Pandangan pemilih muda terpecah jelang pemilihan presiden Iran yang rencananya digelar 28 Juni mendatang.
Mengutip Reuters pada Senin (24/6), seorang mahasiswa berusia 22 tahun bernama Atousa mengaku tidak akan berpartisipasi dalam pemilihan yang akan menentukan pengganti Ebrahim Raisi yang meninggal dunia karena kecelakaan helikopter bulan lalu.
Atousa pernah ikut dan tertangkap dalam aksi protes kemarahan terhadap penguasa Iran pada tahun 2022 yang dipicu oleh kematian seorang perempuan bernama Mahsa Amini.
Dia menentang kebijakan pemerintah Republik Islam Iran yang keras terhadap perempuan dan menilai pemilu beberapa hari mendatang hanya sebuah permainan sirkus.
“Pemilu ini, seperti semua pemilu di Iran, adalah sebuah sirkus. Mengapa saya harus memilih ketika saya ingin rezim digulingkan?,” ujarnya.
Menurut Atousa, berlangsung dengan adil atau tidaknya pilpres Iran tetap tidak berpengaruh. Pasalnya presiden tidak memiliki kekuasaan dan pemimpin tertinggi Ayatollah Ali Khamenei lah yang berwenang atas semua keputusan negeri.
Tagar #Election Circus telah banyak diposting di platform media sosial X oleh masyarakat Iran dalam beberapa minggu terakhir, sementara beberapa warga Iran di dalam dan luar negeri menyerukan boikot pemilu.
Atousa, yang saat itu masih mahasiswa, ditangkap selama protes dan mimpinya menjadi seorang arsitek hancur ketika dia dikeluarkan dari universitas sebagai hukuman karena berpartisipasi dalam demonstrasi.
Basij, sebuah cabang berpakaian preman dari pasukan elit Garda Revolusi, dikerahkan bersama petugas keamanan berseragam selama kerusuhan tahun 2022 dan membantu menekan demonstrasi dengan kekuatan yang mematikan.
Lebih dari 500 orang termasuk 71 anak di bawah umur tewas dalam protes tersebut, ratusan orang terluka dan ribuan orang ditangkap dalam kerusuhan yang akhirnya ditumpas oleh pasukan keamanan.
Berbanding terbalik dengan Atousa, seorang anggota milisi garis keras Basij yang taat beragama Reza (26 tahun) sangat bersemangat untuk ikut memiliki presiden akhir pekan ini.
"Saya akan mengorbankan hidup saya untuk pemimpin dan Republik Islam. Ini adalah kewajiban agama saya untuk memilih. Partisipasi saya akan memperkuat (sistem) Nezam," kata Reza, dari distrik Nazi Abad yang berpenghasilan rendah di Teheran selatan.
Reza mengatakan dia akan mendukung kandidat garis keras yang memperjuangkan “ekonomi perlawanan” Khamenei, sebuah ungkapan yang berarti swasembada ekonomi, memperkuat hubungan perdagangan dengan tetangga regional dan meningkatkan interaksi ekonomi dengan Tiongkok dan Rusia.
Reza dan Atousa, keduanya lahir setelah Revolusi Islam 1979, menyayangkan demonstrasi tahun 2022, meski dengan alasan berbeda.
Reza menyalahkan protes tersebut karena menimbulkan tekanan yang meningkat terhadap Iran dari negara-negara Barat, yang menjatuhkan sanksi terhadap pasukan keamanan dan pejabat Iran atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia.
“Saya berharap protes tidak digunakan musuh-musuh kami sebagai alasan untuk meningkatkan tekanan terhadap negara kami,” ujarnya.
Sementara Atousa berharap agar rezim Iran segera digulingkan.
"Saya pikir akhirnya perubahan akan terjadi dan saya akan bisa menjalani kehidupan tanpa penindasan di negara bebas. Namun sayangnya rezim masih berkuasa di sini," kata dia.
Pilpres Iran diikuti oleh enam calon. Lima calon merupakan tokoh garis keras, sedangkan kandidat keenam adalah anggota parlemen Masoud Pezeshkian (69 tahun), adalah seorang ahli bedah jantung yang mendapat dukungan dari beberapa tokoh pro-reformasi.
Kandidat yang paling menonjol adalah Mohammad Bagher Qalibaf, (62 tahun), mantan walikota Teheran yang memiliki hubungan dekat dengan paramiliter Garda Revolusi Iran.
Namun, banyak yang ingat bahwa Qalibaf, sebagai mantan jenderal Garda Revolusi diduga terlibat dalam aksi kekerasan mahasiswa Iran pada tahun 1999.
Dia dilaporkan memerintahkan tembakan tajam untuk digunakan terhadap mahasiswa pada tahun 2003 ketika menjabat sebagai kepala polisi negara tersebut.
Di antara mereka yang mencalonkan diri sebagai presiden juga terdapat wakil presiden Iran, Amir Hossein Qazizadeh Hashemi, (53 tahun), dan wali kota Teheran saat ini, Ali Reza Zakani (58 tahun).
Anggota Dewan Keamanan Nasional Tertinggi, Saeed Jalili (58 tahun), dan ulama Mostafa Pourmohammadi Rouhani (64 tahun) mantan menteri dalam negeri di bawah mantan Presiden Hassan Rouhani yang relatif moderat, juga ikut dalam pencalonan.
Mereka berusaha menggunakan kampanye media sosial untuk mendapat dukungan dari kaum muda dibawah 30 tahun yang populasinya di Iran mencapai 60 persen dari 85 juta penduduk.