Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta M. Taufik Zoelkifli/Ist
Kenaikan pajak hiburan dari 25-35 persen menjadi 40 persen menjadi sorotan Anggota Komisi B (bidang perekonomian) DPRD DKI Jakarta M. Taufik Zoelkifli.
Pasalnya, kenaikan yang diberlakukan secara merata (kelas usahanya) dikhawatirkan berdampak terhadap pertumbuhan dunia usaha.
Menurut Taufik Zoelkifli, penetapan pajak hiburan sebesar 40 persen sebaiknya hanya berlaku bagi tempat hiburan kalangan atas. Dengan kata lain, pajak 40 persen itu tidak diterapkan secara merata.
“Jadi saya kira harus ditinjau ulang, artinya dicari ya pos-pos yang bisa dipajakin ya. Jadi pendapatan atau perusahaan yang memang konsumennya itu menengah ke atas,” kata Taufik dikutip dari laman DPRD DKI Jakarta, Rabu (24/1).
Taufik menilai, pemberlakuan besaran pajak itu pada dasarnya membawa pengaruh positif terhadap pendapatan asli daerah (PAD) Kota Jakarta.
Hanya saja, terdapat kekhawatiran banyak pelaku usaha yang tidak sanggup memenuhi kewajiban membayar pajak. Terutama bagi kalangan usaha menengah ke bawah.
“Maksudnya yang mampu ya menengah ke atas yang high class,” pungkas Sekretaris Fraksi PKS DPRD DKI ini.
Artinya, sambung dia, bagi usaha kelas menengah ke atas bisa mempertahankan usahanya. Sehingga tidak mengalami gulung tikar alias bangkrut.
Sedangkan bagi usaha kelas menengah ke bawah, sebaiknya aturan pajak hiburan direvisi agar tidak berdampak penutupan tempat usaha.
Seperti diketahui, Pemprov DKI Jakarta menaikkan pajak tempat hiburan di ibu kota menjadi 40 persen. Kebijakan itu mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Tertuang dalam Pasal 53 Ayat 2, besaran pajak itu berlaku untuk tempat karaoke, diskotek, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa.
Kenaikan tarif pajak tempat hiburan di Jakarta itu berlaku sejak 5 Januari 2024. Pada aturan sebelumnya, persentase pajak tempat karaoke dan diskotek hanya 25 persen.
Sementara untuk kegiatan usaha panti pijat dan mandi uap atau spa sebesar 35 persen.