Ketua Umum DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, Arjuna Putra Aldino/Istimewa
Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, penggunaan fasilitas negara untuk memenangkan salah satu kandidat dalam kontestasi pemilu perlu menjadi sorotan. Belajar dari menyeruaknya kasus konflik kepentingan yang terjadi di Mahkamah Konstitusi (MK), maka seluruh pihak perlu mengawasi penggunaan fasilitas negara lainnya yang menguntungkan salah satu pasangan kandidat.
Salah satu yang menjadi sorotan DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) adalah rawannya penyalahgunaan laba ditahan BUMN. Menjadikan BUMN sebagai sapi perah politik dan sumber pendanaan untuk memenangkan salah satu paslon.
Ketua Umum DPP GMNI, Arjuna Putra Aldino menyampaikan, selama ini belum ada payung hukum tentang besaran dividen yang harus disetorkan dan besarnya laba ditahan BUMN. Maka menurut Arjuna, BUMN rawan menjadi sapi perah menjelang kontestasi pemilu yang membutuhkan biaya besar.
“Selama ini belum ada payung hukum soal besarnya laba ditahan. Celah ini bisa menjadi pintu masuk untuk menjadikan BUMN sebagai sapi perah politik,” ucap Arjuna kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (18/11).
Arjuna melanjutkan, berdasarkan temuan, ada sejumlah BUMN yang memiliki laba ditahan yang cukup jumbo. Di antaranya BRI Rp207,2 triliun (30 September 2023), Bank Mandiri Rp175,9 triliun (30 September 2023), PLN Rp110,9 triliun (30 Juni 2023).
Kemudian BNI Rp99,1 triliun (30 September 2023), Telkom Rp98 triliun (30 September 2023), Pertamina Rp57,1 triliun (31 Desember 2022), Pupuk Indonesia Rp15,21 triliun (31 Desember 2022), Antam Rp13,5 triliun (30 September 2023), dan PGN Rp2,9 triliun (30 September 2023).
Untuk itu, Arjuna meminta DPR membentuk Panja BUMN untuk mengawasi laba ditahan BUMN agar tidak disalahgunakan menjadi dana kampanye salah satu kandidat. Pasalnya, dikhawatirkan laba ditahan ini dibungkus dengan bentuk biaya operasional, CSR, atau investasi. Dimanfaatkan untuk dana kebutuhan kampanye dengan teknis transaksi dan pelaporan keuangan yang diotak-atik.
“Kami usul adanya Panja BUMN. Pasalnya rawan penyalahgunaan
retained earnings dengan bungkus biaya operasional, CSR, atau investasi, padahal untuk dana kampanye. Ini aspirasi rakyat untuk menyelamatkan uang rakyat,” tambah Arjuna.
Apalagi, menurut Arjuna, akhir-akhir ini di mana momen Pemilu 2024 kian dekat, banyak terjadi pergantian jajaran pengurus dan direksi BUMN yang perlu mendapatkan pengawasan ekstra dari wakil rakyat. Terlebih BUMN memiliki perputaran uang yang begitu besar, baik dari belanja modal maupun belanja operasional.
“Kita harus memastikan medan pertempuran itu adil. Jangan ada yang diuntungkan karena ada kucuran dana dari BUMN yang dibungkus dengan berbagai macam bentuk. Itu nanti ada yang mampu pasang baliho berjuta-juta se-Indonesia sampai pelosok desa, ada yang balihonya bisa dihitung jari. Jangan sampai terjadi seperti itu,” tutur Arjuna.
Ditambahkan Arjuna, upaya mengeruk uang dari BUMN kini tidak memakai cara-cara bodoh dan konvensional, tapi dengan modus-modus yang canggih. Baik dengan aksi korporasi maupun dibungkus dengan pembiayaan agenda formal yang dikaitkan dengan hari-hari nasional atau acara informal lain.
Untuk itu, Arjuna menegaskan, perlu adanya Panja BUMN sebagai bagian untuk memastikan penyelenggara negara bersikap netral menghadapi kontestasi pemilu.
“Jadi Panja BUMN adalah bagian dari kita menjaga pemilu itu biar jurdil. Agar pejabat tinggi negara termasuk bos BUMN tidak menyalahgunakan kewenangannya. Ini aspirasi untuk mengantisipasi,” tutup Arjuna.