Berita

Ketua Kadin Sumut, Firsal Ferial Mutyara/RMOL

Politik

Kadin Sumut: Persoalan Stunting Berkorelasi Dengan Akses Kecukupan Pangan

SELASA, 21 MEI 2024 | 21:19 WIB | LAPORAN: JONRIS PURBA

Ketua Kadin Sumut Firsal Dida Mutyara menegaskan dunia usaha komit untuk berperan aktif menanggulangi stunting yang menjadi program pemerintah pusat dan pemerintah provinsi Sumatera Utara.

Hal itu disampaikannya saat berbicara kepada media di kantornya, kemarin, menanggapi berbagai upaya yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Menurut dia, beberapa waktu lalu Kadin Sumut juga sudah meneken komitmen keikutsertaan dalam pengentasan stunting di Sumatera Utara saat Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang Provsu).

Firsal Dida Mutyara mengatakan hal itu sebagai bentuk penguatan dan kontribusi membangun Sumatera Utara. 
“Karena kalau lihat data berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) prevalensi stunting nasional pada tahun 2022 sebesar 21,6 persen. Untuk mencapai target 14 persen, maka pemerintah menargetkan untuk dapat menurunkan prevalensi stunting 3,8 persen per tahunnya sampai tahun 2024.” katanya dilansir Kantor Berita Politik RMOLSumut

Menurut Firsal, persoalan stunting ini harus ada korelasi antara kesiapan kebutuhan pangan dengan upaya mengatasi gizi buruk. “Kenapa stunting itu bisa terjadi. Banyak penyebabnya. Apakah karena produk yang kita konsumsi memang sudah kurang gizi dan tidak berkualitas seperti beras, daging dan komoditas lain.”

“Dari hulu harus kita pelajari. Atau apakah stunting karena distribusi sumber pangan yang sulit didapat. Karena tidak semua masyarakat yang di pelosok yang kurang gizi. Yang di perkotaan juga banyak. Jangan-jangan karena harga pangan lebih mahal sehingga mereka tak mampu beli beras atau tak punya biaya yang layak untuk makan,” jelasnya.

“Prinsipnya mengatasi stunting ini harus memperhatikan kebutuhan bahan pokok yang terjamin, distribusinya bagus dan harga tidak mahal. Kalau harga pangan mahal orang tak sanggup beli. Harusnya dia makan nasi tiga kali akhirnya cuma makan sekali, yang dua lagi bisa saja tak makan atau diganti yang lain. Banyak masalah di distribusi sehingga harga pangan naik,” tuturnya.

Firsal juga menyoroti harusnya juga ada kajian pola konsumsi rumah tangga dalam pemanfaatan gaji/upah yang diterima. Dari gaji yang Rp3 juta misalnya berapa persen diserap untuk belanja pangan. Sehingga pola penentuan subsidi untuk pangan pun bisa dilakukan pemerintah. Jangan tuntutannya naik gaji terus, karena harus dilihat struktur pemanfaatan gaji digunakan untuk pangan berapa banyak, kata dia.

“Coba kita lihat Singapura misalnya sepanjang 20 tahun inflasi mereka tak pernah tinggi kecuali covid. Artinya harga pangan pasti terjangkau. Ini kita di Sumut harga pangan dan obat sangat tinggi. Maka kemarin ketika bertemu dengan Konjen Malaysia wajar kalau dia bilang harga obat di sini lebih mahal 10 kali lipat dari negaranya,” jelasnya.

“Kita harus faham kalaupun ada subsidi sebenarnya sering tak menyasar warga yang kekurangan pangan. Kalangan atas malah yang memanfaatkan subsidi ini. Coba kalau kita impor beras, impor daging, impor kebutuhan  lain apakah importir tak dapt untung atau paling tidak selevel distributor dapat untung dari komoditas yang diimpor itu,” kata Firsal Dida Mutyara.

“Kita harus heran kenapa harga beras dari Vietnam misalnya lebih murah. Kalau pun harga di sana Rp4.000 sampai Rp5.000 per kg ternyata setelah ke sini dijual Rp15.000 per kg. Padahal petani kita dikasi subsidi bibit dan pupuk. Kok harga kita lebih mahal,” tuturnya.

Dengan pola subsidi yang diberikan harga beras petani lokal harusnya lebih murah dari beras impor, sambungnya. “Ini kemudian yang terjadi malah sebaliknya. Belum lagi beras bulog yang berganti karung kemudian harga menjadi lebih tidak terjangkau. Jadi ada banyak masalah soal pemenuhan pangan yang berhubungan dengan stunting,” ungkapnya.

Jadi persoalan stunting ini, menurut Firsal Mutyara, terkait banyak dengan kebutuhan pangan. Ketidakmampuan membeli bahan pangan itu bisa karena biaya-biaya lain yang sangat tinggi atau memang standar penghasilannya tidak mencukupi, kata dia. “Jika itu yang terjadi tentu pemerintah harus mengambil peran di dalamnya. Tidak mungkin lalu tuntutannya menaikkan gaji setinggi-tingginya. Karena ukuran gaji itu juga menghitung komponen produktivitas buruh dalam bekerja,” pungkasnnya.

Populer

Bey Machmudin akan Serius Tangani Judi Online di Jabar yang Tembus Rp3,8 T

Rabu, 26 Juni 2024 | 18:20

Bey Machmudin Ingatkan Warga Jangan Coba-coba Mengakali PPDB

Selasa, 25 Juni 2024 | 03:45

Menwa Siap Kerahkan 5 Ribu Personel ke Gaza Bersama TNI

Rabu, 26 Juni 2024 | 01:19

Wacana Bey Machmudin Rombak Komisaris BUMD Didukung Dewan

Minggu, 30 Juni 2024 | 13:24

DPR Khawatir Investasi TikTok Permudah Produk China Masuk RI

Kamis, 27 Juni 2024 | 00:03

Pemilu Iran di Jakarta

Jumat, 28 Juni 2024 | 14:24

Rapat Pimpinan MPR RI dengan Presiden Jokowi

Jumat, 28 Juni 2024 | 16:37

UPDATE

Di Mata Prabowo, Ridwan Kamil Lebih Pas di Pilkada Jakarta

Kamis, 04 Juli 2024 | 10:06

Berantas Judi Online dengan Optimalisasi Pemanfaatan Zakat

Kamis, 04 Juli 2024 | 10:00

Selangkah Lagi Indonesia Juara Umum AUG 2024

Kamis, 04 Juli 2024 | 09:57

Minibus Terbakar usai Diseruduk Truk Tronton, 3 Penumpang Selamat

Kamis, 04 Juli 2024 | 09:46

Kemenperin Bakal Susun Regulasi terkait Dekarbonisasi Industri Semen

Kamis, 04 Juli 2024 | 09:44

Harga Emas Meroket Rp13 Ribu, Satu Gram Jadi Segini

Kamis, 04 Juli 2024 | 09:38

Lindas Vietnam 5-0, Nana Sudjana Apresiasi Talenta Pemain Muda

Kamis, 04 Juli 2024 | 09:34

Gara-gara Tak Dibelikan Rokok, Anak Ancam Bunuh Orang Tuanya

Kamis, 04 Juli 2024 | 09:33

Ekonomi Sirkular Indonesia Masih Jauh Tertinggal

Kamis, 04 Juli 2024 | 09:23

PT Pertamina Internasional EP Ekspansi ke Timur Tengah

Kamis, 04 Juli 2024 | 09:23

Selengkapnya