Berita

Presiden terpilih 2024, Prabowo Subianto/Net

Publika

Prabowo Subianto dan Diktatorship Kerakyatan

JUMAT, 10 MEI 2024 | 21:21 WIB | OLEH: DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN

SPONTAN rakyat Indonesia kaget dengan pernyataan politik terbaru Prabowo Subianto: "Bersama saya atau diam menonton!". Hal itu dinyatakan Prabowo kemarin pada pidatonya dalam Rakornas Pilkada PAN tentang kepemimpinan dia ke depan.

Harian Jakarta Globe menurunkan berita dalam bahasa Inggris, "Either You Are With Us, Or Watch Us Working". Ini beda-beda tipis dengan "Either You Are With Us, or My Enemy!".

Dalam pesan itu, antara "bersama saya atau diam", tidak ada lagi kata oposisi di antaranya. Padahal dalam demokrasi, sebagaimana SBY ketika awal presiden dulu, mendukung munculnya "civil society", sebuah kekuatan kelas menengah yang di luar sistem kekuasaan.

Bersamaan dengan pernyataan ini, beberapa hari belakangan, Prabowo berencana membentuk kabinet 40-50 menteri, untuk menyerap semua kekuatan sosial yang eksis dalam kepemimpinannya.

Ditambah pula Prabowo ingin seperti Sukarno, sebagai pemimpin milik semua golongan, bukan hanya klaim satu partai saja. Semua fenomena di atas menunjukkan bahwa akhirnya Prabowo menunjukkan dirinya seorang diktator.

Kediktatoran adalah sebuah konsep kepemimpinan yang tidak menyisakan suara oposisi terhadap dirinya. Sukarno misalnya atas nama cita-cita revolusi yang belum selesai mengembangkan sistem diktatorship dengan kosa kata "demokrasi terpimpin".

Suharto begitu pula, atas nama stabilitas dan pembangunan, mengembangkan diktatorship dengan kosa kata Bapak Pembangunan (Politik No, Pembangunan Yes!).

Keduanya berhasil mengkonsolidasikan kepemimpinan dalam sebuah rencana kerja pembangunan. Berbeda dengan SBY, di mana demokrasi diletakkan sebagai fundamental dalam mengorganisasikan rencana pembangunannya. Bahkan, di era SBY, terjadi "heavy parlement", di mana kekuasaan DPR mendominasi kontrol.

Kediktatoran biasanya bertumpu pada leadership seorang leader. Sebaliknya, totalitarian adalah konsep anti demokrasi yang bertumpu pada rezim, seperti era Jokowi.

Jokowi yang lemah, khususnya di awal kepresidenan, membangun rezim bersama parpol pendukung dan tokoh-tokoh "garis keras" di dalam kekuasaannya membangun oligarki politik. Oligarki ini menguasai semua institusi, baik DPR, intelijen, kepolisian, militer, institusi hukum dalam sebuah pengkooptasian negara.

Meskipun sama-sama anti demokrasi, bedanya dengan diktatorship, sistem diktatorship berimpit dengan karakter sang presiden itu sendiri. Jika presidennya berjuang untuk rakyat, maka sebuah bangsa yang dipimpin dapat menjadi bangsa maju dan besar, misalnya di Turki.

Era Suharto sendiri, yang berkembang dalam sistem diktatorship, berhasil membangun Indonesia keluar dari krisis politik dan ekonomi era sebelumnya. Meskipun, kesenjangan sosial dan demokrasi merupakan barang langka di era Suharto.

Prabowo Diktator Kerakyatan

Pidato politik Prabowo selanjutnya, di PAN kemarin, yang penting adalah dia akan membuat seluruh rakyat bebas dari kemiskinan dan kelaparan dalam 3-4 tahun. Menurutnya, dengan kepemimpinan yang kuat dia akan mengendalikan semua kekayaan alam dan isinya untuk menyejahterakan rakyat.

Ini artinya sebuah politik kerakyatan. Sebuah pekerjaan kembali pada Pancasila dan pasal 33 UUD 1945, di mana seluruh bentuk perekonomian bersifat usaha bersama untuk kemakmuran bersama.

Orientasi politik kerakyatan Prabowo mensejahterakan rakyat membuat Prabowo seperti Erdogan di Turki dan Anwar Ibrahim di Malaysia. Seorang Diktator kerakyatan.

Filsuf agung Plato, dalam pikirannya tentang pemerintahan juga kurang percaya pada demokrasi. Menurutnya kepemimpinan harus bersandar pada individu yang kuat, yang baik hati. Meskipun Plato merujuk pada istilah filosof yang agung. Filosof agung adalah sosok cerdas, kuat dan yang cinta rakyat.

Kematian Demokrasi

Setelah 26 tahun pasca Suharto, kita melihat demokrasi babak belur di Indonesia. Menurut berbagai kalangan yang terafiliasi dengan Prabowo, seperti Babe Haikal Hasan dan Dr Margarito Kamis, dalam sebuah acara di INews TV, beberapa waktu lalu, secara terbuka mengatakan Prabowo akan kembali ke UUD 45 asli, di mana model demokrasi liberal yang sedang berlangsung saat ini (pasca amandemen UUD '45) tidak bermoral.

Model kepemimpinan ala UUD 45 asli memang menghasilkan kepemimpinan yang kuat dan pembangunan akan terarah. Persoalannya apakah bangsa kita ingin kembali lagi ke era Sukarno dan Suharto?

Pernyataan Prabowo tentang "ikut saya atau nonton di pinggiran" kemarin merupakan penegasan bahwa oposisi dan demokrasi akan ditinggalkan.

Namun, tantangan terbesar adalah 1) kesadaran politik kelas menengah kita, baik kalangan kampus maupun profesional, telah terbiasa dengan dialog, bukan monolog. 2) Pilkada serentak bulan November dapat mendelegitimasi konsolidasi Prabowo, jika di provinsi-provinsi besar, kandidat gubernur dukungan Prabowo kalah. 3) Jika parpol ideologis seperti PDIP dan PKS secara terbuka menolak kembali pada model kepemimpinan tanpa demokrasi.

Situasi ini masih akan kita lihat beberapa bulan ke depan. Belum lagi penggembosan "kebaikan hati" atau istilah Rocky Gerung "Ketulusan Hati" Prabowo itu dilakukan oleh gerombolan "toxic", yang ada di kelompoknya kini. Apa yang akan terjadi? Pastinya rakyat akan membenci Prabowo jika janji kesejahteraan cuma tinggal janji.

Penutup

Sebagaimana tesis saya di Bravos Radio Channel YouTube bahwa Prabowo adalah diktator yang baik hati, mulai terlihat. Kemarin kediktatoran itu mulai berkumandang dengan pidato di PAN bahwa Prabowo ingin tidak ada oposisi: ikut saya atau kalian cuma penonton.

Namun, dalam pidato itu prabowo menambahkan bahwa dirinya ingin konsolidasi total selama 3-4 tahun menghapuskan kemiskinan di Indonesia.

Persoalannya apakah kita siap menghadapi kediktatoran meskipun tujuannya kesejahteraan rakyat? Apalagi sudah 26 tahun kita terbiasa dengan iklim demokrasi, meskipun sebagiannya demokrasi semu.

Waktu akan terus berjalan. Tinggal rakyat memilih nantinya.

Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle

Populer

Permainan Jokowi Terbaca Prabowo dan Megawati

Selasa, 25 Februari 2025 | 18:01

Fenomena Seragam Militer di Ormas

Minggu, 16 Februari 2025 | 04:50

Mengapa KPK Keukeuh Tidak Mau Usut Dugaan Korupsi Keluarga Jokowi?

Selasa, 25 Februari 2025 | 08:02

PT Lumbung Kencana Sakti Diduga Tunggangi Demo Warga Kapuk Muara

Selasa, 18 Februari 2025 | 03:39

Pengiriman 13 Tabung Raksasa dari Semarang ke Banjarnegara Bikin Heboh Pengendara

Senin, 17 Februari 2025 | 06:32

Dugaan Tunggangi Aksi Warga Kapuk Muara, Mabes Polri Diminta Periksa PT Lumbung Kencana Sakti

Selasa, 18 Februari 2025 | 17:59

Wali Kota Bandar Lampung Eva Dwiana Tak Patuhi Instruksi Megawati

Sabtu, 22 Februari 2025 | 03:26

UPDATE

Rano Karno akan Batasi Operasional Tempat Hiburan Malam

Kamis, 27 Februari 2025 | 05:34

Stok Pangan Aman selama Ramadan

Kamis, 27 Februari 2025 | 05:19

Jangan Bersedekah Ramadan ke Pengemis Jalanan

Kamis, 27 Februari 2025 | 04:29

Sarapan Bergizi Seimbang di Jakarta akan Ciptakan SDM Unggul

Kamis, 27 Februari 2025 | 04:04

Driver Taksi Online Cabuli Penumpang Pelajar

Kamis, 27 Februari 2025 | 03:45

Segera Dibuka 500 Ribu Lowongan PPSU hingga Pemadam Kebakaran

Kamis, 27 Februari 2025 | 03:20

Andika Wisnuadji Resmi Ngantor di DPRD DKI

Kamis, 27 Februari 2025 | 03:01

Riza Chalid dan Keluarga Tidak Berhak Peroleh Imunitas

Kamis, 27 Februari 2025 | 02:30

Indonesia CollaborAction Forum Ikhtiar Yakesma Bantu Masalah Bangsa

Kamis, 27 Februari 2025 | 02:12

Penyidik Balikin Sertifikat Tanah Usai Dilaporkan ke Propam

Kamis, 27 Februari 2025 | 02:00

Selengkapnya