Nilai tukar (kurs) rupiah tercatat anjlok hingga 40 persen selama 10 tahun masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dengan masa kepemimpinan Jokowi yang tersisa sekitar empat bulan lagi, nilai tukar rupiah itu justru terus melemah ke atas Rp16.400 ribu per dolar AS dalam sepekan terakhir.
Nilai tersebut anjlok hingga 41,38 persen dibandingkan periode awal ketika Jokowi menjabat pada 2014 lalu, di mana kurs rupiah masih berada di posisi Rp11.600 per dolar AS.
Padahal, ketika Jokowi berkontestasi di Pilpres 2014, ia mengumbar janji bahwa nilai tukar bakal menguat di kisaran Rp10 ribu per dolar AS di bawah kepemimpinannya.
Selain janji rupiah menguat, Jokowi juga pernah menyampaikan bahwa angka pertumbuhan ekonomi akan bertengger di level 6-7 persen.
Namun, lagi-lagi janji itu tidak berwujud, karena pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mampu di kisaran 5 persen ke atas.
Berdasarkan data yang dikutip dari
Google Finance, pergerakan rupiah pada pukul 18.00 WIB kembali melemah 0,21 persen ke posisi Rp16.452 per dolar AS.
Rupiah terus menunjukkan tren melemah dalam setahun terakhir. Terutama sejak Bank Sentral AS atau The Fed menaikkan suku bunga ke level 5,25-5,50 pada Juli 2023 dan masih menahannya sampai saat ini.
Kebijakan suku bunga sendiri memang menjadi salah satu faktor penting yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar suatu mata uang.
Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual memprediksi bahwa melemahnya mata uang ini terjadi lantaran para investor telah direlokasi ke negara yang valuasinya lebih menarik seperti Jepang, dan negara lainnya.
"Ada sentimen negatif di pasar modal. Investor saham banyak yang realokasi ke pasar saham negara lain yang valuasinya menarik seperti China, India dan Jepang," kata David kepada
Kantor Berita Politik RMOL, pada Sabtu (15/6).
Berdasarkan sentimen tersebut, David memprediksi bahwa rupiah akan bergerak di kisaran Rp16.000-Rp16.500 per dolar AS dalam jangka pendek.