Dua Pegawai Negeri Yang Dipekerjakan (PNYD) asal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dijatuhi sanksi etik berat oleh Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait pungutan liar di Rutan Cabang KPK.
Hal itu merupakan putusan yang telah dibacakan Majelis Sidang Etik Dewas terhadap 2 terperiksa PNYD asal Kemenkumham, yakni Ristanta selaku mantan Plt Kepala Rutan (Karutan) KPK, dan Achmad Fauzi selaku Karutan KPK nonaktif.
Ketua Majelis Etik Dewas, Tumpak Hatorangan Panggabean mengatakan, Ristanta dan Achmad Fauzi terbukti menyalahgunakan jabatan dan/atau kewenangannya.
"Menjatuhkan sanksi berat kepada terperiksa berupa permintaan maaf secara terbuka langsung," kata Tumpak dalam sidang putusan di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jalan HR Rasuna Said Kav C1, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (27/3).
Selain itu, lanjut Tumpak, Majelis Etik Dewas juga merekomendasikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) untuk melakukan pemeriksaan guna penjatuhan hukuman disiplin kepada terperiksa sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sementara itu, Anggota Majelis Etik Dewas, Albertina Ho mengatakan, Ristanta hanya mengakui menerima uang pungli Rutan sebesar Rp30 juta.
"Kemudian untuk Ristanta, yang diakui hanya Rp30 juta. Padahal yang lainnya mengatakan lebih sebenarnya dari Rp30 juta," tutur Albertina.
Berdasarkan fakta persidangan, terdapat penerimaan uang oleh Ristanta dari beberapa saksi. Yakni dari saksi Hengki secara tunai, di antaranya dimasukkan ke dalam kantong jok mobil atau ke dalam tas terperiksa dengan nilai sekitar Rp10 juta per bulan untuk 3 Rutan. Lalu melalui transfer pada 5 Oktober 2020 sebesar Rp5 juta, pada 29 Desember 2020 sebesar Rp2 juta, pada 8 Februari 2021 sebesar Rp1 juta, pada 4 Januari 2022 sebesar Rp5 juta, dan pada 10 Januari 2022 sebesar Rp2 juta.
Selanjutnya dari saksi Ramadhan Ubaidillah secara tunai yang dilakukan secara langsung. Sekitar Rp6 juta sebanyak 1 kali yang dimasukkan ke dalam kantong jok mobil terperiksa, dan sekitar Rp10 juta sebanyak 10 kali melalui saksi Hengki yang dimasukkan ke dalam amplop tersendiri.
Setelah terperiksa Ristanta tidak lagi menjabat sebagai Plt Karutan KPK, uang bulanan untuk terperiksa turun menjadi sekitar Rp4-5 juta setiap bulannya.
"Kemudian untuk Achmad Fauzi, itu memang Dewas belum menemukan aliran uang yang langsung melalui rekening, itu tidak ada. Dan dari 'lurah-lurah' ini pun mengatakan bahwa belum menyerahkan langsung kepada Karutan ini belum. Apakah Karutan ini menerima langsung dari tahanan? Tidak tahu," terang Albertina.
Namun demikian, kata Albertina, Achmad Fauzi sejak awal bertugas di KPK pernah melakukan pertemuan dengan para "lurah", yakni pegawai Rutan KPK yang bertugas menerima uang yang dikumpulkan oleh para tahanan KPK melalui "korting" yang merupakan koordinator tempat tinggal.
Bahkan dalam pertemuan itu, Achmad Fauzi mengetahui adanya pungli yang terjadi di Rutan KPK. Namun, Achmad Fauzi membiarkan pungli tetap berjalan.
"Lalu pada waktu itu juga ditanyakan kepada yang bersangkutan apakah ini diteruskan, lalu yang bersangkutan menjawab 'ya saya juga memahami keadaan teman-teman, tidak mau mematikan rezeki, ya yang penting hati-hati lah', kira-kira begitu dalam pembicaraan mereka pada waktu pertemuan itu," ungkap Albertina.
Pada saat itu juga, Achmad Fauzi ditanya mengenai jumlah nominal yang diinginkan. Akan tetapi, Fauzi merasa belum memerlukan pada saat itu.
"Tapi yang menjadi catatan penting di sini adalah bahwa Karutan ini tahu ada pungli itu. Sehingga di situ majelis mempertimbangkan bahwa sebagai Karutan, Achmad Fauzi melakukan pembiaran. Kewenangannya seharusnya kan menegakkan peraturan itu, malah membiarkan melakukan pungutan dan sebagainya, di situ lah yang bersangkutan disalahkan secara etik," pungkas Albertina.
Ristanta dan Achmad Fauzi sendiri juga telah ditetapkan dan ditahan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi berupa pemerasan atau pungli oleh KPK bersama 13 tersangka lainnya pada Jumat (15/3).
Para tersangka dimaksud, yakni Achmad Fauzi (AF) selaku Kepala Rutan cabang KPK, Hengki (HK), Deden Rochendi (DR) selaku Plt Kepala cabang Rutan KPK periode 2018, Sopian Hadi (SH), Ristanta (RT) selaku Plt Kepala Cabang Rutan KPK periode 2021.
Selanjutnya, Ari Rahman Hakim (ARH), Agung Nugroho (AN), Eri Angga Permana (EAP), Muhammad Ridwan (MR), Suharlan (SH), Ramadhan Ubaidillah A (RUA), Mahdi Aris (MHA), Wardoyo (WD), Muhammad Abduh (MA), dan Ricky Rachmawanto (RR).
Para tersangka menawarkan fasilitas eksklusif kepada para tahanan KPK. Besaran uang untuk mendapatkan fasilitas eksklusif tersebut, para tahanan dipatok untuk membayar Rp300 ribu sampai dengan Rp20 juta yang disetorkan secara tunai maupun melalui rekening bank penampung dan dikendalikan oleh "lurah" dan koordinator tempat tinggal (korting).
Mengenai pembagian besaran uang yang diterima para tersangka juga bervariasi sesuai dengan posisi dan tugasnya yang dibagikan per bulan, mulai dari Rp500 ribu sampai dengan Rp10 juta.
Di mana, Achmad Fauzi dan Ristanta masing-masing mendapatkan uang sebesar Rp10 juta. Selanjutnya untuk Hengki, Eri, Deden, Sopian, Ari, dan Agung masing-masing mendapatkan Rp3-10 juta.
Sedangkan komandan regu dan anggota petugas Rutan masing-masing mendapatkan sejumlah sekitar Rp500 ribu sampai dengan Rp1 juta. Sejak 2019-2023, besaran jumlah uang yang diterima para tersangka mencapai Rp6,3 miliar.