Dede Jaya, 28, menyesal membunuh tukang semangka Sutomo, 33. Ia katakan itu ke polisi di tahanan Polres Jakarta Timur, Rabu, 10 Januari 2023. Karena, ia kenal baik Sutomo. “Sudah saya ikhlaskan ia nikahin istri saya, dan ia setuju, ee… ia malah ingkar,” ujar Dede.
MENYESAL selalu datang belakangan, kata orang. Tapi, jika menyimak kisah kronologi dan motif pembunuhan ini, orang bisa memaklumi. Bukan berniat membela pembunuh. Pembunuhan kejahatan paling serius. Apalagi, ini dilakukan sangat sadis. Terekam kamera CCTV dan beredar di medsos, viral.
Soal kronologi pembacokan celurit Dede ke Sutomo sudah diungkap semua media massa, termasuk
Disway. Soal motif juga juga dipublikasi lengkap. Tapi ada segmen yang direnungkan pembunuh selama Senin (8/1) sampai Rabu (10/1) ketika ia ditahan.
Yakni, setelah Dede tahu istrinya selingkuh dengan Sutomo, kemudian dirapatkan keluarga, sehingga istri Dede mengakui dia selingkuh dengan Sutomo sejak Oktober 2023. Pasti Dede kecewa. Marah membara. Seiring waktu, emosi mendingin. Akhirnya ia mengikhlaskan istrinya dinikahi Sutomo. Malah ia yang minta istrinya dinikahi Sutomo.
Sutomo pun diundang rapat keluarga Dede. Di situ Sutomo menyatakan bersedia menikahi bekas istri Dede. Tapi tidak segera dilakukan, tanda-tanda nya pun tidak. Sampai tahun berganti.
Dede: “Terus ia (Sutomo) saya datangi, saya tanya soal janjinya menikahi bekas istri saya. Ia malah jawab: Kalo gue gak tanggung jawab, elu mau apa?”
Akhirnya Dede membunuh Sutomo. Jenazahnya dikuburkan di hari pembunuhan, Senin (8/1). Dua hari kemudian Dede mengaku menyesal.
Dede: “Saya kenal baik (dengan Sutomo). Ia pernah ngontrak di tempat abang saya. Ia pernah utang ke saya juga. Menyesal saya (membunuh Sutomo).”
Dikutip dari
Time, 10 April 2015 berjudul:
Here’s What Happens in the Brain When People Kill, mengulas riset isi otak pembunuh. Suatu riset yang unik, tapi
straight to the point. Ditulis oleh penulis
Time kawakan, Jeffrey Kluger.
Di situ
Time mengutip riset oleh Prof Pascal Molenberghs, psikolog dari Monash University, Melbourne, Australia. Hasil risetnya dimuat di jurnal ilmiah,
Social Cognitive and Affective Neuroscience, 2015. Jurnal ini rutin memuat riset, milik The University of Oxford, Wellington Square, Oxford, Britania Raya.
Inti riset, ingin mengetahui, bagaimana isi otak pembunuh? Apa yang dipikirkan pembunuh? Bagaimana jaringan otaknya bekerja?
Diulas, bahwa membunuh itu tidak gampang. Tidak sembarang orang bisa. Meskipun ia niat dan berencana membunuh. Orang sudah niat lalu merencanakan pembunuhan, belum tentu bisa melaksanakan niat itu.
Untuk mewujudkan niat, pembunuh harus mengatasi banyak jaringan saraf yang menolak secara kuat. Jika orang itu bisa mengatasi penolakan jaringan saraf tersebut, maka jadilah ia pembunuh.
Otak semua manusia diberi kode khusus (oleh Allah SWT) belas kasih kepada sesama. Bahkan kepada hewan. Ini kodrati. Dari bawaan lahir. Itu sebab, banyak pemuka agama berceramah, bahwa pada dasarnya kalbu semua manusia itu baik adanya.
Setelah seseorang membunuh orang lain, jeda beberapa jam kemudian, merasa bersalah. Disebut: Merasa sakit empatik. Maksudnya, pembunuh setelah membunuh, barulah berempati (merasakan hal yang kira-kira dirasakan korban). Dari situ pembunuh merasa bersalah. Merasa sakit. Dan, rasa sakit itu kurang lebih setara dengan sakit yang dirasakan korban.
Itu terjadi pada orang normal dan pembunuhan ilegal. Tidak berlaku buat orang gila (psikopat). Juga tidak berlaku pula untuk pembunuhan legal. Misal, dalam perang. Atau polisi menembak mati penjahat.
Riset Prof Molenberghs, detail dan teknis. Tentang jaringan saraf otak pembunuh. Sesuatu yang kelihatannya mustahil dilakukan.
Metode riset begini: Ada 48 sukarelawan riset. Mayoritas pria. Riset dilakukan di Monash University. Para sukarelawan (responden) menjalani pemeriksaan pencitraan resonansi magnetik fungsional (Functional Magnetic Resonance Imaging - FMRI).
Ada alat yang membekap kepala mereka. Alat itu terhubung ke layar monitor sebagai pemantau kondisi jaringan saraf otak responden.
Masing-masing responden menonton video loop. Dari Virtual Reality (VR) tiga dimensi. Video loop adalah klip video berdurasi singkat (sekitar 30 detik) yang diputar berulang-ulang. Memungkinkan pemirsa menikmati pengalaman visual yang sama, berkali-kali.
Responden diberitahu, bahwa mereka harus berpihak pada tokoh yang ada di video. Dan, jika ditanya periset, mereka tidak perlu melepas VR dari kepala. Cukup, menjawab melalui tombol pada
keypad yang tersedia.
Ada tiga video yang isinya berbeda. Pertama, tentara berperang, membunuh musuh. Ke dua, tentara berperang tahu-tahu menembak warga sipil. Ke tiga, tentara itu menmbak tapi tembakannya tidak mengenai siapa pun. Menembak ngawur dan tidak ada orang di target tembak.
Kata Molenberghs, video ke tiga berfungsi sebagai kontrol dalam riset.
Ketika tembakan mengenai sasaran (kecuali nomor tiga) responden ditanya periset: “Siapa yang kamu tembak?” Dan, responden akan menekan tombol, tanda musuh, warga sipil, atau zonk. Cara periset untuk memastikan, bahwa responden mengetahui apa yang telah mereka lakukan.
Dilanjut, responden ditanya periset, seberapa bersalah mereka pada setiap skenario, dari tiga film yang ada. Rasa bersalah mereka dijawab dalam skala satu sampai tujuh. Juga melalui tombol
keypad.
Jawaban tentang rasa bersalah responden ini mengkonfirmasi reaksi jaringan saraf otak mereka yang terpantau periset di FMRI. Sebagai indikator penguat.
Hasilnya, seperti kesimpulan di atas. Bahwa semua otak manusia diberi kode khusus: Belas kasih. Sejak manusia lahir sampai mati.
Jawaban-jawaban responden atas pertanyaan periset, menjadi indikator penguat, bahwa mereka merasa sangat bersalah ketika tentara (representatif diri responden) menembak warga sipil. Sebaliknya, mereka merasa tidak bersalah ketika menembak musuh. Karena ini perintah perang. Membunuh legal.
Lebih mendalam, melalui pantauan FMRI jaringan saraf otak responden diketahui tingkat sakit yang dirasakan di otak, ketika tentara menembak warga sipil. Ternyata responden merasa sangat sakit. Kira-kira setara dengan tingkat sakit warga sipil yang ditembak.
Riset ini suatu saat kelak bisa berkembang sebagai pencegah seseorang membunuh. Jika, orang itu bisa dipindai dulu otaknya dengan FMRI, sebelum melakukan pembunuhan.
Dari riset Molenberghs, wajar jika Dede Jaya menyesal membunuh Sutomo. Dalam video rekaman CCTV yang beredar di medsos, tampak Dede menghajar bacokan celurit, di saat Sutomo meregang nyawa, tergeletak di tanah.
Dede: “Saya sama sekali tidak punya rencana membunuhnya. Saya terlalu emosi.”
Padahal, hasil penyidikan polisi, Dede membeli celurit dan air keras, beberapa hari sebelum hari pembunuhan. Beli lewat
online.
Bahwa Dede menyesal, manusiawi. Soal perkataan Dede yang terakhir itu tidak bisa dipercaya sepenuhnya. Sebab bisa diduga, motif perkataannya itu menghindari Pasal 340 KUHP, pembunuhan berencana. Ancaman hukuman mati. Diduga, ia secara instingtif mengarahkan ke Pasal 338 KUHP, pembunuhan biasa. Ancaman hukuman lebih ringan dibanding Pasal 340.
Kalau rasa sesal Dede, berkorelasi dengan hasil riset Molenberghs. Sedangkan, ucapan dia soal tidak merencanakan pembunuhan, terhubung dengan teori Bapak Kriminologi Dunia, Cesare Lombroso (6 November 1835 - 19 Oktober 1909) bahwa:
Semua penjahat di awal interogasi polisi, pasti tidak mengakui kejahatannya. Setelah polisi memaparkan bukti, penjahat barulah mengaku. Setelah mengaku, ia akan berusaha keras memperkecil kesalahannya. Inilah reflek kriminal.
Penulis adalah Wartawan Senior