MULANYA peristiwa itu terjadi pada September 2004, ketika jagad politik Amerika Serikat sedang ramai dengan pertarungan politik pemilihan Presiden antara George W Bush seorang kandidat petahana yang diusung Partai Republik melawan John Kerry, kandidat asal Partai Demokrat. Poling dan survei pun gencar dilakukan.
Keriuhan dimulai ketika Gallup, sebuah lembaga survei ternama, merilis hasil polingnya dua minggu setelah konvensi Partai Republik. Survei Gallup itu berjudul "Bush Melambung, Terus Melaju" yang melaporkan Bush unggul 3 persen, lalu naik 7 persen setelah konvensi, kemudian bertambah lagi 6 persen 10 hari berikutnya. Hingga akhirnya melewati elektabilitas Senator John Kerry, capres dari Demokrat dengan 55 persen versus 42 persen.
Di saat bersamaan, Pew Research juga merilis hasil surveinya. Tetapi hasilnya sangat jauh berbeda dari survei yang dirilis oleh Gallup. Pew memasang judul hasil surveinya “Dukungan Kerry Melambung, Pertarungan Kembali Sama Kuat” yang menempatkan Kerry unggul sebesar 54 persen dan Bush hanya memperoleh 38 persen.
Publik pun bingung dan menaruh rasa curiga. Survei yang dilakukan pada waktu yang hampir bersamaan namun hasilnya jauh panggang dari api. Polemik pun mengemuka. Dan masalah tidak terletak pada reputasi lembaga yang melakukan survei. Karena keduanya adalah raksasa industri poling yang dihormati media massa dan khalayak ramai yang rekomendasinya tak pernah diabaikan.
Kecurigaan terbongkar ketika David W Moore, mantan editor senior lembaga survei opini publik terkemuka Gallup Poll, mengungkap kebusukan lembaga survei yang menurutnya lebih tertarik melakukan pembentukan opini publik ketimbang mengungkap opini masyarakat yang sebenarnya.
Menurut Moore dalam bukunya yang berjudul "The Opinion Makers: An Insider Exposes the Truth Behind the Polls", proses survei telah dirancang untuk mengarahkan pada kesimpulan tertentu. Yaitu dengan teknik pemilihan sampel, susunan kata dan urutan pertanyaan dalam kuesioner, teknik wawancara tertentu, dan pembubuhan analisis hasil survei yang sengaja diarahkan untuk menciptakan sebuah opini publik.
Bahkan Moore dalam "The Super Pollsters: How They Measure and Manipulate Public Opinion in America", menyebutkan bahwa lembaga survei hanya menjadi bagian dari instrumen “siklus putaran legitimasi” di mana mereka yang berkuasa membingkai isu untuk mendukung posisi politik mereka. Sementara pers dikondisikan untuk membatasi liputan terhadap sumber-sumber yang mungkin tidak setuju dan tidak disukai oleh penguasa.
Kemudian pada gilirannya survei dikembangkan untuk melegitimasi sekaligus membentuk opini publik yang diinginkan oleh penguasa. Dengan teknik semacam ini, menurut Moore, survei mencoba menciptakan preferensi pemilih dan selera masyarakat tentang gaya kepemimpinan dan orientasi politik.
Sehingga survei tak jauh seperti apa yang dikatakan Noam Chomsky sebagai fabrikasi persetujuan dengan klaim bebas nilai, ilmiah, dan objektif. Survei bertujuan untuk menciptakan persetujuan terselubung di tengah masyarakat. Yang lebih berbahaya, apabila survei digunakan sebagai upaya demonisasi terhadap kandidat tertentu.
Di mana survei mencoba membangun persepsi bahwa kandidat tertentu perolehan suaranya tak berkembang banyak, stagnan, dan dianggap pasti hanya memperoleh angka persentase tertentu. Padahal kita semua tahu bahwa persepsi publik terus bergerak dinamis, dapat berubah dengan dipengaruhi berbagai macam variabel.
Dengan kekuatan angka, sejumlah lembaga survei mencoba menghambat laju kandidat tertentu dan cenderung melanggengkan yang lainnya. Dengan angka ia mencoba menciptakan standar yang kemudian dibentuk seakan sebagai
common sense, sesuatu yang masuk akal terjadi. Sehingga apabila hasil pemilu berbeda dengan hasil rilis lembaga survei dianggap sebagai sebuah angka yang tak masuk akal, potensi kecurangan dan lain sebagainya.
Fabrikasi persetujuan melalui hasil survei tidak terjadi di ruang hampa sejarah. Asumsi di balik konsep tersebut adalah adanya sistem ekonomi-politik pasar yang mendasari seluruh praktik lembaga survei, di mana survei politik menjelma menjadi industri. Apalagi jika survei dilakukan secara periodik (bulanan, dwibulan, triwulan) menjelang pemilihan.
Tentu, biaya yang diperlukan sangatlah besar. Bukan hal yang mustahil, klien yang sudah merogoh kocek yang relatif besar meminta hasil survei polesan tersebut untuk dipublikasi sehingga memperoleh
bandwagon effect. Dengan harapan mereka yang belum menentukan pilihan (
undecided voters) dan
swing voters ikut arus dominan yang sedang diciptakan oleh sejumlah lembaga survei.
Perputaran uang dalam bisnis lembaga survei tidaklah sedikit. Berdasarkan data penelitian Political Research Institute for Democracy (PRIDe) Indonesia, bisnis survei pilkada saja jika berlangsung di semua daerah bisa meraup keuntungan sedikitnya Rp715,5 miliar.
Maka tak heran jika seorang Indonesianis, Marcus Mietzner, dalam artikelnya yang berjudul “Political Opinion Polling in Post-authoritarian Indonesia: Catalyst or Obstacle to Democratic Consolidation?” mengungkapkan, "Dengan kenaikan status lembaga survei sebagai alat elektoral penting bagi para politisi Indonesia, tak mengejutkan bila lembaga-lembaga itu sendiri semakin lama semakin kerap terseret ke dalam intrik, perebutan kekuasaan, dan godaan-godaan keuangan yang lazimnya diasosiasikan dengan politik elite."
Praktik penggunaan metodologi ilmiah menjadi alat legitimasi kekuasaan bukan hal yang baru di Indonesia. Di era orde baru, riset yang menghasilkan kekuatan statistik dijadikan sebagai alat legitimasi kebijakan pemerintah yang menggelorakan watak pembangunanisme.
Layaknya tesis Michael Foucault, kekuasaan selalu memproduksi pengetahuan untuk memelihara jalannya kekuasaan. Di masa orde baru, justifikasi ilmiah dari hasil riset dijadikan oleh pemerintah Orde Baru sebagai alat legitimasi rezim pembangunanisme.
Untuk itu, kita perlu berpesan pada para pollster dan pemilik lembaga survei bahwa mereka sebagai ilmuwan politik memiliki tanggung jawab etis yakni mesti berpihak pada nilai-nilai demokrasi, dan kemanusiaan. Ikut berpartisipasi aktif dalam memajukan demokrasi dan berpihak pada agenda Reformasi 1998. Bukan justru bersembunyi di balik dalil bebas nilai, netral, dan objektif, tapi di belakang layar mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya.
Namun tak disadari apa yang mereka lakukan di balik dalil bebas nilai, dan objektif telah melegitimasi perilaku elite yang merusak demokrasi dan mengkhianati cita-cita Reformasi 1998. Tentu, perilaku tersebut bukanlah perilaku seorang ilmuwan.
Penulis adalah Ketua Umum DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)