Seminar Internasional sebagai bagian dari rangkaian acara “1st PTIQ International Quranic Studies Conference” di Auditorium Universitas PTIQ Jakarta, Selasa (25/6)/Ist
Universitas Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran atau PTIQ Jakarta sukses menyelenggarakan Seminar Internasional sebagai bagian dari rangkaian acara “1st PTIQ International Quranic Studies Conference” di Auditorium Universitas PTIQ Jakarta, Selasa (25/6).
Ketua Pelaksana Conference Abd Muid Nawawi mengatakan, kegiatan ini juga disiarkan melalui Zoom Meeting dengan partisipan lebih dari 500 peserta dan juga melalui Live Streaming Youtube PTIQ TV.
"Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka membuktikan, bahwa kita adalah para penjaga Al Quran," ujar Muid Nawawi.
Acara dibuka dengan materi pembicara kunci Prof. M. Darwis Hude, Direktur Pascasarjana Universitas PTIQ Jakarta.
Dalam pidatonya, Darwis Hude menekankan pentingnya keberagaman perspektif dalam memahami dan menafsirkan Al Quran.
"Dalam tradisi tafsir Al Quran, jangan heran jika banyak pandangan yang tidak sama dengan pandangan umum," kata Darwis.
Sementara jalannya diskusi berlangsung dinamis. Dimulai dari pandangan Prof. Mun’im Sirry, Professor of Islamic Studies dari University of Notre Dame, yang berargumen bahwa Al Quran bukan hanya kalamullah tetapi juga kalam nabi.
"Allah hanya mewahyukan maknanya, tetapi secara bahasa dinarasikan oleh Nabi. Kita kehilangan percakapan intelektual yang tidak mau melihat kompleksitas," ujar Mun'im.
Narasumber kedua, Muhammad Nuruddin yang merupakan Director of Darul Archam Islamic Boarding School, Indonesia, membantah argumen Mun’im Sirry.
Dengan mengutip dalil-dalil Al Quran dan pendapat para ulama, beliau menyatakan bahwa rujukan-rujukan yang dikutip oleh Mun’im Sirry tidak tepat.
"Tidak ada dalil Al Quran yang digunakan oleh Prof. Mun’im. Kemudian, saya juga menyampaikan ayat Al Quran yang mengancam mereka yang menyebutkan Al Quran adalah ucapan manusia dengan neraka syakar," tuturnya.
Dalam responnya, Prof. Mun’im Sirry menyampaikan kritik terhadap pandangan Muhammad Nuruddin. Katanya, kesalahan Nuruddin adalah karena cara pandang yang salah, karena cara pandang itu hanya
either or fallacy tanpa memikirkan pandangan alternatif.
"Selain itu, ayat tentang ancaman ‘neraka syakar’ adalah ucapan orang-orang musyrik yang mengatakan bahwa Al Quran adalah ucapan nabi dan tidak berdasarkan wahyu, sedangkan saya dan juga para ulama yang berpendapat bahwa Al Quran adalah kalamullah wa kalamu rasulillah berpandangan bahwa tetap, Al-Qur’an pun adalah kalamullah, berbeda dengan yang dituduhkan kaum musyrik," urainya.
Menanggapi hal tersebut, Muhammad Nuruddin menegaskan kembali posisinya bahwa dia selama belajar ilmu logika tidak menemukan adanya
either or fallacy yang ada justru hukum kontradiksi.
"Bahwa dua hal yang bertentangan itu tidak mungkin terhimpun. Contohnya, apakah mungkin ‘ini PTIQ dan ini bukan PTIQ dan kemungkinan ketiga’. Jadi ketika ada pernyataan ini PTIQ, maka pernyataan ini bukan PTIQ itu salah," pungkasnya.