan menghitung semua risiko operasi, misalnya bensin, keringat, berat senjata, pemeliharaan kapal dan uang saku. Hal itu diselesaikan di tempat atau sering dikenal 86 atau penyitaan surat-surat kapal nelayan dan geret kapal ke pelabuhan.
Bagi Ahram, hal itu momok baginya. Pasalnya nelayan diperas, harus negosiasi seluruh proses hukum. Apabila Bohir (pengusaha pengepul) mampu menanggung semua beban hasil negosiasi, maka bisa ada jalan keluarnya. Tapi, kalau bohirnya, tak berani dan lari dari masalah, maka nelayan sering menjadi sasaran empuk.
Sala satu contoh paling rumit, penangkapan 67 nelayan Pulau Sumbawa di Pulau Nekliu, kemudian digeret kapal serta ABK, juragan maupun nahkoda ke Pelabuhan NTT. Awal malapetaka dan neraka dunia bagi nelayan. Semuanya harus menerima takdir, begitu ditangkap dan tiba di pelabuhan, mereka dianggurin selama 3 bulan lamanya.
Kejam dan zalim aparat ini, tidak menyediakan makanan, pangan, sandang dan papan selama 3 bulan ditahan. Penjaranya di atas kapal. Terdiri dari 6 kapal yang keberadaannya berbeda satu tempat dengan lainnya.
Pada Jum'at 17 November 2023 pukul 14.00 WIT, 6 orang nelayan dibawa ke Kejaksaan disertai barang bukti kompressor. Hanya satu alat bukti yang mereka sita. Kasus ini, terkesan dipaksakan. Kecurigaan banyak orang bahwa aparat main mata dengan rentenir-rentenir pengusaha sangat memungkinkan. Hari Senin 20 November 2023 mereka dipanggil pengadilan dan langsung disidangkan. Dari 67 orang, hanya 6 orang tersangka. Tentu, 6 orang mewakili 61 orang.
Dalam sistem hukum Indonesia, tak mengenal mewakili yang lain untuk menjadi tersangka. Mestinya, ditetapkan semua sebagai tersangka 67 orang itu. Tetapi hanya 6 orang. Ini kesalahan besar dari penyidik PPNS. Nelayan lobster hingga sekarang, malang nasibnya. Ditahan dalam keadaan di atas kapal, bersakit-sakitan, hingga kapalnya pun mau hancur yang dihantam ombak di pelabuhan itu.
Kesalahan dari penyidik yang bermain mata dengan rentenir pengusaha adalah batas waktu 21 hari mestinya sudah dilimpahkan ke kejaksaan. Kalau memang serius diproses hukum. Namun, penyiksaan batin, jiwa, dan penjara diatas kapal membuat sengsara berkepanjangan. Kasus ini hingga sekarang sudah berjalan setahun, belum tahu pasti kapan selesainya. Nelayan dan juragan kapalnya putus kontak komunikasi dengan organisasi nelayan.
Kasus ini, salah satu contoh paling sederhana, memang lobster itu monster yang memakan banyak korban, mulai dari menteri yang korupsi, pejabat yang kaya karena bisnis, aparat yang
inlander, dan pengusaha yang pengkhianat. Nelayan sering kena mental doktrin dan dituduh menjual hasil tangkapan di tengah laut, sebagai alasan aparat dan pengusaha untuk menangkap dan menghukum nelayan.
Nelayan hidupnya susah, tersiksa, pendapatan tak jelas, tersakiti, dan meninggalkan keluarganya dalam waktu panjang. Kekejaman dan kezaliman terhadap nelayan dari semua perilaku pengusaha, pejabat dan aparat jahat harus dihentikan. Sementara nelayan, pembiayaannya tak ada sama sekali. Hukum tetap berjalan. Hukum tetap menghukum nelayan lobster tanpa ada rasa kemanusiaan sama sekali.
Para nelayan lobster dan BBL sangat keberatan dengan produk-produk regulasi dikeluarkan pemerintah yang telah merugikan banyak pihak. Nelayan lobster konsumsi dan penangkap BBL seperti pepatah lama, ‘bagai buah simalakama, dimakan mati, tak dimakan mati’. Mereka resah, tersiksa dan risau atas mata pencaharian sendiri, karena perasaan takut ditangkap.
Rencana pemerintah untuk melegalkan ekspor benih lobster (BBL) menjadi pro-kontra belakangan ini. Sebelumnya, pernah dilegalkan melalui kebijakan KKP. Namun, tetap ilegal karena kelompok
black market yang menahan Kemenkeu untuk keluarkan regulasi (dasar hukum) PNBP tentang lobster. Pasalnya, ekspor lobster dan benih lobster yang sebelumnya dilarang di masa Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2019-2021 dilegalkan.
Pasca legal, melalui kebijakan yang dianggap baik itu, kembali kelompok
black market menjebak kebijakan legal lobster ini dalam sebuah jebakan "kasus hukum" terhadap menteri. Akhirnya, kebijakan lobster kembali dicabut hingga sekarang ini. Padahal, harapan terhadap kebijakan legal itu, dapat mengelola tata niaga lobster dan benih lobster lebih baik. Tetapi, lagi-lagi KKP gagal mengimplementasikan.
Problematika ini, merupakan potret ketidakadilan yang akan terus mengancam kehidupan nelayan lobster. Pada saat yang sama, dibukanya izin ekspor lobster dan benih lobster mendorong ekonomi masyarakat pesisir yang lebih baik. Jika Pemerintah memiliki komitmen untuk menegakan keadilan terhadap nelayan, maka lobster harus di ekspor: Lobster konsumsi dan benih bening lobster. Karena pembudidaya lobster dalam program KKP gagal melakukannya. Mereka ingin budidaya, tetapi berbenturan dengan modal yang besar selama 7-13 bulan lama pembesaran. Sementara teknologi tak mampu dihadirkan.
Awal dari petaka neraka bagi nelayan lobster, ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan dan menetapkan tersangka lain dalam kasus dugaan penerimaan hadiah (gratifikasi) atau janji terkait perizinan tambak, usaha, atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020. Ditetapkan total tujuh orang tersangka dalam kasus ini.
Dalam kasus ekspor benur (BBL), bisa disingkap permainan pembudidaya ikan yang berkolaborasi dengan kelompok
black market untuk menolak ekspor BBL dengan sasaran Menteri Kelautan dan Perikanan. Selama masa pergantian menteri, banyak orang bertanya tentang lobster. Keingintahuannya sangat tinggi. Rata-rata dari mereka pendukung budidaya lobster (tangan kelompok
black market) dengan segala kontroversinya. Menariknya, ada migrasi pembudidaya ikan laut yang merugi selama 10 tahun akibat kebijakan pemerintah kemudian beralih menjadi pembudidaya lobster.
Migrasi pembudidaya ini, sekaligus berperan menolak ekspor benih lobster dengan segala alasan argumentasinya. Bahkan, mereka tampil di berbagai media. Saat itu, mereka masuk melalui struktur KKP dalam membangun wacana-wacana budidaya lobster untuk meraih opini publik dan mendapat dukungan.
Lagi pula, pengamat dadakan muncul atas nama ekonomi nasional melalui media. Semua mereka ini, tak ada yang muncul dalam perjuangan antitesa kebijakan KKP sebelumnya. Justru pejuang-pejuang yang keras dan objektif selama ini tidak dipakai dalam “tanda kutip.” Banyak sekali aktivis nelayan terbuang waktu dalam meluruskan informasi yang benar-benar fakta atas kezaliman kebijakan KKP.
Namun, kalah dengan orang muncul dadakan yang ingin meraih simpati dan mengambil hati atas kepentingan bisnisnya atau jabatan yang ingin diraih.
Nah, salah satu modal pengamat dadakan ini, menggaungkan budidaya lobster dan menolak ekspor benih lobster. Tentu mereka juga memiliki alasan dengan modal narasi investigasi ke sentra-sentra budidaya di Vietnam maupun di negara lainnya. Walaupun, mereka sangat mengetahui mahalnya
cost budidaya lobster yang tinggi itu.
Besaran bibit lobster yang harus ditangkap margin Survival Rate (SR)-nya 0,01-0,03 persen untuk ekspor. Kalau ukuran diatas 30-40 persen adalah ukuran lobster muda untuk budidaya. Kalau margin SR sudah 30-40 persen, mestinya tidak ditangkap karena tingkat Survival Rate (SR)-nya sudah melewati masa kritis.
Alasan kuat melegalkan ekspor benih lobster dari pada budidaya, yakni hitungan ekonomi dan keuntungan bagi devisa negara. Tetapi, hitungan Survival Rate (SR) lobster sudah banyak sekali referensi yang menjelaskan secara ilmiah. Survival Rate (SR) yang benar adalah 0,01-0,03 persen.
Mestinya, tangkapan untuk budidaya yakni tingkat margin SR-nya 0,03-0,07 persen. Kalau ukuran 30-40 persen sudah masuk kategori induk lobster yang harus dilarang ditangkap. Dari SR-nya 0,07-0,10 persen yang ditangkap untuk budidaya itu bisa dilakukan restocking sebanyak 10 persen dari hasil budidaya. Tentu kategori syarat restocking pada ukuran margin SR-nya sudah 30-40 persen.
Indonesia mendapat keberkahan dan Rahmat Tuhan yang melimpah. Karena benih bening lobster berasal dari perairan negara lain seperti Australia dan Papua Nugini. Atas migrasi benih lobster ini, dalam waktu 190 hari ke Samudera Hindia, Indonesia panen dan surplus sumber daya benih. Bila potensi Indonesia sebesar itu, maka analisa ekonomi lobster harus libatkan ekosistem dan perbaikan regulasi, sehingga bisa ketemu hubungan antara kutub ekonomi dan lingkungan, yang selama ini kontra.
Menurut KKP tahun 2024 ini, bahwa: negara mengalami kerugian besar imbas penyelundupan Benih Bening Lobster (BBL) ke luar negeri. Tentu, sisi ekonomi, kerugian negara capai triliunan rupiah dengan estimasi jumlah BBL yang keluar dari Indonesia secara ilegal mencapai 500 juta ekor setiap tahun. Akibat penyelundupan benih lobster dilakukan para pelaku melalui jalur darat, laut, serta udara. Area rawan mulai dari pengepul, pelabuhan penyeberangan, pintu keluar bandara, dan jalur laut.
Persoalannya, KKP hanya bisa melakukan pengawasan dan
playing victim (harap belas kasihan) publik agar dikenal tegas. Namun, sebenarnya KKP gagal mengelola dan mengatur tata niaga benih bening lobster. Padahal KKP sendiri sudah mengetahui modus operandi penyelundupan yang dipakai para pelaku cukup beragam, mulai dari bertindak sebagai pengepul BBL, berganti-ganti mobil saat membawa BBL, menggunakan koper berisi BBL ketika di bandara, hingga memakai kapal berkecepatan tinggi atau yang biasa disebut dengan kapal hantu.
Ragam model penyelundupan itu, tak mungkin terjadi, kalau hanya dilakukan nelayan biasa. Tentu, dibalik penyelundupan itu ada peran backup aparat. Namun, narasi KKP selalu menyalahkan nelayan sebagai penyelundup. Inilah bagian dari kegagalan KKP dalam penegakan pengawasan terhadap sumberdaya alam.
Khawatirnya lagi, apa yang disebut "Kapal Hantu" sebagainya alat penyelundupan itu difasilitasi oleh aparat dilindungi oleh pemerintah sendiri atas kehendak para pengepul jahat. Lebih kacau, ketika KKP menangkap pelaku penyelundupan benih, lebih dari 1,34 juta ekor BBL yang diklaim berhasil diselamatkan aparat penegak hukum dari para pelaku penyelundupan sepanjang 2023. Sedangkan hingga Mei 2024, jumlahnya sudah hampir 1 juta ekor. Hal ini bisa disebut Lobster itu Monster yang menghidupkan semua pelaku kejahatan
black market atas nama negara.
Tentu, publik tidak percaya dengan peristiwa penangkapan benih yang diselundupkan itu. KKP belum pernah merilis, kemana benih itu dilepaskan?. Apakah dijual terselubung kembali atau dibuang begitu saja. Logikanya, benih bening itu dari mulai ditangkap nelayan, hitungan 15 hari.sudah menguning warnanya. Artinya, rentang waktunya antara saat ditangkap nelayan dengan penyelundupan butuh waktu lebih 15 hari. Kalau sudah menguning, tak bisa dibudidaya lagi atau dilepas kembali ke laut. Lalu, benih bening itu ke mana?
KKP selama ini gagal total dalam merespons fenomena BBL dan black market. KKP gagal membaca peluang tata niaga dan pertumbuhan jumlah: penangkap, konsumsi dan ekspor lobster dan BBL. Sehingga perlu didorong perubahan: regulasi, mental, dan sikap pada pejabat KKP agar menemukan formulasi yang baik untuk kepentingan negara.
*Penulis adalah Ketua Umum Asosiasi Nelayan Lobster Indonesia (ANLI)