SETELAH dirawat kurang lebih dua puluh hari di RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) Jakarta, Prof. Salim Haji Said akhirnya wafat pada hari Sabtu 18 Mei 2024 yang lalu.
Sejak hari wafatnya, sampai hari ini ruang publik dibanjiri sejumlah pemberitaan, tulisan khusus, testimoni dan riwayat hidup lengkap almarhum. Ditulis oleh teman-teman, sahabat dan pengamat politik, maupun pengamat media yang mengenal dekat almarhum.
Termasuk riwayat pendidikan, masa kecil di kampung, masa muda di bangku kuliah. Termasuk ketika studi di Amerika Serikat dan memperoleh gelar sebagai ilmuwan politik dengan menyandang gelar Profesor.
Namun ada kenangan khusus yang tertoreh dengan tinta emas dalam memori batin tentang almarhum. Khususnya yang terkait dengan posisinya sebagai kritikus film (Indonesia), yang terbilang keras dan blak-blakan pada awal 70an. Apalagi tulisan itu dimuat di media bergengsi:
Majalah Tempo.
Almarhum secara blak-blakan menyebut film nasional sebagai “barang dagangan”. Padahal produksi film Indonesia saat itu baru saja mulai berjuang bangkit kembali di awal 70an itu, di era pemerintahan Orde Baru (Soeharto).
Tentu saja pernyataan almarhum itu mendapat tentangan dan tantangan bahkan kecaman keras pula dari kalangan pembuat film, yang justru sedang bekerja keras membangkitkan kembali perfilman nasional yang terpuruk oleh situasi politik di era Bung Karno.
Pernyataan almarhum memantik kemarahan orang-orang film. Karena mereka merasa justru telah membuat film nasional yang mengusung misi sebagai produk kultural yang Indonesia.
Dedengkot kebangkitan film Indonesia pasca peristiwa G30S/PKI yang marah itu, tercatat seperti Sumardjono, Wahyu Sihombing, Misbach Yusabiran, Syumanjaya, Arifin.C.Noer, Teguh Karya (Steve Liem) untuk menyebut beberapa nama.
Nama-nama besar itu adalah tokoh seniman Orde Baru (film, teater dan sastra) di era awal pemerintahan Soeharto 1965: mereka yang selama ini tertekan sekian lama oleh kiprah seniman beraliran kiri yang dimotori Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang lebih politis ketimbang sebagai narasi seni dan budaya, di era didalam kurun masa pemerintahan Orde Lama Soekarno 1945 – 1965.
Saya mengenal lebih dalam dengan almarhum pada tahun-tahun menjelang terbit
Majalah Tempo, tahun 70an. Hingga kemudian terbitnya
Majalah Tempo, Dimana almarhum salah seorang pendirinya. Pada saat itu, pada awal-awal terbit almarhum banyak berkunjung ke Makassar. Bertemu dengan tokoh-tokoh senior seniman, budayawan di dalam iklim kebebasan berekspresi pada era Orde Baru.
Saya sebagai pendatang baru (yunior, umur saya lebih muda 3 tahun), memang tidak dikenal almarhum sebelumnya. Dia lebih familiar dengan tokoh-tokoh seniman, budayawan dan wartawan senior di Makassar. Sebutlah nama seperti Rahman Arge, Arsal Alhabsi, Husni Djamaluddin dan Ali Walangadi.
Namun dikarenakan kunjungannya ke Makassar sangat sering, maka lama kelamaan saya pun menjadi dekat dengan almarhum.
Ketika, pada awal-awal maraknya pertunjukan seni budaya (sastra, teater, film dan seni rupa serta seni tari) di TIM (Taman Ismail Marzuki), persentuhan dengan Bung Salim, demikian kami para sahabat dekatnya memanggilnya, semakin intens.
Sebagaimana diketahui, TIM itu adalah sebuah kompleks kesenian dan kebudayaan. Sebuah “hadiah” kebudayaan yang dihibahkan oleh Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Ali Sadikin.
Sebuah kebijakan yang berharga dan amat sangat kultural yang dilakukan Ali Sadikin untuk memberi wadah berhimpun dan berkreasi yang representatif untuk kegiatan seni dan budaya di Jakarta. Hal itu dipandang penting Ali Sadikin, mengingat fungsi Jakarta sebagai ibukota negara. Dengan sendirinya perlu suatu wadah representasi kegiatan kebudayaan yang berkualitas tinggi.
Kurang lebih seperti itulah sudut pandang Ali Sadikin, menurut cerita teman-teman seniman dari seluruh Indonesia yang pernah menikmati pementasan karya seni dan budaya yang bergengsi dan lengkap itu. Terutama, karena mudahnya komunikasi antara awak media, baik cetak maupun televisi dengan para seniman, budayawan dari seluruh Indonesia yang bermarkas di TIM, maka dengan mudah pula pertunjukan kesenian tersebut terberitakan ke seluruh Indonesia, bahkan ke luar negeri.
Saya beruntung sempat tinggal menetap selama kurang lebih enam bulan awal 70an di Wisma Seni, di TIM. Wisma Seni adalah suatu kompleks penginapan bagi seniman, budayawan dari seluruh Indonesia yang diundang oleh TIM ke Jakarta untuk menggelar kegiatan seni budaya ciri khas daerah masing-masing.
Waktu itu saya kebetulan sedang mengikuti pendidikan atau Lokakarya Penulisan Skenario Film yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bertempat di TIM. Saya bergabung sebagai delegasi dari Makassar (Sulsel). Meskipun hal itu adalah daya upaya saya pribadi.
Pada momen itulah saya berkenalan banyak tokoh besar seniman sastra, teater, lukis, tari dan film kaliber nasional dan internasional. Dan selanjutnya, saya pun mangkal di TIM. Karena kemudian bertugas sebagai wartawan kebudayaan untuk menonton dan menulis resensi atau kritik pertunjukan teater dan film yang saya saksikan secara (tentunya) gratis.
Saya menulis untuk Harian Angkatan Bersenjata. Di mana saya bekerja salah sebagai salah seorang redaktur kebudayaan. Meskipun Harian Angkatan Bersenjata koran tentara, namun ada rubrik kebudayaan yang terbit sekali seminggu yang menyajikan tulisan terkait dengan masalah seni dan budaya, untuk memberi pesan kepada masyarakat, pemberitaan koran itu tidak mesti melulu dipenuhi berita di sekitar panser dan granat (saya ingat, istilah inipun dilontarkan kepada saya oleh almarhum).
Mengingat posisi saya sebagai wartawan, maka dapat dispensasi bebas menonton semua pertunjukan kesenian yang saya sukai, seperti, pementasan teater, pembacaan puisi dan pertunjukan film di TIM.
Pada masa-masa penugasan itulah saya mengenal dekat sejumlah dedengkot teater, seperti, sebutlah “Si Burung Merak” WS. Rendra pemimpin “Bengkel Teater”, Yogya. Arifin C.Noer pimpinan “Teater Kecil”, Putu Wijaya ponggawa “Teater Mandiri” dan Wahyu Sihombing, alumni ATNI (Akademi Teater Nasional Indonesia) yang mengomandoi grup teater Alumni LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta).
Sebagai kritikus (penulis resensi film dan teater) dengan sendirinya saya banyak bersentuhan dengan tokoh-tokoh perfilman, seperti beberapa nama yang telah saya sebutkan di atas. Dari pergaulan akrab tersebutlah, saya sekaligus mendengar langsung komentar, reaksi dan kecaman keras mereka terhadap Bung Salim, yang dianggap sok tahu dan main kritik hantam kromo seenaknya.
Soalnya, Bung Salim memberi label film Indonesia yang mulai bangkit di di awal Orde Baru itu, sebagai bukan karya seni–budaya, tapi diposisikan sebagai “barang dagangan” semata. Suatu konotasi negatif kepada para produser film Indonesia di awal kebangkitan kembali film nasional, yang memang didominasi pengusaha orang India dan Tionghoa.
Bagi Bung Salim, film Indonesia yang ramai diproduksi waktu itu: unsur kulturalnya nyaris Nol. Lebih didominasi semangat dagang!! Produser itu dituduh almarhum lebih memikirkan bagaimana caranya biaya produksi film yang lumayan besar itu, dapat cepat menghasilkan uang banyak (keuntungan besar). Mayoritas produser itu adalah importir dan pengedar film India dan Mandarin.
Itulah sebabnya, tidak mengherankan kemudian, apabila publik menyaksikan banyak produksi film Indonesia yang tema ceritanya diadopsi mentah-mentah, alias hanya “difotocopy” dari film India dan Mandarin yang menjadi bisnis utama para produser tersebut.
Keakraban saya dengan almarhum membuat saya setiap saat dapat datang ke pemondokannya, di bilangan Matraman Dalam. Sebuah lokasi eks bangunan kantor Koramil (kalau tidak salah ingat) yang sangat sederhana. Hanya terdiri satu kamar tamu merangkap kamar tidur. Berlantai ubin dan dinding batu.
Tempat tinggal itu menurut informasi dan dibenarkan Bung Salim, adalah pemberian tokoh militer yang top pada awal pergerakan Orde Baru, yaitu Letkol Sarwo Edhie.
Sebagai salah seorang tokoh aktivis demonstran Angkatan 66 dari Universitas Indonesia (UI), almarhum sangat dekat dengan Sarwo Edhie. Mertua mantan Presiden SBY ini adalah pembela gerakan mahasiswa Angkatan 66 yang mengalami tindakan penumpasan dan penangkapan dengan kekerasan oleh militer Orde Lama, sisa-sisa pendukung Bung Karno.
Kedekatan almarhum dengan tokoh militer Orde Baru, karena almarhum adalah mantan wartawan surat kabar harian “Pelopor Baru” dan surat kabar harian “Angkatan Bersenjata”. Kedua surat kabar diterbitkan pemerintah Orde Baru yang mayoritas tokoh-tokohnya adalah perwira tinggi pendukung Jenderal Soeharto.
Mereka juga mendirikan kantor berita militer yang bernama “PAB” (Pusat Pemberitaan Angkatan Bersenjata). Lembaga kantor berita “PAB” didirikan untuk menangkal dan mengcounter pemberitaan miring sejumlah media yang waktu itu kebanyakan dikuasai oleh wartawan beraliran kiri yang memanfaatkan kebesaran nama Bung Karno. Pada saat-saat mana Bung Karno sedang menggodok wadah penyatuan berbagai aliran berbeda dengan membentuk poros Nasakom (Nasional, Agama dan Komunis).
Sebagai wartawan media militer, Bung Salim mendapat akses dengan petinggi militer yang bergerak di media. Khususnya dengan Kolonel TNI AD, R.H. Sugandhi atau lebih akrab dengan panggilan “Pak Gandi”. Rumahnya terletak di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.
Belakangan, di awal tahun 70an saya pun merapat di rumah Pak Gandi. Selain karena saya wartawan Harian Angkatan Bersenjata, saya juga menjadi pengurus salah satu ormas (organisasi kemasyarakatan), yang menjadi wadah generasi muda. Berinduk pada Ormas MKGR (Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong). Ketua Umumnya adalah Bapak R.H. Sugandhi.
Ormas MKGR adalah salah satu dari Ormas “Tri Karya”. Yang dua lainnya adalah Ormas Kosgoro (Koperasi Gotong Royong) dipimpin oleh Kolonel Mas Isman, serta Ormas SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Seluruh Indonesia), dipimpin oleh Kolonel Suhardiman. Ketiga Ormas itu sengaja dibentuk oleh pemerintah Orde Baru Soeharto untuk menangkal dan memotong kegiatan ormas bentukan pemerintah Orde Lama yang berbau kiri di tataran akar rumput. Untuk membersihkan pengaruh sisa-sisa komunis.
Bung Salim tinggal sendirian di rumahnya itu (pondokan). Di bagian depan, ruangan tamu merangkap ruangan tidurnya. Berukuran kurang lebih 3 x 4 meter. Di sana tergelar kasur di atas ubin (tidak ada bangku tempat tidur). Di kiri kanan nampak ratusan buku almarhum yang terawat dengan baik.
Setiap kali almarhum, mau berangkat sekolah ke AS, dia sering ke rumah saya. Waktu itu saya ngontrak di daerah Tomang di depan Supermarket Hero pada 1974-1980. Suatu ketika almarhum datang naik mobil dinas dari
Majalah Tempo, yaitu Honda Life mini 2 pintu. Warna merah tua maroon. Dia menyetir sendiri. Almarhum baru saja pintar nyetir mobil. Dia mendapat jatah kendaraan operasional tanpa sopir dari kantor.
Yang terkesan sekali diingatan saya, ialah ketika pada suatu hari, almarhum datang ke rumah saya. Waktu itu tiba-tiba saja ada sedikit kehebohan. Rupanya, sebelum masuk menemui saya dalam rumah, almarhum menyuruh pembantu saya, perempuan muda bernama Inem. Umur belasan tahun. Baru datang dari Jawa. Rupanya Si Inem disuruh almarhum ke warung membelikan rokok merk “Benson & Hedges” yang bungkusnya bahan karton berwarna kuning keemasan. Mewah sekali. Rokok kegemarannya.
Tapi pembantu saya itu rupanya salah dengar. Ketika sang pembantu cukup lama belum pulang kembali ke rumah, almarhum menunggunya depan rumah sambil berdiri depan pagar. Tidak lama kemudian, almarhum keheranan melihat pembantu itu kembali dengan menumpang becak, dan membawa jerigen berisi bensin lima liter. Kami semua berpandangan keheranan atas kedatangan pembantu tersebut dengan bawaannya yang “aneh”.
Waahh..... Rupanya pembantu itu salah dengar. Dia menyangka disuruh beli bensin. Sebagai orang baru dari kampung, dia tidak mengerti kalau ada merk rokok bernama “Benson & Hedges”. Paling banter yang sering didengar dari percakapan di kampung mungkin cuma rokok Kansas atau kretek Gudang Garam.
Sisi lain Bung Salim yang saya catat, dia termasuk tokoh humanis alias tidak menyenangi kekerasaan, meski dia berdarah Bugis. Suatu ketika, masih dalam kurun waktu usia 20an, saya ada sedikit masalah salah faham dengan seseorang di kalangan perfilman, yang berakhir dengan pemukulan oleh saya. Maklum baru beberapa tahun di Jakarta, dari Makassar.
Bung Salim yang mendengar kasus itu memberi nasehat kepada saya, “kita merantau jauh-jauh dari kampung halaman karena mau menambah teman, bukannya harus mencetak musuh”.
Kesan saya kemudian, almarhum menghadapi semua reaksi atas semua kritik kerasnya tidak dihadapi dengan kontra kekerasan. Tetapi dengan narasi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, karena diolah dari hasil penelitiannya. Menurut saya, itulah akar kekuatan almarhum, berselancar dengan narasi objektif menghadapi reaksi atau serangan balik dari berbagai kalangan yang tentunya sangat subjektif dan berbasis emosional.
Innalillahi Wainna Ilaihi Rajiun. Almarhum telah dipanggil oleh Sang Pencipta. Mari kita doakan, semoga almarhum mendapatkan tempat yang lapang dan layak di sisi Allah Swt. Amin Yra.
Wassalam...