Berita

Hetty Kus Endang/Ist

Publika

Hetty, Sang Panglima Dayak

Oleh: Suroto*
SELASA, 18 JUNI 2024 | 13:16 WIB

KISAH kepahlawanan seorang panglima biasanya didominasi oleh pria. Mereka biasanya tampil gagah perkasa dengan berbagai pernak  pernik perang seperti pedang, tombak, tameng, dan lain sebagainya. Tapi tidak untuk tokoh yang satu ini, namanya Hetty, nama panjangnya Hetty Kus Endang (34 tahun), mirip dengan nama penyanyi terkenal di era 80an.

Ibu dua anak ini bertubuh mungil, tapi apa yang dilakukan sungguh sangat besar artinya bagi orang Dayak. Suku yang menghuni pulau Kalimantan ini. Dia tak hanya telah turut selamatkan warisan budaya nenek moyangnya seperti tenun Dayak yang terkenal dengan nama kain Pantang dan karya kriya lainya yang bernilai artistik dan spiritual tinggi, tapi juga telah memberi nilai manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat Dayak.

Beberapa waktu lalu, di bawah supervisinya, kain tenun Pantang bahkan telah dibuatnya mengguncang dunia dengan masuk sebagai pakaian resmi yang dipakai pemimpin pemimpin seluruh negara dalam acara World Water Forum (WWF) ke-10 di Bali. Dengan seluruh daya, dia kerahkan ratusan perempuan Dayak untuk hasilkan kain tenun untuk penuhi permintaan Pemerintah dalam forum pertemuan WWF tersebut.

Hetty tidak menduga sebelumnya kalau tenun Pantang dipilih sebagai pakaian resmi yang dipakai presiden dan pemimpin pemimpin dunia itu. “Bahkan saya sangat khawatir tidak dapat memenuhi permintaan mengingat  standar kualitas, waktu yang sangat singkat itu dapat memenuhinya. Apalagi permintaanya sangat khusus dibuat lebih panjang dari yang biasanya dibuat oleh penenun kami," ungkapnya mengenang saat saat menegangkan itu.

Kecintaan Hetty pada tenun dan kriya Dayak warisan nenek moyangnya ini memang sudah sejak lama. Namun usahanya untuk mengembalikan kebanggaan anak-anak muda pada hasil kriya Dayak dan sekaligus berdayakan ekonomi para artisnya terinspirasi saat bertugas di lapangan dalam program Sarjana Penggerak Pembangunan Pedesaan (PSP3) di Lasem, Pati, Jawa Tengah setelah lulus dari Universitas Satya Wacana, Salatiga.

Kenang Hetty, “saya terus terang terinspirasi dengan Batik Lasem, bagaimana industri rumahan yang jumlahnya terbatas itu bisa menghidupi keluarga dan ciptakan peminatnya.

Hetty, yang berasal dari Sintang, Kalimantan Barat dan keturunan sub-suku Dayak Uud Danum ini setelah bekerja di Jawa terpaksa harus kembali ke Kalimantan karena harus merawat orang tuanya yang sakit. Setelah itu dia mulai dari nol lagi dengan bekerja di satu perusahaan karet. Di saat bekerja di perusahaan karet ini hatinya mulai terketuk melihat nasib anak anak muda Dayak.

"Saya lihat anak anak muda Dayak hanya bekerja jadi buruh di kebun karet dan sawit dengan gaji yang rendah. Tidak ada pekerjaan lainya, mereka susah mencari pekerjaan karena pendidikannya juga rendah. Saya ingin ada perubahan," tukas Hetty.

Hetty kemudian keluar dari tempat kerja lamanya, dan melamar pekerjaan baru di bank dan Credit Union/CU (Koperasi Kredit). Namun Hetty menjatuhkan pilihan bekerja di CU Keling Kumang karena informasi yang didapat dari seniornya di organisasi Ikatan Sarjana Katolik (ISKA) menurutnya CU lebih tepat baginya karena ada kegiatan pemberdayaanya.

Di CU lah Hetty merasa mendapatkan lembaga yang pas untuk mengembangkan idealisme pemberdayaan bagi masyarakat. Dari CU dia belajar banyak tentang manajemen, membangun jaringan kerja dan bahkan  mendapatkan modal awal untuk memulai usaha.

Di CU, dia bertemu banyak orang yang memiliki visi yang sama untuk pemberdayaan masyarakat. Sebut saja misalnya Yohanes RJ, CEO CU Keling Kumang yang telah banyak membimbingnya sebagai staf. Kemudian Munaldus Nerang, sebagai pendiri CU Keling Kumang.

Hetty menjelaskan “Pak Munal telah memberikan inspirasi bagi saya, bagaimana 32 tahun silam dia bangun gerakan CU Keling Kumang dan ciptakan banyak pekerjaan yang layak bagi orang Dayak. Saya anggap apa yang saya lakukan ini juga hal yang sama, sebagai gerakan, sebab tenun dan pelestarian budaya itu tidak dapat dikerjakan sendiri”.

Kecintaan Hetty pada wastra Dayak ini sesungguhnya sudah sejak lama. Dia sering menjualnya dengan bangga kepada teman temannya untuk oleh oleh dari Sintang. Dia berpikir jika dipasarkan dengan serius dia yakin akan dapat memberikan nilai tambah ekonomi bagi banyak keluarga. Lalu dengan modal yang terbatas dan juga karena kebetulan Mertua perempuanya juga seorang penenun maka dia mulailah yakin bahwa dia bisa mengembangkan usahanya dengan aktif memasarkan di media sosial.

Mendapat dukungan dari lembaga seperti CU, mertua, dan juga suaminya, Hetty beranikan membeli rumah milik keluarganya pada waktu itu. Di rumah itu dia bangun galeri untuk pajang kain pantang, pakaian  menjahit, penyewaan dan operasional yayasannya rumah belajar Kain Pantang yang mengenalkan terutama kepada anak anak untuk memproses kain pantang, teknik pewarnaan, dan kegiatan pelestarian budaya Dayak.

Sepuluh tahun lalu menurut Hetty, anak anak muda tidak ada yang tertarik lagi dengan tenun pewarnaan alami dan mereka menganggap kuno. Padahal pewarnaan alami itu menurutnya bukan hanya lebih ramah lingkungan, tapi aman untuk kulit, tapi juga penting untuk kegiatan pelestarianya. Sebut saja misalnya pohon Engkerebang yang multiguna, sebagai obat tradisional. "Kalau diminum saja aman, tentu dipakai juga aman", tuturnya.

Cita-cita Hetty yang sesungguhnya adalah ingin melestarikan budaya Dayak dan bagaimana usaha pelestarian budaya itu juga mampu mengangkat harkat dan martabat orang Dayak dan sekaligus selamatkan lingkungan.

Hetty mengisahkan, “sejak kebun Sawit masuk, hidup orang Dayak kata almarhum ayah saya seperti bom teroris hanya saja Sawit membunuh secara perlahan, orang Dayak yang hidupnya dari kekayaan keanekaragaman hutan perlahan lahan kehilangan tanah warisan karena iming-iming investor perusahaan sawit. Lalu dengan harga sawit yang dikendalikan oleh para pemilik perusahaan dari luar itu ciptakan kemiskinan dimana mana. Lingkungan rusak dan bahkan air minum harus dibeli. Saya ingin anak anak muda Dayak melihat Engkerebang, pohon lengkar, pohon mangga, dan lain lain sebagai pohon uang, bukan sawit”.

*Penulis adalah Ketua AKSES (Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis)

Populer

Demo di KPK, GMNI: Tangkap dan Adili Keluarga Mulyono

Jumat, 20 September 2024 | 16:22

Mantan Menpora Hayono Isman Teriak Tanah Keluarganya Diserobot

Jumat, 20 September 2024 | 07:04

KPK Ngawur Sebut Tiket Jet Pribadi Kaesang Rp90 Juta

Rabu, 18 September 2024 | 14:21

Kaesang Kucing-kucingan Pulang ke Indonesia Naik Singapore Airlines

Rabu, 18 September 2024 | 16:24

Fufufafa Diduga Hina Nabi Muhammad, Pegiat Medsos: Orang Ini Pikirannya Kosong

Rabu, 18 September 2024 | 14:02

Kaesang Bukan Nebeng Private Jet Gang Ye, Tapi Pinjam

Rabu, 18 September 2024 | 03:13

Makin Ketahuan, Nomor Ponsel Fufufafa Dicantumkan Gibran pada Berkas Pilkada Solo

Senin, 23 September 2024 | 09:10

UPDATE

Mentan Sudah Buat Blue Print Ketahanan Pangan era Prabowo

Sabtu, 28 September 2024 | 16:04

Tim Ekonomi Prabowo Harus Punya Orientasi Kemajuan

Sabtu, 28 September 2024 | 15:44

Rusuh, Diskusi Kebangsaan Din Syamsudin Dkk Diobrak-Abrik Preman

Sabtu, 28 September 2024 | 15:29

Ribuan Calon Buyer dari 107 Negara Bakal Hadiri Trade Expo Indonesia 2024

Sabtu, 28 September 2024 | 14:57

Pengurus IKA Unpad Jakarta Dilantik, Ini Susunannya

Sabtu, 28 September 2024 | 14:39

Indonesia dan China Perkuat Kerja Sama Hilirisasi Industri dan Smelter

Sabtu, 28 September 2024 | 14:23

Trailer Ballerina Dirilis, Siap Ulang Sukses John Wick

Sabtu, 28 September 2024 | 14:00

Arinal Tidak Pakai Atribut PDIP di Rakerdasus DPD Lampung

Sabtu, 28 September 2024 | 13:51

OJK Terapkan Konsep Fair Trade untuk Industri Perbankan yang Adil dan Berkelanjutan

Sabtu, 28 September 2024 | 13:28

PSMTI Janji Kawal Visi Ketahanan Pangan Prabowo-Gibran

Sabtu, 28 September 2024 | 13:23

Selengkapnya