Peneliti Formappi, Lucius Karus, memandang wacana Hak Angket DPR RI kurang tepat/Net
Hak angket yang diusulkan oleh anggota Komisi XI DPR RI, Masinton Pasaribu, dianggap kurang tepat kalau diarahkan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Hampir semua pakar tata negara menganggap Hak Angket DPR itu merupakan instrumen pengawasan legislatif ke eksekutif. Sementara MK itu masuk kamar Yudikatif. Secara prinsip kerja lembaga yudikatif itu ya mestinya tak bisa diselidiki oleh lembaga politik seperti DPR," kata peneliti Forum Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, kepada wartawan, Jumat (3/11).
Menurutnya, DPR yang bekerja atas dasar kepentingan politik tertentu jelas tak bisa netral dalam menilai sebuah keputusan. Apalagi jika keputusan itu masih berkelindan dengan dunia politik.
Unsur kepentingan politik itu membuat setiap anggota hingga setiap fraksi akan menilai keputusan hukum dari sisi keuntungan atau kerugian secara politis bagi dirinya maupun partainya.
"Karena itu saya kira terkait keputusan MK soal syarat capres-cawapres, jelas bukan objek yang tepat untuk dijadikan alasan penggunaan Hak Angket oleh DPR," imbuhnya.
Lucius memandang usulan Hak Angket kepada MK ini lebih merupakan isu elite yang tak berkorelasi langsung dengan kepentingan rakyat.
"Kalau DPR sungguh wakil rakyat, sebelum-sebelumnya ada begitu banyak isu terkait kebijakan pemerintah yang terkait langsung dengan rakyat yang seharusnya mendorong penggunaan Hak Angket. Tetapi karena sebelum ini koalisi pendukung pemerintah dominan, kebijakan pemerintah yang bermasalah justru dibenarkan oleh DPR," tutupnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan sebagian tentang batas minimum usia capres cawapres, dengan perkecualian bagi mereka yang pernah atau sedang menjadi kepala daerah.
Keputusan ini dianggap menjadi karpet merah bagi Gibran Rakabuming Raka yang merupakan keponakan dari Ketua MK, Anwar Usman. Putusan MK dianggap meloloskan politik dinasti yang langsung dikecam oleh masyarakat maupun pegiat hukum tata negara.