Eksperimen politik yang dilancarkan Kepala Staf Kepresiden (KSP) Moeldoko untuk mengkudeta Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari posisi Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat akhirnya dipersepsikan sebagai gimik politik. Hal itu dapat terbukti ketika melihat peristiwa politik belakangan ini.
Menurut pengamat politik dari Motion Cipta Matrix, Wildan Hakim, kudeta Moeldoko atas kepemimpinan AHY di Partai Demokrat merupakan masalah serius di ranah hukum. Mengingat, dalam kudeta tersebut Moeldoko melakukan langkah serius dari sisi hukum. Seandainya kudeta itu berhasil, besar kemungkinan kartu politik AHY mati dan sosoknya tidak akan masuk ke dalam kabinet seperti sekarang.
"Upaya merebut jabatan Ketua Umum Partai Demokrat dari tangan AHY itu merupakan tindakan serius. Moeldoko butuh energi dan nyali yang besar untuk bisa melaksanakannya. Namun perlu diperiksa ulang, seberapa besar peluang Moeldoko untuk bisa merebut Partai Demokrat," kata Wildan kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (27/2).
Wildan menilai, langkah Moeldoko untuk menjadi Ketum Partai Demokrat merupakan eksperimen politik. Secara teknis, peluang Moeldoko untuk jadi Ketum Demokrat terbilang kecil. Mengingat, Demokrat dikendalikan langsung Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebelum tampuk ketum diserahkan langsung kepada AHY.
"Dengan kondisi seperti itu, aksi Moeldoko beberapa waktu lalu itu sebatas drama yang kemudian jadi bahan berita. Efeknya bagus bagi Partai Demokrat," kata Wildan.
Menurut Wildan, nama Demokrat menjadi bahan pemberitaan hingga isu nasional. Langkah berani Moeldoko sebagai Kepala KSP juga tidak ditegur Presiden Jokowi. Padahal, Moeldoko itu merupakan bagian dari para pembantu Jokowi.
"Kontroversi atau polemik yang muncul seolah memberi panggung bagi AHY untuk unjuk aksi membangun solidaritas partai," kata Wildan.
Kini, kata dosen ilmu komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia ini, dengan bergabungnya Demokrat ke koalisi pendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, membuat situasinya berubah total.
"Terlebih ketika Jokowi memasukkan AHY ke dalam kabinetnya di bulan-bulan terakhir. Eksperimen politik yang dilancarkan Moeldoko akhirnya dipersepsikan sebagai gimik politik. Terbukti, pada saat Moeldoko dan AHY bersua mereka terlihat asyik," tutur Wildan.
Apalagi, kata Wildan, selama masa-masa kudeta Demokrat dulu, Moeldoko dan AHY tidak pernah bertemu muka secara langsung. Keduanya hanya saling adu pantun yang kemudian menjadi komoditas berita.
"Aroma kontroversi antara kedua nama ini memang ada. Tapi tetap dirancang agar tidak emosional. Mungkin begitulah tradisi politikus Indonesia, harus ada drama-dramanya," pungkas Wildan.