Berita

Kolase Prof Henri Subiakto serta pertemuan Elon Musk dan Luhut Binsar Pandjaitan/Repro

Politik

PROF HENRI SUBIAKTO

Starlink Berbahaya bagi Indonesia

SELASA, 21 MEI 2024 | 20:16 WIB | LAPORAN: DIKI TRIANTO

Menarik alasan Prof Henri Subiakto tidak setuju Starlink diizinkan beroperasi di Indonesia. Starlink berpotensi membangkrutkan perusahaan nasional di bidang telekomunikasi dan penyedia layanan internet seperti group Telkom dan Indosat.

"Starlink juga bisa dimanfaatkan kekuatan separatis seperti KKB/OPM dan lain-lain untuk komunikasi mereka tanpa terdeteksi negara atau pemerintah Indonesia. Starlink berpotensi akan mengoyak NKRI," kata Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga itu dalam tulisan berjudul Starlink Berbahaya Bagi Indonesia.
 
Tulisan Prof Henry mengulas tentang beroperasinya Starlink di Indonesia cukup panjang. Ia membagikan tulisannya di akun X miliknya, Senin (20/5). Redaksi sudah menghubungi Prof Henri dan diizinkan untuk mengutipnya.


Starlink adalah layanan internet berbasis satelit milik Elon Musk. Resmi beroperasi di Indonesia setelah diluncurkan Elon Musk bersama beberapa menteri di salah satu Puskesmas di Denpasar, Bali, Minggu (19/5).

Prof Henri mengungkap Starlink lebih banyak digunakan oleh negara-negara satelit atau pendukung Amerika Serikat. Satelit Starlink memiliki perbedaan signifikan dibandingkan satelit biasa seperti Palapa, Satria, Kacific, Telkom 1, dan satelit-satelit lain milik Eropa maupun AS di luar Starlink.

Starlink menggunakan satelit low earth orbit yang beroperasi dengan ketinggian sekitar 340 hingga 1.200 km di atas permukaan bumi. Starlink berukuran kecil yang jumlahnya ribuan dan dirancang bekerja bersama secara sinkron menyediakan layanan internet. Mereka seperti BTS terbang.

Adapun satelit komunikasi konvensional ditempatkan di orbit geostasioner (GEO) sekitar 35.786 km di atas khatulistiwa bumi, berada di satu titik relatif tetap dari permukaan bumi, untuk bisa melayani publik butuh perangkat stasiun bumi.

"Setiap satelit Starlink beratnya sekitar 260 kg. Satelit GEO lebih besar dan mahal karena teknologi dan perlengkapan lebih kompleks, dengan kebutuhan bertahan di orbit yang lebih tinggi," beber pria kelahiran Yogyakarta, 29 Maret 1962, yang 15 tahun menjadi staf ahli Menteri Komunikasi dan Informatika itu.

Ia menambahkan, Starlink menggunakan teknologi phased-array untuk antena yang memungkinkan satelit mengarahkan sinyal tanpa harus memindahkan satelitnya.

Sistem dirancang untuk latency rendah dan kecepatan tinggi. Alat penangkap sinyal satelit hanya menggunakan antena kecil dan alat seukuran laptop besar yang bisa dipindah-pindahkan. Beda dengan satelit GEO yang harus menggunakan antena besar yang tetap untuk komunikasi berkapasitas tinggi.

Karena itu satelit konvensional butuh mitra untuk mendistribusikan layanannya ke masyarakat.

"Itulah perusahaan operator seluler dan ISP yang menjadi mitranya," katanya lagi.

Beda dengan Starlink yang mulai dikembangkan sejak 2015 oleh SpaceX, perusahaan ternama yang didirikan Elon Musk. Mereka tidak butuh mitra dan bisa melayani langsung ke publik tanpa pihak ketiga.

Karenanya, menurut Prof Henri, masuknya Starlink bisa jadi awal kematian perusahaan-perusahaan nasional di bidang internet, seluler, dan juga satelit.

Menurut Prof Henri, Starlink bukan sekadar perusahaan perangkat dan layanan satelit semata, tapi juga berfungsi sebagai perusahaan internet service provider. Bahkan bisa berfungsi sebagai platform digital mengingat Elon Musk juga memiliki perusahaan X (dulu Twitter) yang sekarang tak sekadar medsos, tapi mengarah jadi platform media komunikasi.

"Ini bahayanya. Perusahaan Starlink trafik dan kontennya di luar jangkauan yurisdiksi, kedaulatan digital dan kewenangan hukum nasional, selain bisa dimanfaatkan untuk melawan kedaulatan negara dan mengancam keamanan nasional," sambungnya lagi.

Perusahaan Starlink sebagai perusahaan AS dilindungi US Cloud Act 2018. Data yang mereka kumpulkan tidak boleh diakses negara lain termasuk Indonesia, tetapi harus terbuka pada pemerintah dan penegak hukum Paman Sam.

Jika Starlink melayani Papua atau daerah konflik lain, datanya bisa diakses intelijen dan pemerintah AS untuk kepentingan politiknya. Sebaliknya data-data itu tidak bisa diakses pemerintah Indonesia.

"Di situlah kenapa Starlink berbahaya bagi NKRI, saat melayani wilayah gunung-gunung dan pedalaman Papua. Persoalannya, apakah Starlink bersedia patuh hukum di Indonesia atau hukum AS?" tanya Prof Henri.

Apa yang terjadi di Ukraina menjadi contoh. Starlink digunakan tentara Ukraina melawan Rusia. Rusia kewalahan karena pergerakan pasukannya bisa terpantau tentara Ukraina.

"Lalu apa jadinya kalau OPM/KKB juga pakai fasilitas Starlink? Terlebih kalau gerakan itu didukung asing, siapa yang tanggung jawab jika menjadi makin besar, canggih, dan mampu melawan TNI/Polri atau kekuatan negara," papar Prof Henri.

Internet murah dan bisa menjangkau pelosok tentu harus didukung. Tapi harus dipikirkan konsekuensinya.

"Agak mending kalau Elon bersedia setuju dan komit tunduk pada UU Indonesia. Lalu wilayah layanan tidak mencakup wilayah rawan seperti Papua? Apakah Elon Musk mau? Silakan ditanyakan pada mereka," tukas Prof Henry.

Populer

Masih Sibuk di Jogja, Pimpinan KPK Belum Tahu OTT di Lampung Tengah

Selasa, 09 Desember 2025 | 14:21

Pura Jadi Latar Film Porno, Hey Bali: Respons Aparat Dingin

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:58

Kebun Sawit Milik POSCO Lebih dari Dua Kali Luas Singapura

Senin, 08 Desember 2025 | 19:12

Mahfud MD soal Bencana Sumatera: Menyuruh Pejabat Mundur Tidak Relevan

Rabu, 10 Desember 2025 | 05:53

Bahlil Minta Maaf Usai Prank Presiden Prabowo

Selasa, 09 Desember 2025 | 18:00

Ini Susunan Lengkap Direksi dan Komisaris bank bjb

Selasa, 09 Desember 2025 | 17:12

Pidato Prabowo buat Roy Suryo: Jangan Lihat ke Belakang

Senin, 08 Desember 2025 | 12:15

UPDATE

BNN-BNPP Awasi Ketat Jalur Tikus Narkoba di Perbatasan

Jumat, 19 Desember 2025 | 00:09

Perkuat Keharmonisan di Jakarta Lewat Pesona Bhinneka Tunggal Ika

Jumat, 19 Desember 2025 | 00:01

Ahmad Doli Kurnia Ditunjuk Jadi Plt Ketua Golkar Sumut

Kamis, 18 Desember 2025 | 23:47

Ibas: Anak Muda Jangan Gengsi Jadi Petani

Kamis, 18 Desember 2025 | 23:26

Apel Besar Nelayan Cetak Rekor MURI

Kamis, 18 Desember 2025 | 23:19

KPK Akui OTT di Kalsel, Enam Orang Dicokok

Kamis, 18 Desember 2025 | 23:12

Pemerintah Didorong Akhiri Politik Upah Murah

Kamis, 18 Desember 2025 | 23:00

OTT Jaksa oleh KPK, Kejagung: Masih Koordinasi

Kamis, 18 Desember 2025 | 22:53

Tak Puas Gelar Perkara Khusus, Polisi Tantang Roy Suryo Cs Tempuh Praperadilan

Kamis, 18 Desember 2025 | 22:24

Menkeu Purbaya Bantah Bantuan Bencana Luar Negeri Dikenakan Pajak

Kamis, 18 Desember 2025 | 22:24

Selengkapnya