Berita

Ilustrasi Ranggawarsita/Net

Publika

Politik Kita dan Zaman Edan

KAMIS, 01 FEBRUARI 2024 | 16:33 WIB

KETIKA itu, seorang pujangga agung keraton Surakarta, R Ng Ranggawarsita menyaksikan suasana yang suram, yang membuatnya khawatir sekaligus miris. Kerajaan Surakarta yang merosot dan masyarakat yang terombang-ambing membuatnya gelisah. Aturan sosial rusak akibat supremasi hukum yang dilecehkan, tiadanya keteladanan dari para penguasa membuat orang resah mencari arah.

Ia menuliskan keresahan itu dalam sebuah serat yang berjudul “Kalatidha”. Dalam serat itu, Ranggawarsita mengungkapkan:

Mangkya darajating praja
Kawuryan wus sunya-ruri
Rurah pangrehing ukara
Karana tanpa palupi
Atilar silastuti,
Sujana sarjana kelu,
Kalulun kalatida,
Tidhem tandhaning dumadi,
Ardayengrat dene karoban rubeda


Bait pertama serat Kalatidha ini menggambarkan martabat dan derajat negara yang kian merosot akibat rurah pangrehing ukara; pelaksanaan undang-undang yang sudah rusak oleh para elite atau penguasa. Sehingga karana tanpa palupi, para pembesar tak lagi bisa jadi panutan atau suri tauladan. Atilar tilastuti; segala aturan baik dilanggar maka para orang pandai pun lesu, yang dibahasakan oleh Ranggawarsita dengan kalimat Sujana sarjana kelu, bisa pula diartikan para intelektual kian berpandangan suram. Orang cerdik cendekiawan terbawa arus Kalatidha; Kalulun Kalatidha.

Kalatidha merujuk pada situasi yang penuh krisis, ketika pakem-pakem tuntunan moral, dan etik tak lagi diindahkan. Bahkan aturan hukum dengan mudah dikangkangi. Maka munculah situasi tidhem tandhaning dumadi; situasi layaknya kehilangan tanda-tanda kehidupan. Ardayangrat dening karoban rubeda; suasananya mencekam. Karena dunia penuh dengan ketidakberesan.

Situasi kekuasaan yang krisis moral dan etika inilah yang menurut Ranggawarsita menciptakan kerusakan sosial, yang disebutnya “Zaman Edan”.

Situasi tanah air kita saat ini pun tak luput dari penggambaran sang pujangga Ranggawarsita yang menamainya sebagai Kalatidha (masa suram), di mana Mahkamah Konstitusi yang mewartakan dirinya sebagai the guardian of constitution, sang penjaga konstitusi namun melakukan penyelundupan hukum dan divonis melakukan pelanggaran etika berat. Mirisnya, pelanggaran itu dilakukan untuk kepentingan sang keponakan.

Ia mengorbankan kepentingan khalayak ramai, hanya untuk kepentingan sanak famili. Dan ketika lembaga tertinggi penegak konstitusi itu berbuat lacur (buruk laku) maka layaknya yang digambarkan Ranggawarsita: Mangkya darajating praja, negara kehilangan martabat dan derajatnya.

Bahkan hari ini kita disuguhi dengan tontonan yang tak punya rasa malu di mana para pejabat dengan terang benderang memperlihatkan keberpihakan yang melanggar aturan dan prinsip netralitas. Bahkan ia lakukan dengan rasa bangga. Dengan menggunakan program dan fasilitas negara yang biayai uang rakyat melakukan kampanye terselubung untuk memenangkan sang anak dan kelompoknya.

Itulah yang disebut Ranggawarsita dalam syairnya, Rurah pangrehing ukara, karana tanpa palupi; aturan dengan mudah dan bangga dilanggar begitu saja, karena kita sudah kehilangan panutan, mereka yang selama ini dianggap sebagai kalangan yang terhormat tak dapat lagi dijadikan sebagai contoh, tauladan bagi rakyatnya. Dan ketika yang menjadi panutan itu hilang, masyarakat akan kehilangan pegangan. Yang salah dan yang benar nampak kabur, tak jelas.

Yang lebih menyayat hati, ketika keresahan akan merosotnya moral dan etika dibalas dengan cacian dan umpatan “ndasmu etik”, sebuah umpatan yang bukan saja merendahkan namun seakan sebuah ungkapan bahwa etika tak lagi diperlukan, tak perlu lagi diributkan.

Tentu, pemilu adalah perkara perebutan kekuasaan. Namun kekuasaan itu dimandatkan bukan untuk memperoleh kekayaan diri, melainkan mengelola kehidupan bersama, mencapai cita-cita adiluhung tentang keadilan sosial dan kesejahteraan bersama. Orang jadi resah ketika cara merebut atau mendapatkan kekuasaan dengan cara yang tunaetika dan moral, maka orang ragu ketika ia mendapatkan kekuasaan itu apakah ia bisa menggunakan kekuasaan itu untuk mengelola kehidupan bersama, untuk mencapai cita-cita yang adiluhung? Ini meninggalkan pertanyaan dengan penuh rasa khawatir.

Dan saat pakem itu diterabas, etika dan moral diremehkan begitu saja, sejatinya kita sedang mengalami apa yang disebut oleh sang pujangga amenangi jaman edan, menghadapi zaman edan. Ewuh aya ing pambudi, sebuah masa-masa yang sulit di mana yen tan melu anglakoni, boya keduman melik, kaliren wekasanipun.

Artinya orang ikut gila karena tidak tahan, tetapi kalau tidak ikut melakukan lenyaplah segala kemungkinan untuk mendapatkan, kelaparan dan kesengsaraan jadinya. Dalam bahasa satir, ora edan ora keduman, tidak ikut gila maka tak kebagian.

Di sini Ranggawarsita ingin menggambarkan bahwa kegilaan sang pemimpin, kegilaan para pembesar akan membuat semua tatanan ikut “gila”, semua tatanan ikut hancur.

Parade pelanggaran aparatur negara akan prinsip netralitas yang terus kita saksikan akhir-akhir ini adalah sebuah gambaran ora edan ora keduman seperti yang disyairkan Ranggawarsita. Mereka secara massal melakukan pelanggaran karena takut kehilangan jabatan, takut kehilangan pendapatan, sumber mengais rezeki.

Artinya sebuah pelanggaran akan mengalami “normalisasi” dianggap sesuatu yang wajar terjadi bahkan berpotensi menjadi tradisi. Mereka yang tak mau ikut melakukan pelanggaran akan kehilangan jabatan, atau tak lagi diberikan tugas menjalankan kewenangan. Kejujuran dan integritas seseorang akan lenyap ditelan normalisasi pelanggaran.

Ketika pelanggaran terjadi di mana-mana, prinsip netralitas ditabrak begitu saja, anggaran negara digunakan untuk kampanye terselubung memenangkan putra mahkota namun semua pihak seakan diam. Maka sejatinya kita sedang kehilangan “kompas moral”, yang berlaku hanya ora edan ora keduman, keadaan di mana nilai-nilai mulai pudar dan runtuh, manusia akhirnya semakin kehilangan kemanusiaannya.

Dan ketika pemimpin tertinggi sudah tak dapat lagi dijadikan panutan maka sejatinya kekuasaan tertinggi itu telah kehilangan wibawa, kehilangan kasekten dalam bahasa kosmos kekuasaan Jawa.

Dalam bahasa Ranggawarsita, itulah zaman Kalabendhu, “zaman kerusakan” di mana hilangnya kesakten (wibawa) sang Raja dalam pandangan kosmos kekuasaan Jawa maka ia berdampak sistemik dalam kehidupan manusia. Ia akan menciptakan gejolak sosial akibat runtuhnya tatanan nilai dan moral serta kebenaran yang selama ini menopang kehidupan bersama.

Dalam bahasa Nietzsche, ia akan melahirkan situasi nihilisme yang bisa menciptakan chaos. Ia akan melahirkan anarki dan kekacauan. Semakin pudarnya kasekten dari sang Raja akibat meninggalkan kebenaran sejati, mengabaikan nilai moral dan etika namun terus berlindung di balik wajah kekuasaan akan mengakibatkan semakin semrawut dan morat-maritnya keadaan rakyatnya. Itulah konsep kosmologi kekuasaan Jawa.

Dan Ranggawarsita pun berpesan, di tengah zaman edan di mana prinsip ora edan ora keduman yang berkuasa maka ia memberikan prinsip: begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lan waspada.

Artinya seberuntung-beruntungnya atau sebaik-baiknya orang yang lupa daratan, maka lebih beruntung orang yang ingat dan waspada.

Kata eling lan waspada dalam serat Kalatidha tentu punya makna dalam dimensi kekuasaan, tak bisa hanya diartikan secara harafiah semata. Ia memberikan pesan moral, sebaik-baiknya kekuasaan yang lupa maka lebih baik kekuasaan yang sadar (eling) akan sandaran nilai dan moral yang mesti jadi panduan serta waspada (hati-hati) dan mawas diri, karena kekuasaan bisa membuat kita tergelincir ke dalam kesewenang-wenangan yang merusak tatanan kehidupan.

Penulis adalah Ketua Umum DPP GMNI

Populer

Bangun PIK 2, ASG Setor Pajak 50 Triliun dan Serap 200 Ribu Tenaga Kerja

Senin, 27 Januari 2025 | 02:16

Gara-gara Tertawa di Samping Gus Miftah, KH Usman Ali Kehilangan 40 Job Ceramah

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:03

Viral, Kurs Dolar Anjlok ke Rp8.170, Prabowo Effect?

Sabtu, 01 Februari 2025 | 18:05

Besar Kemungkinan Bahlil Diperintah Jokowi Larang Pengecer Jual LPG 3 Kg

Selasa, 04 Februari 2025 | 15:41

Prabowo Harus Ganti Bahlil hingga Satryo Brodjonegoro

Minggu, 26 Januari 2025 | 09:14

Prabowo Harus Pecat Bahlil Imbas Bikin Gaduh LPG 3 Kg

Senin, 03 Februari 2025 | 15:45

Bahlil Gembosi Wibawa Prabowo Lewat Kebijakan LPG

Senin, 03 Februari 2025 | 13:49

UPDATE

Cuma Rebut 1 Gelar dari 4 Turnamen, Ini Catatan PBSI

Rabu, 05 Februari 2025 | 13:37

Anggaran Dipangkas Belasan Triliun, Menag: Jangan Takut!

Rabu, 05 Februari 2025 | 13:31

Ekonomi Indonesia Tumbuh 5,03 Persen Sepanjang 2024

Rabu, 05 Februari 2025 | 13:23

Aset Raib ID Food Ancam Asta Cita Prabowo

Rabu, 05 Februari 2025 | 13:13

Persoalkan Penetapan Tersangka, Tim Hukum Hasto Ungkap Sprindik Bocor

Rabu, 05 Februari 2025 | 13:10

Setelah Identifikasi, Jasa Raharja Pastikan Salurkan Santunan Kecelakaan GTO Ciawi

Rabu, 05 Februari 2025 | 12:59

Truk Pengangkut Galon Kecelakaan, Saham Induk Aqua Anjlok Merosot 1,65 Persen

Rabu, 05 Februari 2025 | 12:57

Komisi V DPR Minta Polisi Investigasi Perusahaan Aqua

Rabu, 05 Februari 2025 | 12:51

Partai Buruh Geruduk Kantor Bahlil Protes LPG 3 Kg Langka

Rabu, 05 Februari 2025 | 12:41

DPR Siap Bikin Panja Imbas Laka Maut Truk Galon Aqua

Rabu, 05 Februari 2025 | 12:30

Selengkapnya