DEBAT Capres 2024 kemarin malam meninggalkan catatan bagi kita tentang persoalan bangsa yang tidak terurus maupun tidak selesai era Joko Widodo.
Meskipun Jokowi mengklaim kepuasan publik tinggi pada pemerintahan dia, namun sejatinya, dari debat capres tersebut, klaim kepuasan publik itu tidak diperkuat oleh hal-hal krusial yang terungkap tadi malam. Yakni tidak selesainya masalah Papua, Demokrasi dan Korupsi.
Meskipun disebut debat capres, acara tadi malam belum memberikan banyak hal untuk dipahami publik. Kenapa? Karena debat ini sejatinya bukan sebuah debat, seperti debat capres di negara maju.
Ini hanyalah tukar pikiran, sehingga tidak mampu mengungkapkan dalamnya sosok, pikiran, keyakinan, ideologi dan kemunafikan, jika ada, sosok capres yang ada.
Begitupun, kita harus memperdalam 3 catatan berikut, yang penting untuk kita simak, agar kita sebagai rakyat tidak tertipu (lagi) ke depan dalam memilih pemimpin. Beberapa catatan lainnya seperti masalah HAM dan masalah etik pencapresan Gibran, sebagaimana dipersoalkan ketua BEM UGM, akan kita bahas di lain kesempatan.
Ketiga hal itu adalah:
1) Papua. Kekerasan yang berulang-ulang terjadi di Papua yang dilakukan oleh kaum separatis telah membantai masyarakat sipil di Papua. Bahkan, banyak tentara, baik prajurit biasa maupun perwira tinggi tewas dibantai di sana. Selain itu kita mengetahui pilot berkebangsaan asing sudah lebih 10 bulan diculik dan pemerintahan Jokowi belum mampu membebaskannya.
Capres Prabowo dengan tegas mengatakan bahwa mereka adalah teroris. Dan teroris ini terkait dengan kepentingan asing serta pertarungan kepentingan global. Begitu juga, menurut Prabowo, ada kepentingan ideologis di dalam masalah separatis tersebut.
Anies Baswedan dalam merespons isu Papua mengedepankan isu keadilan. Anies belum memastikan apakah di Papua ada teroris. Sebab, menurutnya, pemerintah Jokowi sendiri masih bingung untuk mendefinisikan apakah yang terjadi di Papua adalah gerakan teroris, separatis, atau kriminal bersenjata.
Ganjar, lebih tidak jelas lagi dalam mendefinisikan gerakan kekerasan di sana. Menurutnya yang penting dialog. Soal Papua, Ganjar lebih tertarik menyuarakan kemiskinan di sana, soal keadilan sektor kesehatan, ketika melakukan kunjungan kampanye hari pertama.
Pengakuan Prabowo tentang terorisme di Papua tidak disertai konsekuensi pemberantasannya melalui kontra-terorisme. Dalam sejarah terorisme di era Jokowi, khususnya untuk alasan ideologi Islam, pemerintah melakukan pengerahan kekuatan bersenjata, bahkan kelompok yang dicurigai teroris tersebut masih belum tentu mempunyai senjata. Sedangkan untuk Papua, Prabowo lebih setuju membanggakan dialog dan juga merujuk kunjungan Jokowi yang lebih dari 19 kali ke Papua selama ini.
Alhasil, urusan terorisme dan separatisme di Papua hanya diungkapkan sebagai masalah, namun ketiga capres tersebut tidak mempunyai agenda yang jelas. Jika dibandingkan dengan isu separatisme di Quebec-Kanada, Skotlandia-Inggris, Barcelona (Catalan)- Sepanyol, negara mereka memberikan hak untuk referendum menentukan nasib sendiri.
Atau dalam kasus Aceh, Indonesia memberikan "setengah merdeka" pada Aceh pasca perundingan Helsinki. Kedua contoh di atas mempunyai kepastian. Jika hanya berhenti pada definisi, seperti yang Prabowo lakukan, maupun tidak terdefinisikan, seperti yang disampaikan Anies maupun Ganjar, kita dapat memastikan urusan Papua akan terus bermasalah di tangan mereka jika terpilih nantinya.
2. Demokrasi. Ketiga capres sepakat bahwa demokrasi harus ditegakkan. Anies meyakini bahwa demokrasi terjadi jika ada keseimbangan antara pemerintah dan oposisi. Oposisi menurutnya wajib ada, sebagai "
check and balance" untuk mengontrol jalannya pemerintahan.
Namun, dalam melihat pemerintahan yang ada, Prabowo meyakini bahwa Jokowi telah menjalankan demokrasi. Menurutnya, tanpa demokrasi Anies tidak akan mungkin menang untuk menjadi Gubernur di Jakarta, tahun 2017 lalu.
Untuk hal demokrasi ini, Anies mengingatkan Prabowo bahwa cakupan demokrasi lebih luas dan substantif. Kenapa Prabowo tidak berani menjadi oposisi sejak kalah Capres 2019?
Anies merujuk pernyataan Prabowo sendiri bahwa dirinya mengalami penyingkiran politik selama puluhan tahun akibat tidak berkuasa. Termasuk klaim Prabowo tidak pernah dikasih akses kredit perbankan selama itu.
Jadi, kritik Anies atas buruknya demokrasi adalah kekejaman penguasa atas orang-orang kritis. Jokowi telah terbukti menggunakan kekuasaannya untuk menyingkirkan lawan-lawan politik, memenjarakan dan menghambat kebebasan berbicara.
Ganjar merasakan hal yang sama bahwa pemerintah Jokowi telah menghambat kebebasan berekspresi seniman Butet Kertaradjasa dan kebebasan berpendapat ketua BEM UI Melki Huang. Namun, Ganjar, dalam acara debat kemarin tidak pernah menyinggung kriminalisasi yang dialami berbagai kelompok lainnya selama rezim ini berkuasa. Menyinggung Butet dan Melki saja, membuat tafsir bahwa Ganjar hanya kritis terhadap Jokowi hanya baru-baru ini saja.
Anies dalam pandangannya lebih jauh lagi menginginkan agar penggunaan pasal-pasal karet yang digunakan melalui UU ITE dan pasal 14-15 UU Pidana 1946 ditiadakan.
Namun, Anies tidak menyinggung nasib Rocky Gerung yang dikriminalisasi, nasib Habib Rizieq yang dikriminalisasi, nasib saya dan Jumhur yang dipenjara atas alasan tidak jelas. Apakah kasus saya, Jumhur, Habib Rizieq dan lainnya, misalnya, ditinjau kembali jika dia berkuasa? Begitupun soal demokrasi Anies lebih jelas dibandingkan dengan dua kandidat lainnya.
3. Korupsi. Semua capres sepakat untuk mengikis habis praktik-praktik korupsi yang merajalela di Indonesia. Ganjar Pranowo membanggakan cawapresnya Mahfud MD telah bekerja mengungkapkan banyak praktik-praktik korupsi ke publik selama ini.
Ganjar menginginkan koruptor di penjara ke Nusakambangan. Ini hukuman lebih berat ketimbang koruptor selama ini di penjara Sukamiskin dan Cipinang, karena Nusakambangan merupakan penjara "sadis". Memperberat hukuman menurut Ganjar adalah langkah utama.
Sedangkan Anies mengusulkan pemiskinan. Dengan memiskinkan koruptor, selain penjara, maka koruptor akan menderita hidupnya. Anies juga berjanji merevitalisasi fungsi KPK seperti sebelum direvisi rezim Jokowi 2019. Sebaliknya, Prabowo belum punya usulan spesifik.
Sesungguhnya ketiga capres ini belum menawarkan hal maksimal. Korupsi di Indonesia sudah terlalu besar dan keterlaluan. Indeks persepsi korupsi yang sangat rendah di era Jokowi, IPK 34, serta Ketua KPK, hasil revisi UU KPK era Jokowi, yang dijadikan tersangka pemerasan, menunjukkan kebutuhan pemecahan masalah ini harus lebih dalam.
Beberapa waktu lalu kita dihebohkan dengan budaya hedon dan glamour menantu Jokowi dengan tas Hermes Rp500 juta, Sri Mulyani dengan Moge Rp150 juta, pejabat Ditjen Pajak Club Moge, Jaksa Pinangki, Istri Jenderal Sambo dan polisi Andi Rian, pejabat Bea Cukai dan lain-lain. Yang saya tulis dalam "
Pamer Kekayaan dan Hancurnya Revolusi Mental Jokowi".
Masalah pokok kita adalah soal budaya busuk (keluarga) pejabat negara ini. Masalah kedua adalah kekuasaan semata-mata haya untuk cepat memperkaya diri. Masalah lainnya, institusi negara penegak korupsi telah hancur, seperti KPK.
Bahkan, terakhir kita saksikan mafia kasus berkembang di lingkungan hakim, di Mahkamah Agung. Padahal hakim adalah pemutus perkara atas nama Tuhan Yang Maha Esa. Ini kebiadaban besar.
Untuk itu, satu-satunya jalan memberantas korupsi adalah memberlakukan hukuman mati. Mengapa? Dalam Per-MA (Mahkamah Agung) 1/2020, Mahkamah Agung telah membuat klasifikasi hukuman, yakni yang terberat hukuman seumur hidup, untuk korupsi skala Rp100 miliar.
Hukuman ini belum pernah dijalankan. Namun, dari sisi konseptual, para Hakim Agung sudah meyakini kejahatan korupsi itu wajar jika dihukum seumur hidup. Ke depan, tentunya hukuman ini harus dijalankan dan dibuatkan opsi hukuman paling berat adalah hukuman mati.
Di samping itu tentunya perlu pula memajukan pendidikan dan penghayatan agama, sebagai sumber moral masyarakat kita. Dengan bergeloranya semangat anti korupsi di masyarakat, sebuah identitas moral, maka perilaku koruptif dan kolutif akan mengecil.
Untuk peranan negara, seperti yang diungkapkan Anies, agar pembiayaan partai politik diatur dan difasilitasi, mungkin sebuah tawaran yang patut dipertimbangkan. Partai, seperti kata Ganjar, adalah alat kaderisasi yang menciptakan kepemimpinan bangsa.
PenutupDebat Capres tadi malam belum mampu mengungkapkan secara dalam sosok dan pikiran capres. Debat ini tidak seperti debat di negara maju, di mana kandidat diharapkan mampu membongkar hal-hal terdalam dari pikiran dan keinginan capres, bahkan kemunafikannya, jika ada.
Namun, kita perlu melihat beberapa catatan yang bisa menunjukkan buruknya pemerintahan Jokowi selama ini dan tantangan bagi presiden ke depan.
Persoalan separatisme Papua tidak jelas solusi yang diperdebatkan. Pada tahun 2005, pemerintahan SBY berkesempatan menyelesaikan soal separatisme Aceh. Sedangkan Papua, di tangan Jokowi semakin kacau, dan bahkan memakan korban jiwa seorang jenderal beberapa waktu lalu.
Capres yang ada belum sepakat apakah separatis Papua harus dikategorikan teroris, adanya global agenda dan lainnya, mereka hanya sepakat perlu dialog. Titik.
Soal demokrasi Anies lebih baik dari lainnya ketika menawarkan usulan konkret, seperti menarik UU ITE dan UU Pidana 1946 dalam membungkam aktivis. Jika kita buka
google trend Indonesia sepanjang tahun 2023, sejak Mei lalu, penjelajahan soal demokrasi ini meningkat tajam.
Setidaknya jawaban Anies cukup melegakan kecemasan aktivis masyarakat sipil ke depan.
Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle