Berita

Andre Vincent Wenas/RMOL

Publika

Buta Politik

OLEH: ANDRE VINCENT WENAS
RABU, 14 FEBRUARI 2024 | 04:08 WIB

LAGI-LAGI kita mesti mengingatkan wejangan dari Bertolt Brecht (1898-1956), seorang penyair asal Jerman. Ia bilang:

"Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik."

Sambungnya…


"Orang buta politik begitu bodoh, sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya seraya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, dan rusaknya perusahaan nasional serta multinasional yang menguras kekayaan negeri."

Sayangnya politik sering dipahami dalam konotasinya yang negatif. Dunia penuh tipu muslihat, perkoncoan, klik atau perkubuan yang sulit direkatkan. Istilah populernya praktik culas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dunia yang penuh kepalsuan dan sandiwara.

Padahal sejatinya politik itu mulia. Kita tinggal bersama dalam suatu tempat (polis, yang artinya kota). Dalam kehidupan bersama itu kita mesti mengatur (mendistribusikan) banyak sumber daya demi kehidupan bersama yang sejahtera dan damai.

Kesadaran bernegara dalam pemahaman klasik Aristotelian, politik adalah usaha yang ditempuh setiap warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (bonum commune).

Cinta pada sesama manusia, solidaritas, adalah sesuatu yang bersifat politis. Solidaritas (cinta pada sesama) adalah jiwa dari politik itu sendiri. Maka tak heran jika sampai Paus Fransiskus mengatakan bahwa politik adalah bentuk tertinggi dari cinta kepada sesama.

Maka di masa-masa inilah (pemilu) serentak kita mendapat kesempatan untuk membersihkan kembali citra politik. Mengembalikan politik pada kedudukannya yang mulia. Agar setiap warga negara berpartisipasi untuk mewujudkan kebaikan bersama (bonum commune) itu tadi.

Masih adanya sikap alergi politik bisa dimengerti. Lantaran minimnya teladan baik dari para politisi itu sendiri. Gejala alergi politik ini mesti diakui sudah cukup akut (parah) dan kronis (menahun).

Selain itu, buta politik juga diikuti dengan buta konstelasi politik, luput dalam mencermati konteks dan proses politik. Sejarah kontemporer dalam memahami konteks politik yang terjadi menjadi penting.

Karena jika tidak, dengan mudah kita menuduh dengan semena-mena perilakunya tidak etis. Padahal, realitas politik yang dipahami barulah sepotong dan itupun pekat diwarnai banyak kepentingan jangka pendek.

Singkat cerita, jangan sampai alergi politik terus menerus. Karena setelah alergi politik muncul apatisme. Sikap pasrah, emang gue pikirin? situasi jadi tambah parah dengan munculnya gejala oportunisme politik.

Asal ada duit gue pilih. Politik uang merebak, membuat kepercayaan pada politik tambah terpuruk. Para mantan napi korupsi berkeliaran, kembali memanfaatkan peluang untuk menduduki jabatan publik. Partai politik pun jadi oportunis dengan merekrut para mantan napi korupsi. Ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang.

Mendistibusikan kesejahteraan sosial itu kerja para politisi yang bertansformasi jadi negarawan. Koruptor adalah mereka yang mencuri kesejahteraan sosial itu.

Janganlah berpikir bahwa banjir dan jalan yang rusak cuma fenomena aksidentalia, tanpa latar belakang yang lebih substantif di kebijakan-kebijakan politik pemerintah sebelum katastropi terjadi.

Ingat pesan Bertolt Brecht: Celikkan Mata! Jangan jadi tunanetra politik.

Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Perspektif (LKSP) Jakarta



Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Terlibat TPPU, Gus Yazid Ditangkap dan Ditahan Kejati Jawa Tengah

Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13

UPDATE

Bank Mandiri Berikan Relaksasi Kredit Nasabah Terdampak Bencana Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 12:12

UMP Jakarta 2026 Naik Jadi Rp5,72 Juta, Begini Respon Pengusaha

Jumat, 26 Desember 2025 | 12:05

Pemerintah Imbau Warga Pantau Peringatan BMKG Selama Nataru

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:56

PMI Jaksel Salurkan Bantuan untuk Korban Bencana di Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:54

Trump Selipkan Sindiran untuk Oposisi dalam Pesan Natal

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:48

Pemerintah Kejar Pembangunan Huntara dan Huntap bagi Korban Bencana di Aceh

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:15

Akhir Pelarian Tigran Denre, Suami Selebgram Donna Fabiola yang Terjerat Kasus Narkoba

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:00

Puan Serukan Natal dan Tahun Baru Penuh Empati bagi Korban Bencana

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:49

Emas Antam Naik, Buyback Nyaris Tembus Rp2,5 Juta per Gram

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:35

Sekolah di Sumut dan Sumbar Pulih 90 Persen, Aceh Menyusul

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:30

Selengkapnya